"Kami telah '.. mbali ke tanah suci ini, dan kami tidak akan
pernah dipisahkan lagi dengannya."
--Moshe Dayan.
MENTERI Pertahanan Israel itu mengucapkan kata-kata ini
beberapa saat setelah tentara Israel merebut Kota Tua Jerusalem
dari tangan Jordania, 7 Juni 1967. Sekarang, ucapan Moshe Dayan
ini semakin terasa gemanya. Terutama sejak Knesset (parlemen)
memperdebatkan usul untuk memperluas ibukota negara itu. Hingga
meliputi wilayah Jerusalem Timur dan Kota Tua yang diduduki
Israel sejak perang '67 itu.
Tapi maksud Israel untuk memperluas ibukotanya itu sempat
menimbulkan protes. Dewan Keamanan PBB dalam resolusinya akhir
Juni lalu mengutuk tindakan Israel itu.
Selama ini walaupun tidak pernah diakui PBB, Israel mengklaim
bahwa Jerusalem Timur merupakan satu kesatuan dengan Jerusalem
Barat--wilayah yang menjadi ibukotanya sebelum 'Perang 6 Hari',
Juni 1967. Namun status Jerusalem Barat sebagai ibukota tak
sepenuhnya diakui oleh negara-negara yang punya hubungan
diplomatik dengan Israel. Dari 45 negara hanya 21 negara yang
menempatkan kedutaan besarnya di Jerusalem, termasuk Negeri
Belanda dan negara Amerika Latin. Sedang AS tetap menempatkan
kedutaan besarnya di Tel Aviv.
Mungkin sebab itu pula, DK-PBB agak lebih mudah mencapai kata
sepakat dalam mengeluarkan resolusinya yaitu dengan perbandingan
suara 14 lawan 0. Sedang AS menyatakan blanko, meskipun Israel
sangat mengharapkan AS memvetonya.
"Kami menyayangkan keputusan Dewan Keamanan itu," kata Yigael
Yadin, yang menjabat Perdana Menteri sejak Menachem Begin kena
serangan jantung ringan akhir Juni. Ia menyesalkan sikap AS yang
tidak memveto resolusi itu. "Bagaimana pun Jerusalem adalah ibu
kota Israel, tidak akan ada yang bisa mengubahnya," ujar Yadin.
Memang sejak sebelum terbentuknya negara Israel 14 Mei 1948,
bangsa Yahudi ingin menguasai kembali seluruh Jerusalem Di situ
terletak Bukit Kuil (Temple Mount) dan Dinding Tangis, tempat
suci Judaisme (agama bangsa Yahudi) Namun keputusan PBB tahun
1947--yang menjadi dasar pembentukan Israel, menyatakan bagian
tempat suci di Kota Tua itu sebagai zone internasional di bawah
pengawasan Jordania.
Sejak dahulu kala, Kota Tua itu terbagi 4 bagian yang disebut
wilayah Muslim, wilayah Kristen, wilayah Armenian dan
wilayahlhudi (lihat peta). Tahun 1948, Israel pernah mencoba
merebut bagian wilayah Yahudi di Kota Tua itu. Namun berkat
perlawanan yang keras dari tentara Jordania, pasukan Israel
gagal untuk merebutnya. Dan kenyataan ini sempat membuat trauma
para perwira Israel yang 19 tahun kemudian berhasil merebut
seluruh bagian kota itu.
Ketika tentara Jordania mulai menembaki Jerusalem Barat pada
suatu pagi Juni '67, Israel melihatnya sebagai pertanda bahwa
mimpi lama akan segera menjadi kenyataan. Dan pada hari kedua
dari 'Perang 6 Hari' itu, Menachem Begin baru saja diangkat
sebagai menteri dalam Kabinet Levi Eshkol, Ia merasa cemas
mendengar siaran berita radio bahwa sedang diusahakan gencatan
senjata antara Mesir, Jordania dan Israel.
Khawatir kalau momentum untuk merebut Jerusalem hilang begitu
saja, Begin pagi itu juga menelepon PM Levi Eshkol. Dan Eshkol
segera memanggil Menteri Pertahanan Moshe Dayan untuk mengadakan
pertemuan bertiga di Tel Aviv. Keluarlah keputusan yang berupa
perintah, "jangan hanya mengepung, tapi serbu." Beberapa jam
kemudian seluruh bagian Jerusalem jatuh ke tangan Israel.
Buat bangsa Yahudi, Jerusalem bukan sekedar sebuah kota, atau
ibukota. sejak terusirnya bangsa ini 2500 tahun lalu, generasi
demi generasi memimpikan kembalinya Jerusalem. Bahkan dalam doa
mereka sering diulang-ulang kalimat yang dikutip dari Perjanjian
lama pada bagian pembuangan di Babilon "Jika saya melupakan-Mu,
Oh Jerusalem, biarlah tangan kananku lupa akan kelihatannya".
Sesuatu yang bernada sumpah.
laka itu sejak awal perundingan Camp David yang disponsori AS,
September '78, masalah Jerusalem adalah satu di antara materi
sengketa Mesir-Israel. Mesir menghendaki Israel mundur dari
wilayah Jerusalem Timur. Sementara Israel berpendipat Kota itu
tetap menyatu di bawah Israel, dengan memberikan jaminan kepada
setiap pemeluk agama bebas menggunakan tempat-tempat sucinya.
Namun pada lanjutan perundingan soal otonomi Palestina, masalah
yang menyangkut kota suci 3 agarna itu--Islam, Kristen dan
Judaisme--tampaknya dihindari untuk dibicarakan secara
eksplisit. Dan ketika Israel mengumumkan rencana perluasan
ibukotanya, pertengahan Mei lalu, Presiden Anwar Sadat langsung
memerintahkan supaya perundingan dihentikan. Ia rupanya begitu
kecewa dengan sikap Israel yang di luar dugaannya.
Tapi PM Menachem Begin sudah berulangkali mengaitkan nama
wilayah Tepi Barat Jordania dan Jalur Gaza dengan nama Judea
dan Samarria, seperti yang termuat dalam Perjanjian lama. Dengan
menyebut Judea dan Samaria, Begin yang dikenal sebagai tokoh
fanatik agama Yahudi itu, bermaksud untuk memberi arti historis
sebagai 'tanah yang dijanjikan' kepada bangsa Yahudi.
Terlepas dari perbedaan pengertian mengenai apa yang disebut
otonomi, Israel tampaknya tidak akan pernah mernberi kesempatan
pada bangsa Palestina untuk berpemerintahan sendiri, sebagaimana
yang menjadi tuntutan Mesir. Dalam suatu pidatonya pada
pertemuan Partai Likud beberapa bulan yang lalu, Begin
mengemukakan bahwa keamanan di Judea dan Samaria mesti berada di
tangan Israel, bukan di tangan siapa pun."Siapa saja yang
menginginkan persetujuan dengan kita harus menerima prinsip im,"
ujarnya.
Menyangkut Tepi Barat dan Jalur Gaza yang jadi kontroversi,
bahkan pemerintah Begin mengumumkan dibukanya lagi pemukiman
baru bagi orang Yahudi di kedua wilayah itu. Menurut rencana,
sampai tahun 1983 akan dibangun 29 pemukiman baru di Tepi Barat.
Artinya Israel bersengaja untuk tetap mempertahankan wilayah itu
dalam kekuasaannya.
Tapi tidak semua kekuatan politik di Israel mendukung tindakan
Begin ini. Suatu gerakan yang menamakan dirinya 'Damai Sekarang'
sejak 2 tahun lalu menghimb au pemerintah Israel untuk
mengakhiri pendudukannya di Tepi Barat dan Jalur Gaza. Dan pada
tahun '75, 350 perwira di Komando Cadangan mengirimkan surat
terbuka kepada PM Begin yang meminta agar dihentikannya
pemukiman orang Yahudi di wilayah Arab yang diduduki Israel.
Bahkan bulan lalu gerakan 'Damai Sekarang' semakin menjuruskan
aksinya ke arah pemerintahan Begin. Setelah berdemonstrasi
selama seminggu gerakan itu berhasil mengumpulkan 40 ribu orang
simpatisannya untuk suatu rapat umum di Tel Aviv. Mereka
menuntur agar pemerintahan Begin segera mundur dan-mengadakan
pemilihan umum secepatnya.
Partai Buruh yang beroposisi juga jelas berbeda-sikap dengan
Begin dalam menghadapi masalah Tepi Barat Sungai Jordan dan
Jalur Gaza. Suatu kontak antara Partai Buruh dengan pemerintah
Jordania ternyata sudah berlangsung. Hal ini diungkapkan oleh
Shimon Peres, Ketua Partai Buruh yang akan menjadi saingan Begin
dalam pemilu tahun depan.
"Kami bakal siap untuk memberikan kesempatan kepada Jordania dan
bangsa Palestina membentuk pemerintahan sendiri di Tepi Barat
dan wilayah yang padat dengan penduduk Arab," kata God Yaacobi,
seorang arsitek dari usul Partai Buruh ini. Sikap ini tentu saja
bertentangan dengan pendapat kaum agama yang mengangap Tepi
Barat adalah 'tanah pemberin Tuhan', milik bangsa Yahudi sejak
zaman Ibrahim. Bahkan partai ini berpendapat bahwa masalah
Palestina haruslah dipecahkan melalui jalan komprmi dengan
Jordania.
Namun mengenai status ibukota Jerusalem, termasuk rencana untuk
meluaskannya, semua partai sependapat dengan Begin. Dan akhir
Juni lalu, suatu komite di Knesset yang membicarakan usul
perluasan itu memberikan persetujuannya. Artinya usul tersebut
sedang dalam proses untuk diumumkan sebagai undang-undang. Bila
itu terjadi, resmilah Kota Tua itu menjadi wilayah Israel.
MENLU Inggris Lord Carrington pekan lalu mengecam rencana
pemindahan kantor PM Israel ke Jerusalem Timur. Mendengar
kecaman itu PM Bagin langsung menjawab bahwa Carrington tidak
mempunyai hak untuk mencampuri urusan Israel.
Bagaimana tentang alternatif untuk menjadikan Jerusalem sebagai
zone internasional sebagaimana yang diusulkan Paus John Paul II?
Itu tampaknya tidak digubris Israel. Dalam pernyataannya akhir
Juni, Menteri Luar Negeri Vatikan memperingatkan bahwa setiap
usaha sepihak untuk mengubah status kota Jerusalem adalah
sesuatu yang berbahaya. Ia menghimbau agar dalam menentukan masa
depan Jerusalem hendaklah mengikut sertakan kalangan Kristen,
Yahudi dan Islam.
Vatikan cemas akan nasib Jerusalem terutama sejak adanya rencana
perluasan ibukota Israel itu. Pernyataan Menlu Vatikan itu
sangat erat hubungannya dengan resolusi DK-PBB. Tapi jauh
sebelum itu Konperensi Menlu Negara Islam di Islamabad Mei lalu,
juga telah menyampaikan resolusinya yang menguuk maksud Israel
itu.
Sikap negara Islam ini tampaknya semakin dipertegas dalam
Konperensi Menlu Negara Islam yang diadakan di Amman, Jordania,
pekan lalu. Mereka mendesak negara-negara yang mempunyai
hubungan diplomatik dengan Israel untuk memindahkan kedutaan
besarnya dari Jerusalem. Bila hal ini tidak digubris,
negara-negara Islam akan mengenakan sanksi. Yaitu berupa
pemutusan hubungan diplomatik.
Konperensi ini diadakan atas usul organisasi Pembebasan
Palestina (PLO) untuk menyatukan pendapat dunia Islam dalam
sidang MU-PBB yang akan membicarakan lagi masalah Palestina pada
22 Juli Dalam membuka konperensi itu, Raja Husein dari Jordania
mencela aksi Israel yang menduduki wilayah Palestina.
"Pengembalian kedaulatan Jerusalem adalah kunci penyelesaian
yang adil," katanya.
Dalam konferensi yang di hadiri 2 negara Islam itu,
termasuk Indonesia, suara Pakistan cukup keras menghantam
Israel. Menlu Agha Shahi dari Pakistan menuduh Israel
mengabaikan sepenuhnya resolusi yang dikeluarkan masyarakat
internasional. Ia juga mengatakan bahwa rencana perluasan
ibukota Israel itu bertujuan untuk menjadikan mimpi Zionis yaitu
terbentuknya Israel Raya menjadi kenyataan, dengan mengorbankan
bangsa Arab.
Memang, dengan munculnya masalah Jerusalem ini perjanjian Camp
David menjadi semakin kelabu. Apalagi dengan adanya resolusi
DK-PBB. Karena bagaimana pun Israel jelas menganggap bahwa
perundingan adalah semacam sasaran untuk pada akhirnya tetap
mempertahankan wilayah yang didudukinya. Sesuatu yang ironi,
paling tidak buat Mesir yang selama ini percaya bahwa
penyelesaian damai di Timur Tengah hanya bisa dicapai dengan
jalan perundingan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini