Padamu, kota yang tua
Mata kami memandang setiap bari ke puncak puncak sinagog yang,
tinggi Memeluk gereja-gereja yang tua dan menghapus duka dari
selurub mesjid
SEPERTI ada sebuah doa dalam nyanyian Fairuz, biduanita Beirut
itu. Jerusalem, kota yang diperkenalkan ke dalam sejarah oleh
Daud, Raja Yudea dan Israel, yang menyimpan dalam dirinya
riwayat panjang dari pertemuan tiga agama besar, diharap tetap
dalam damai--meski dengan keprihatinan.
Di sinilah memang ketika agama menemukan pangkalnya: pohon
yang satu, yang membuahkan nabi demi nabi, dan mengisi udara
sebuah kota wasiat dengan doa berbagai versi. Sebuah kota kecil
pebukitan, bagian yang dikenal sebagai Kota Tua, berbentuk
hampir persegi dengan panjang masing-masing sekitar 1.000 yard,
dijaga oleh Gunung Zion di sebelah barat daya dan Bukit Zaitun
di arah timur.
Itulah sekumpulan dinding-dinding kuno dan jalan-jalan kecil, di
bawah pucuk-pucuk berbagai bangunan ibadah yang menyela-nyelai
pemandangan sebelah atas. Orang Yahudi kolot dari Timur, dan
juga Barat, orang Arab di punggung keledai, orang-orang
berpakaian modern, hiruk-pikuk di tengah campuran suara aan,
lonceng gereja dandoa Yahudi dari Tembok Tangis.
Tetapi Jerusalem bukan hanya kota pertemuan. Ia kelihatannya
memang sebuah kota untuk diperebutkan.
Empat abad sebelum Raja Daud memerintah di kota ini, penguasa
yang bisa direkam namanya justru orang Mesir, Abdu Kheba
namanya. Dan Sulaiman, putra Daud yang kemudian mengembangkan
Jerusalem demikian gemilang, hanya sekitar 50 tahun atau lebih
meninggalkan kerajaan dalam keamanan 922 s.M. Fir'aun dari Mesir
(Sheshonk 1) kembali menjangkaukan tangannya merebut kota. Ia
diikuti di tahun 850 s.M. oleh orang Palestina dan Arab.
Orang Israel lantas merebutnya kembali 64 tahun kemudian--dan
setelah melewati perebutan bangsa Asyur, di tahun 612 s.M.
Nebulcadnezar datang dari Babilon, melakukan penghancuran besar
dan memboyong raja serta penduduk ke Nainawi (Niniveh),
ibukotanya. Mereka herkuasa 75 tahun. Dan sekarang giliran Cyrus
11 dari Persia menjadi tuan. atu abad kemudian, Iskandar Agung
dari Makedonia mengambil alih, dan 63 s.M. Pompey dari Roma
merebut kota dan sekali lagi melakukan penghancuran.
Di masa inilah Herodus, orang Yahudi, dijadikan raja muda (40
s.M.) - dan selama pemerintahannya yang 36 tahun membangun
kembali kota suci itu. Tahun 6 Masehi, di bawah kekuasaan
penerusnya, Pontius Pilatus (dalam era Kristus), Jerusalem dan
seluruh tanah Yudea dijadikan provinsi Romawi. Tetapi 60 tahun
kemudian orang Yahudi berontak -- dan Titus datang untuk sekali
lagi menghancurkan kota.
Ketika Yahudi kembali berontak di rahun 132-135, Hadrian datang
dan mengubah nama Jerusalem -- menjadi Aelia Capitolina--dan
nama ini (Ilyaa') ada digunakan khalifah Islam, Umar bin
Khattab, dalam satu suratnya. Hanyalah harena Kaisar Konstantin
di tahun 324 memeluk Kristen, orang Nasrani mendapat keleluasaan
dan menjadi mungkin pendidikan berbagai gereja, termasuk gereja
Makam Kudus yang agung itu Jerusalem menjadi kota ziarah.
Tampak benar keinginan berbagai pihak -- tidak hanya untuk
berkuasa, tapi juga memaksakan agama. Sesudah masa damai
Jerusalem sebagai kota Kristen, misalnya di tahun 614 Persia
masuk kembali dan menghancurkan gereja-gereja--selain mengadakan
pembunuhan masal. Barulah Khalifah Umar, yang di tahun 638
diundang masuk kota-dan mengejutkan, karena berpakaian sangat
sederhana, sesudah segala kemenangan panglimanya di mana-mana
-memberi berbagai konsesi yang oleh sejarah dicatat sebagai yang
paling liberal dalam hal kemerdekaan agama dan rumah ibadah.
Lebih dari 300 tahun sahabat Nabi ini meninggalkan ketenteraman
di kota yang merana ini -- melewati masa dinasti-dinasti Umayyah
dm Abbasiyah, dan melewati masa pembangunan Kubah Karang dan
Masjid Al-Aqsha (lihat box). Sampai tahun 969 Dinasti Syi'ah
Fathimiyah dari Mesir menggantikan kedudukan Abbasiyah--dan
khalifahnya, Al-Hakim, memerintahkan penghancuran gereja-gereja.
Ketololan ini dilanjutkan oleh penggantinya, Bani Seljuq dari
Turki--yang menutup Jerusalem sebagai kota ziarah Kristen. Dan
itulah awal Perang Salib.
Dan yang diperbuat Tentara Salib pun tak kurang edan. Begitu
mereka masuk di tahun 1099, dan mengubah Jerusalem menjadi
kerajaan Kristen untuk sekitar 50-an tahun, yang mereka lakuhan
adalah pembunuhan masal--terhadap orang-orang Islam dan Yahudi,
seperti dicatat Encyclopaedia Britannila. Bahkan seperti
dituturkan Gibb dalam Shorter Encyclopaedia of Islam, Masjid
Umar alias Kubah Karang yang cantik itu mereka rombak. Mereka
jadikan Templum Domini, gereja Katolik bercorak Prancis.
Sultan Salahudddin Al-Ayyubilah yang kemudian meruntuhkan
kerajaan itu (1187). Dan, seperti disebut Prof. Aboebakar Atjeh
dalam Sejarab Masjid, mengembalikan lagi bentuk Masjid Umar
persis seperti semula. Dan sampai ke masa yang lebih akhir, di
bawah Dinasti Mamluk dari Mesir (1247-1517), keamanan boleh
dibilang menetap. Sekarang giliran Jerusalem menerima
perpindahan orang Yahudi dari Spanyol -- yang bersama
orang-orang Islam, di sana dikejar-kejar penguasa Kristen
setelah benteng terakhir Islam (Granada) jatuh di tahun 1492.
Jerusalem adalah kancah. Sebuah kota yang penuh barut. Dan
karena itu lebih dari satu pihak merasa memilikinya, atau telah
menanamkan andil yang besar. Bukankah di sini dahulu, di tengah
segala kekerasan, Yesus yang teraniaya itu diriwayatkan berjalan
mendukung salibnya -- disergap di Taman Getsemani di Bukit
Zaitun, berjalan di hari Jumat Suci melewati via rolorosa yang
hampir membelah Kota Tua, dan naik ke palang salib di Golgota?
Dan bukankah Bunda Maria juga dikubur di sini? Dan bukankah
pusat ziarah ini pula menjadi tempat konperensi pertama bersama
Paulus, Rasul Kristen itu?
Bagi Islam, arti sejarah Jerusalem barangkali lebih
fisik--setelah kedudukan kota itu sebagai tanah suci ketiga.
Dinding yang mengelilingi Kota Tua, misalnya, tak lain
ditegakkan oleh Sultan Sulaiman Agung (Turki) di masa
kekuasaannya -- dan dianggap berdasar pola dinding yang dibuat
Nabi Sulaiman dahulu, bahkan sebagiannya asli dari sebelum
Masehi. Bahkan Nabi Daud telah mereka muliakan pula dengan
sebuah masjid di makamnya, bila bukan makam itu sendiri pun
mereka yang membangun.
Tak heran. Seperti dihitung oleh pengarang sebuah buku kecil
tentang Baitul Maqdis, A. Faruq Nasution, orang Islam menguasai
-- dan mendiami -Jerusalem tak kurang dari 1.300 tahun,
Sementara orang Yahudi tak lebih dari hanya 418 tahun. Bahkan di
masa orang Yahudi Spanyol lari pulang ke sana di tahun 1492, di
bawah kekuasaan Islam, jumlah Yahudi dikatakan hanya 1.500 orang
-- sementara 32 tahun kemudian sudah menjadi 1.300 keluarga.
Tetapi, milik siapakah tanah itu sebenarnya?
Sudah tentu orang Yahudi menganggap bahwa justru di zaman inilah
"negeri yang dijanjikan", yang beribu-ribu tahun "dijajah
berbagai bangsa", kembali ke tangan mereka. Sudah tentu Daud
merupakan gantungan utama--sementara orang Islam, untuk bicara
tentang masa purba, bisa mengatakan bahwa Daud sebenarnya "bukan
pemilik asli" wilayah itu. Raja yang adil itu dahulu bahkan
meminta izin kepada Araunah El Jabusi, pemilik tanah tempat sang
raja mendirikan masjidnya, dan membayar 50 dirham--sedang El
Jabusi tak lain adalah suku Arab. Jadi siapa yang menjanjikan
tanah itu, Jerusalem, yang namanya tak pernah disebut oleh bapak
moyang sang nabi perkasa?
Tragis, memang, bila sebuah bangsa tidak mempunyai suatu tempat
idaman, suatu ibukota ideal bagi rumah mereka. Sama tragisnya
dengan kenyataan diusirnya penduduk Arab di tanah Israel,
setelah untuk masa sangat panjang ampai ke zaman paling akhir
mendiami negeri yang turun-temurun mereka warisi. Tahun 1947
misalnya. saat pembagian Jerusalem menjadi Timur dan Barat,
penduduk Yahudi di Kota Lama berjumlah hanya 2.400 orang,
sementara muslimin mencapai 33.600--menurut sarjana bernama John
Martin dalam Ariful Arif, Al Mufassal fi Tarikhil Quds.
DAN tahun 1970, seluruh penduduk Jerusalem sudah menjadi sekitar
300.000--tiga tahun setelah penggabungan daerah timur (Jordan)
ke barat. 75% dari mereka Yahudi, 21% muslim dan 4% Kristen
berbagai ragam Orthodox, Monofisit, Latin, Protestan. Semuanya
di bawah pemerintahan Yahudi, tentu, meskipun penduduk Arab
diberi hak suara dalam pemilihan (dengan calon-calon hanya
Yahudi). Juga mereka menjadi pegawai, atau polisi yang terutama
menjaga berbagai bangunan suci, memiliki dua surat kabar (Yahudi
hanya satu), sementara bahasa mereka dipakai sebagai salah-satu
dari dua bahasa siaran radio resmi.
Akan dianggap milik siapa kota itu sebenarnya, yang jelas di
tahun 1968 satu rencana induk telah disusun pihak kota praja
(Israel) bagi perluasan besar-besaran. Dari 42 mil persegi
semula (seluruh bagian barat, termasuk Kota rua, dan bagian
timur), menjadi enam kali lipatnya. Sekeliling Kota Tua sendiri
akan dibangun taman atau Jalur hijau -- dan seluruh rumah
peribadatan berbagai agama, lengkap dengan tembok-temboknya yang
tua, tentunya diharap akan tampak dari sela pohonpohonan:
Fairuz, biduanita Libanon itu, barangkali akan melihat
pemandangan yang lebih indah nantinya. Hanya tak jelas, apakah
kesedihannya dari puncak-puncak gereja, sinagog dan
masjid-masjid, akan sirna.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini