Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
RUMAH yang terbuat dari batu bata merah empat lantai itu dibangun pada 1900. Ia jadi bagian dari sederet bangunan yang terlindung oleh pagar pengaman di kawasan eksklusif Belgravia, London, tak jauh dari kompleks Kedutaan Malaysia. Pemilik rumah tercatat sebagai Qentas Holdings Ltd, perusahaan berbasis di Virgin Islands, Inggris.
Namun surat kabar The Wall Street Journal mengungkap bahwa anak tiri Perdana Menteri Najib Razak telah membeli rumah itu seharga 23,25 juta pound sterling atau sekitar Rp 406,3 miliar pada 2012. Dananya diduga kuat berasal dari firma investasi yang terlilit kontroversi, 1 Malaysia Development Berhad (1MDB).
Riza Aziz, putra tiri Najib, juga seorang produser film. Menurut laporan Wall Street Journal, Mei 2016, dia menggunakan uang yang berasal dari 1MDB untuk membiayai film The Wolf of Wall Street. Klaim yang dibantah Najib itu malah dipertegas oleh pernyataan Departemen Kehakiman Amerika Serikat pada 20 Juli lalu.
Departemen itu memerintahkan penyitaan aset-aset senilai lebih dari US$ 1 miliar yang diduga terkait dengan 1MDB, termasuk penyitaan royalti dari film besutan tahun 2013 yang dibintangi Leonardo DiCaprio tersebut. Menurut Departemen, film yang disutradarai Martin Scorsese dan diproduksi perusahaan milik Riza Aziz itu menggunakan lebih dari US$ 100 juta yang dialihkankan dari 1MDB.
Namun, sayangnya, di Malaysia penyitaan seperti itu mustahil terjadi. Apalagi saat ini sang Perdana Menteri mendapatkan senjata baru yang sakti mandraguna untuk melindungi diri dari serbuan tuduhan terkait dengan 1MDB.
Undang-Undang Dewan Keamanan Nasional yang disahkan parlemen pada Desember tahun lalu mulai berlaku efektif 1 Agustus. Banyak kalangan melihat pemberlakuan undang-undang itu sebagai ekspansi dari kekuasaan Najib.
Betapa tidak. Berdasarkan undang-undang itulah dibentuk Dewan Keamanan Nasional, dengan Perdana Menteri sebagai Ketua, Wakil Perdana Menteri sebagai wakil, dan Menteri Pertahanan, Menteri Dalam Negeri, Menteri Komunikasi dan Multimedia, Kepala Sekretaris Pemerintah, Kepala Angkatan Bersenjata, serta Inspektur Jenderal Polisi sebagai anggota.
Dengan itu, Perdana Menteri berhak menyatakan suatu wilayah dalam keadaan darurat dan menjadikannya sebagai sebuah zona keamanan jika diperlukan. Di sana polisi boleh menggeledah tanpa surat perintah dan memberlakukan jam malam. Apa pun tindakan Dewan, dia tidak akan diminta menjelaskan keputusan-keputusannya.
Anggota parlemen Malaysia dari partai oposisi, Partai Keadilan Rakyat, Chua Tian Chang, mengakui undang-undang ini melebihi Internal Security Act (ISA). Dia menyatakan undang-undang itu bertentangan dengan konstitusi yang menyatakan bahwa kekuasaan untuk mengumumkan kondisi perang atau situasi darurat adalah raja.
"Karena itu, Majelis Raja-raja Melayu mengeluarkan pernyataan yang menasihatkan Najib untuk mengubah undang-undang ini agar konsisten dengan konstitusi," kata politikus yang dikenal dengan nama Tian Chua ini.
Namun Najib tidak mengindahkan seruan Majelis Raja-raja tersebut dan majelis itu tak bisa berbuat apa-apa selain memberi nasihat. "Undang-undang ini akan menjatuhkan Najib karena menunjukkan kecenderungan seorang diktator," ujar Tian Chua kepada Tempo.
Selain Tian Chua, tokoh oposisi Malaysia lainnya, Anwar Ibrahim, mengecam aturan itu. Anwar, yang sedang dipenjara, melalui kuasa hukumnya menegaskan bahwa undang-undang kontroversial itu harus dicabut karena tidak konstitusional.
Kekhawatiran akan penyalahgunaan produk hukum itu untuk kepentingan meredam 1MDB, terutama untuk membungkam para pembangkang Najib, seperti mengganti jaksa agung dan kepala bank sentral, merombak kabinet, serta memecat sejumlah anggota partai.
Namun Maria Chin Abdullah, Ketua Gerakan Bersih, yang berencana menggelar aksi dalam waktu dekat, tidak khawatir. "Inspektur Jenderal Polisi telah mengatakan bahwa NSC tidak akan digunakan, melainkan Akta Perhimpunan Aman," kata Maria kepada Tempo. Akta Perhimpunan Aman adalah undang-undang yang mengatur demonstrasi.
Aktivis hak asasi manusia itu juga optimistis Najib tidak akan menggunakan NSC 2015 secara sewenang-wenang. "NSC memang ada potensi mengubah dan memberi terlalu banyak kuasa kepada Najib, tapi saya rasa itu tak akan digunakan sampai Najib merasa putus asa," ujarnya. NATALIA SANTI (WALL STREET JOURNAL, CNBC, CHANNEL NEWS ASIA, DAILY MAIL)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo