Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Kota Nabi-Nabi (Dan Barut-Barut)

Sejarah dan keadaan kota jerusalem, kota lahirnya para nabi dan tiga agama, islam, kristen dan yahudi. dari dulu orang memperebutkannya, menghancurkannya dan membangunnya lagi.

19 Juli 1980 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Padamu, kota yang tua Mata kami memandang setiap bari ke puncak puncak sinagog yang, tinggi Memeluk gereja-gereja yang tua dan menghapus duka dari selurub mesjid SEPERTI ada sebuah doa dalam nyanyian Fairuz, biduanita Beirut itu. Jerusalem, kota yang diperkenalkan ke dalam sejarah oleh Daud, Raja Yudea dan Israel, yang menyimpan dalam dirinya riwayat panjang dari pertemuan tiga agama besar, diharap tetap dalam damai--meski dengan keprihatinan. Di sinilah memang ketika agama menemukan pangkalnya: pohon yang satu, yang membuahkan nabi demi nabi, dan mengisi udara sebuah kota wasiat dengan doa berbagai versi. Sebuah kota kecil pebukitan, bagian yang dikenal sebagai Kota Tua, berbentuk hampir persegi dengan panjang masing-masing sekitar 1.000 yard, dijaga oleh Gunung Zion di sebelah barat daya dan Bukit Zaitun di arah timur. Itulah sekumpulan dinding-dinding kuno dan jalan-jalan kecil, di bawah pucuk-pucuk berbagai bangunan ibadah yang menyela-nyelai pemandangan sebelah atas. Orang Yahudi kolot dari Timur, dan juga Barat, orang Arab di punggung keledai, orang-orang berpakaian modern, hiruk-pikuk di tengah campuran suara aan, lonceng gereja dandoa Yahudi dari Tembok Tangis. Tetapi Jerusalem bukan hanya kota pertemuan. Ia kelihatannya memang sebuah kota untuk diperebutkan. Empat abad sebelum Raja Daud memerintah di kota ini, penguasa yang bisa direkam namanya justru orang Mesir, Abdu Kheba namanya. Dan Sulaiman, putra Daud yang kemudian mengembangkan Jerusalem demikian gemilang, hanya sekitar 50 tahun atau lebih meninggalkan kerajaan dalam keamanan 922 s.M. Fir'aun dari Mesir (Sheshonk 1) kembali menjangkaukan tangannya merebut kota. Ia diikuti di tahun 850 s.M. oleh orang Palestina dan Arab. Orang Israel lantas merebutnya kembali 64 tahun kemudian--dan setelah melewati perebutan bangsa Asyur, di tahun 612 s.M. Nebulcadnezar datang dari Babilon, melakukan penghancuran besar dan memboyong raja serta penduduk ke Nainawi (Niniveh), ibukotanya. Mereka herkuasa 75 tahun. Dan sekarang giliran Cyrus 11 dari Persia menjadi tuan. atu abad kemudian, Iskandar Agung dari Makedonia mengambil alih, dan 63 s.M. Pompey dari Roma merebut kota dan sekali lagi melakukan penghancuran. Di masa inilah Herodus, orang Yahudi, dijadikan raja muda (40 s.M.) - dan selama pemerintahannya yang 36 tahun membangun kembali kota suci itu. Tahun 6 Masehi, di bawah kekuasaan penerusnya, Pontius Pilatus (dalam era Kristus), Jerusalem dan seluruh tanah Yudea dijadikan provinsi Romawi. Tetapi 60 tahun kemudian orang Yahudi berontak -- dan Titus datang untuk sekali lagi menghancurkan kota. Ketika Yahudi kembali berontak di rahun 132-135, Hadrian datang dan mengubah nama Jerusalem -- menjadi Aelia Capitolina--dan nama ini (Ilyaa') ada digunakan khalifah Islam, Umar bin Khattab, dalam satu suratnya. Hanyalah harena Kaisar Konstantin di tahun 324 memeluk Kristen, orang Nasrani mendapat keleluasaan dan menjadi mungkin pendidikan berbagai gereja, termasuk gereja Makam Kudus yang agung itu Jerusalem menjadi kota ziarah. Tampak benar keinginan berbagai pihak -- tidak hanya untuk berkuasa, tapi juga memaksakan agama. Sesudah masa damai Jerusalem sebagai kota Kristen, misalnya di tahun 614 Persia masuk kembali dan menghancurkan gereja-gereja--selain mengadakan pembunuhan masal. Barulah Khalifah Umar, yang di tahun 638 diundang masuk kota-dan mengejutkan, karena berpakaian sangat sederhana, sesudah segala kemenangan panglimanya di mana-mana -memberi berbagai konsesi yang oleh sejarah dicatat sebagai yang paling liberal dalam hal kemerdekaan agama dan rumah ibadah. Lebih dari 300 tahun sahabat Nabi ini meninggalkan ketenteraman di kota yang merana ini -- melewati masa dinasti-dinasti Umayyah dm Abbasiyah, dan melewati masa pembangunan Kubah Karang dan Masjid Al-Aqsha (lihat box). Sampai tahun 969 Dinasti Syi'ah Fathimiyah dari Mesir menggantikan kedudukan Abbasiyah--dan khalifahnya, Al-Hakim, memerintahkan penghancuran gereja-gereja. Ketololan ini dilanjutkan oleh penggantinya, Bani Seljuq dari Turki--yang menutup Jerusalem sebagai kota ziarah Kristen. Dan itulah awal Perang Salib. Dan yang diperbuat Tentara Salib pun tak kurang edan. Begitu mereka masuk di tahun 1099, dan mengubah Jerusalem menjadi kerajaan Kristen untuk sekitar 50-an tahun, yang mereka lakuhan adalah pembunuhan masal--terhadap orang-orang Islam dan Yahudi, seperti dicatat Encyclopaedia Britannila. Bahkan seperti dituturkan Gibb dalam Shorter Encyclopaedia of Islam, Masjid Umar alias Kubah Karang yang cantik itu mereka rombak. Mereka jadikan Templum Domini, gereja Katolik bercorak Prancis. Sultan Salahudddin Al-Ayyubilah yang kemudian meruntuhkan kerajaan itu (1187). Dan, seperti disebut Prof. Aboebakar Atjeh dalam Sejarab Masjid, mengembalikan lagi bentuk Masjid Umar persis seperti semula. Dan sampai ke masa yang lebih akhir, di bawah Dinasti Mamluk dari Mesir (1247-1517), keamanan boleh dibilang menetap. Sekarang giliran Jerusalem menerima perpindahan orang Yahudi dari Spanyol -- yang bersama orang-orang Islam, di sana dikejar-kejar penguasa Kristen setelah benteng terakhir Islam (Granada) jatuh di tahun 1492. Jerusalem adalah kancah. Sebuah kota yang penuh barut. Dan karena itu lebih dari satu pihak merasa memilikinya, atau telah menanamkan andil yang besar. Bukankah di sini dahulu, di tengah segala kekerasan, Yesus yang teraniaya itu diriwayatkan berjalan mendukung salibnya -- disergap di Taman Getsemani di Bukit Zaitun, berjalan di hari Jumat Suci melewati via rolorosa yang hampir membelah Kota Tua, dan naik ke palang salib di Golgota? Dan bukankah Bunda Maria juga dikubur di sini? Dan bukankah pusat ziarah ini pula menjadi tempat konperensi pertama bersama Paulus, Rasul Kristen itu? Bagi Islam, arti sejarah Jerusalem barangkali lebih fisik--setelah kedudukan kota itu sebagai tanah suci ketiga. Dinding yang mengelilingi Kota Tua, misalnya, tak lain ditegakkan oleh Sultan Sulaiman Agung (Turki) di masa kekuasaannya -- dan dianggap berdasar pola dinding yang dibuat Nabi Sulaiman dahulu, bahkan sebagiannya asli dari sebelum Masehi. Bahkan Nabi Daud telah mereka muliakan pula dengan sebuah masjid di makamnya, bila bukan makam itu sendiri pun mereka yang membangun. Tak heran. Seperti dihitung oleh pengarang sebuah buku kecil tentang Baitul Maqdis, A. Faruq Nasution, orang Islam menguasai -- dan mendiami -Jerusalem tak kurang dari 1.300 tahun, Sementara orang Yahudi tak lebih dari hanya 418 tahun. Bahkan di masa orang Yahudi Spanyol lari pulang ke sana di tahun 1492, di bawah kekuasaan Islam, jumlah Yahudi dikatakan hanya 1.500 orang -- sementara 32 tahun kemudian sudah menjadi 1.300 keluarga. Tetapi, milik siapakah tanah itu sebenarnya? Sudah tentu orang Yahudi menganggap bahwa justru di zaman inilah "negeri yang dijanjikan", yang beribu-ribu tahun "dijajah berbagai bangsa", kembali ke tangan mereka. Sudah tentu Daud merupakan gantungan utama--sementara orang Islam, untuk bicara tentang masa purba, bisa mengatakan bahwa Daud sebenarnya "bukan pemilik asli" wilayah itu. Raja yang adil itu dahulu bahkan meminta izin kepada Araunah El Jabusi, pemilik tanah tempat sang raja mendirikan masjidnya, dan membayar 50 dirham--sedang El Jabusi tak lain adalah suku Arab. Jadi siapa yang menjanjikan tanah itu, Jerusalem, yang namanya tak pernah disebut oleh bapak moyang sang nabi perkasa? Tragis, memang, bila sebuah bangsa tidak mempunyai suatu tempat idaman, suatu ibukota ideal bagi rumah mereka. Sama tragisnya dengan kenyataan diusirnya penduduk Arab di tanah Israel, setelah untuk masa sangat panjang ampai ke zaman paling akhir mendiami negeri yang turun-temurun mereka warisi. Tahun 1947 misalnya. saat pembagian Jerusalem menjadi Timur dan Barat, penduduk Yahudi di Kota Lama berjumlah hanya 2.400 orang, sementara muslimin mencapai 33.600--menurut sarjana bernama John Martin dalam Ariful Arif, Al Mufassal fi Tarikhil Quds. DAN tahun 1970, seluruh penduduk Jerusalem sudah menjadi sekitar 300.000--tiga tahun setelah penggabungan daerah timur (Jordan) ke barat. 75% dari mereka Yahudi, 21% muslim dan 4% Kristen berbagai ragam Orthodox, Monofisit, Latin, Protestan. Semuanya di bawah pemerintahan Yahudi, tentu, meskipun penduduk Arab diberi hak suara dalam pemilihan (dengan calon-calon hanya Yahudi). Juga mereka menjadi pegawai, atau polisi yang terutama menjaga berbagai bangunan suci, memiliki dua surat kabar (Yahudi hanya satu), sementara bahasa mereka dipakai sebagai salah-satu dari dua bahasa siaran radio resmi. Akan dianggap milik siapa kota itu sebenarnya, yang jelas di tahun 1968 satu rencana induk telah disusun pihak kota praja (Israel) bagi perluasan besar-besaran. Dari 42 mil persegi semula (seluruh bagian barat, termasuk Kota rua, dan bagian timur), menjadi enam kali lipatnya. Sekeliling Kota Tua sendiri akan dibangun taman atau Jalur hijau -- dan seluruh rumah peribadatan berbagai agama, lengkap dengan tembok-temboknya yang tua, tentunya diharap akan tampak dari sela pohonpohonan: Fairuz, biduanita Libanon itu, barangkali akan melihat pemandangan yang lebih indah nantinya. Hanya tak jelas, apakah kesedihannya dari puncak-puncak gereja, sinagog dan masjid-masjid, akan sirna.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus