Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DALAM kurun tujuh tahun, Kolonel Sercan Gurcan dua kali diseret ke meja hijau. Tidak main-main, perwira menengah Polisi Militer Turki ini dituding terlibat dalam aksi kudeta. Pada 2009, para pendukung Fethullah Gulen menuduh Gurcan sebagai bagian dari gerakan makar kelompok ultranasionalis, Ergenekon. "Ia menghabiskan bertahun-tahun di ruang sidang," kata putri Gurcan, Betul Gurcan, lewat akun Twitter-nya.
Lepas dari kasus pertama, Gurcan rupanya tidak sepenuhnya bebas. Pada 17 Juli lalu, tepat dua hari selepas kudeta gagal, alumnus Akademi Militer Turki tahun 1989 ini kembali diciduk polisi. Lagi-lagi Gurcan dianggap ikut dalam upaya menggulingkan Presiden Recep Tayyip Erdogan, tapi dengan alasan yang bertolak belakang. "Kali ini ia ditangkap atas tuduhan menjadi anggota 'negara paralel'," Betul Gurcan menuturkan dalam cuitannya.
Negara paralel, atau struktur paralel, adalah sebutan yang disematkan oleh pemerintah Turki terhadap gerakan Gulen. Bagi Erdogan, Gulen tidak hanya menjadi dalang kudeta. Dari pengasingannya di Pennsylvania, Amerika Serikat, ulama karismatik itu dituding mempersiapkan struktur bayangan. Dengan menempatkan para pengikutnya di posisi kunci lembaga-lembaga negara, Gulen siap mengambil alih Turki bila Erdogan lengser.
Di mata Erdogan, bekas teman seperjuangannya itu tak ubahnya teroris. Nahasnya, dengan dasar tuduhan itu, ia memberangus setiap orang yang dianggap antek Gulen. Bahkan, akibat Negeri Abang Sam yang tak kunjung memulangkan Gulen ke Turki, Erdogan juga "menyemprot" negara-negara Barat. "Barat telah mendukung terorisme dan membela kudeta," ucap pria 62 tahun ini pada Selasa pekan lalu.
Bagi Betul Gurcan, ayahnya didera ironi. Seperti dipingpong, Gurcan, yang dulu dimusuhi Gulenis (para pendukung Gulen), kini gantian dihajar kubu Erdogan. Tak hanya ditahan, Gurcan juga dicopot sebagai Komandan Polisi Militer Provinsi Istanbul, jabatan yang disandangnya sejak Agustus 2014. "Ayah saya telah mengabdi secara terhormat selama bertahun-tahun," ujar Betul Gurcan, yang kuliah di Universitas Bilkent di Ankara.
KOLONEL Sercan Gurcan adalah satu dari ribuan nama personel militer Turki yang masuk "daftar pembangkang". Polisi juga menangkapi komandan polisi militer di beberapa provinsi lain. Operasi itu merupakan bagian dari gerakan pembersihan yang dilakukan Recep Tayyip Erdogan terhadap para pengikut Fethullah Gulen dan tentara pembelot.
Badan Intelijen Nasional Turki (MIT) sebenarnya telah mengendus plot kudeta yang dirancang beberapa bulan lalu itu. Laporan telik sandi tersebut bahkan sampai di tangan Erdogan dan para petinggi militer enam jam sebelum kudeta meletus. "Kami menerima informasi pukul 4 sore," kata juru bicara Presiden Turki, Ibrahim Kalin.
Seperti diberitakan The Guardian, MIT telah menyadap lalu lintas pesan terenkripsi di antara para Gulenis jauh sebelum kudeta gagal pada 15 Juli lalu. "Dari banyak pesan berkode itu, MIT berhasil menghimpun puluhan ribu nama," ucap seorang pejabat Turki di Ankara. Pria yang enggan disebut identitasnya ini menuturkan, MIT mulai mengurai pesan-pesan rahasia yang dikirim via aplikasi ByLock itu pada Mei tahun lalu.
Dari hampir 40 ribu nama pengikut Gulen yang masuk radar MIT, terdapat 600 nama perwira militer. Pejabat Turki itu mengatakan sejumlah besar orang yang diidentifikasi melalui aplikasi ByLock tersebut secara langsung terlibat dalam upaya kudeta. "Data ByLock memungkinkan kami memetakan jaringan mereka," ujar pejabat tersebut.
Menurut dia, para Gulenis awalnya memakai aplikasi pesan terenkripsi sejak Desember 2013. Namun, karena mulai terendus MIT, mereka berganti menggunakan ByLock pada 2014. Usaha ini pun tidak bertahan lama. "Mereka lalu beralih ke aplikasi lain ketika menyadari bahwa ByLock dapat disadap," kata pejabat itu, merujuk pada layanan pesan instan WhatsApp, yang dikenal memiliki tingkat keamanan privasi yang terjamin.
Berbekal daftar di tangan, Recep Tayyip Erdogan bertindak cepat. Dalam hitungan hari pascakudeta, lebih dari 60 ribu orang diciduk. Belasan ribu dari mereka, meliputi tentara, polisi, hakim, jaksa, aparat negara, guru, dan dosen, dipecat. "Dengan kecepatan seperti itu, pemerintah pasti telah mematok siapa saja target mereka," menurut sejumlah analis.
Menteri Energi Turki Berat Albayrak membenarkan bahwa Ankara telah menyiapkan catatan "calon korban" mereka sejak sebelum kudeta meledak. Daftar itu berisi nama para pengikut Gulen di lembaga-lembaga vital negara. "Kami telah merencanakan pembersihan skala besar pada musim panas ini," ujar Albayrak, seperti dikutip The Guardian.
BAGI para penentang rezim Recep Tayyip Erdogan, kudeta pada medio Juli lalu memang berakhir berantakan. Alih-alih menumbangkan Erdogan, yang bersama Partai Keadilan dan Pembangunan (AKP) berkuasa sejak 2002, para pembangkang justru digulung balik oleh penguasa. Meski ini bukan berarti upaya makar itu dirancang setengah matang.
Dalam sebuah operasi penangkapan di Ankara, polisi menemukan daftar panjang di saku seragam seorang kolonel prokudeta. Daftar itu menggambarkan kudeta dipersiapkan secara rinci. "Di dalamnya ada nama-nama perwira militer yang diatur untuk mengambil alih pos-pos vital begitu kudeta berhasil," begitu menurut situs berita Middle East Eye.
Sejumlah posisi penting diincar, antara lain menteri dalam negeri, kepala kepolisian, manajer maskapai penerbangan Turkish Airlines, manajer dua bandar udara di Istanbul, manajer stasiun penyiaran pro-pemerintah TRT dan kantor berita Anadolu, serta Wali Kota Ankara. "Sebagian besar nama perwira dari Angkatan Udara dan Polisi Militer," seperti dilaporkan Middle East Eye. Faksi dari dua kesatuan militer itu disebut berandil paling besar dalam melancarkan kudeta.
Sercan Gurcan bukan satu-satunya nama mentereng dalam daftar itu. Perwira lain adalah Mikail Gullu, atase militer di Kedutaan Turki di Kuwait. Gullu diciduk di bandara Dammam di Arab Saudi, dua hari selepas kudeta gagal, menyusul permintaan dari Ankara. "Gullu tercatat sebagai manajer umum perusahaan milik negara di bidang produksi dan pengembangan persenjataan," begitu isi bocoran daftar tersebut.
KINERJA Badan Intelijen Turki (MIT) dalam menguak plot kudeta ibarat pisau bermata dua. Di satu sisi, lembaga telik sandi yang dipimpin Hakan Fidan itu dinilai gagal mencegah makar. Namun, dalam hal lain, Recep Tayyip Erdogan diketahui sengaja "membiarkan" kudeta meletus. Dengan begitu, ia mengantongi alasan kuat untuk memberangus lawan politiknya.
Fidan, 48 tahun, sempat dikabarkan bakal mundur dari jabatannya. Namun pensiunan sersan Angkatan Darat itu sejauh ini rupanya masih nangkring sebagai Kepala MIT. Meski begitu, MIT tidak lantas terlepas dari imbas operasi pembersihan oleh Erdogan. MIT dan Kepala Staf Umum Angkatan Bersenjata kini berada di bawah kendali langsung sang Presiden. Sebelumnya, kedua lembaga itu bertanggung jawab kepada perdana menteri.
Abdulkadir Selvi, kolumnis di harian Hurriyet, mengatakan ide menempatkan MIT dan Kepala Staf Umum di tangan presiden bukanlah hal baru. "Namun kudeta membuat restrukturisasi Angkatan Bersenjata dan intelijen Turki menjadi tak terelakkan," katanya. Bahkan Erdogan memberi sinyal perubahan itu dalam rapat kabinet pada awal Mei lalu.
Dampak lain adalah MIT akan dipecah dua. "MIT memiliki dua entitas, masing-masing mengurusi spionase luar negeri dan kontra-intelijen domestik," ucap Selvi, mengutip pernyataan Wakil Perdana Menteri Numan Kurtulmus. Kedua unit itu dihubungkan oleh "Koordinasi Intelijen", yang melapor kepada presiden dan menyusun analisis telik sandi.
Soal perombakan itu, Fidan tak mempersoalkan. Pria yang memimpin MIT sejak 2010 ini justru terinspirasi oleh badan intelijen Amerika Serikat dan Inggris. "Bandingkan dengan MIT yang mengurusi semua bidang. Akibatnya terjadi kesenjangan informasi," tulis Fidan dalam tesis masternya, yang dikutip Selvi. "Jika memiliki badan intelijen yang terpisah, Turki dapat menjalankan kebijakan luar negeri dengan nyaman." MAHARDIKA SATRIA HADI (HURRIYET, MIDDLE EAST EYE, THE GUARDIAN, BBC NEWS, ANADOLU)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo