SIKLUS sidang raya DGI empat tahun sekali. Maju mundurnya
setahun. Tahun ini kota Tomohon bakal kejatuhan repot. Tapi tak
apa, sebab daerah yang 'kontroversial' lantaran jadi gudang
cengkih paling kaya di negeri ini sanggup menanggung beban.
Apalagi tahun ini tahun kabisat, bunga cengkih bakal tumbuh
kelewat lebat. Sidang raya toh bersamaan dengan panen raya.
Nampaknya sidang kali ini malah akan jadi mewah dan mungkin
hingar-bingar.
Pesta
Agama dan pesta memang susah dipisah. Sejak dulu agama
menyediakan waktu kepada umat untuk menyatakan kegirangan.
Hari-hari tertentu disendirikan guna bersuka-ria. Setiap agama
punya hari raya. Dan pesta oikumenis dengan undangan kurang
lebih seribu orang boleh dibilang pesta ukuran setengah kolosal.
Auditorium sudah dibangun dengan harga ratusan juta. Kembang api
yang kabarnya seharga jutaan rupiah bakal disulut
berpendar-pendar di udara, demi merangsang gairah dan rasa
senang. Ditambah lagi prosesi dengan langkah khas para clergy
(para abdi?) yang berjubah serba hitam akan merupakan
kenikmatan, baik buat mereka sendiri dan diharap begitu pula
bagi sekalian yang melihatnya. Para pejabat baik sipil maupun
militer dari segala tingkat bakal diundang untuk menyemarakkan
suasana. Paduan suara serta tetabuhan lainnya akan turut pula
meningkahi pesta keagamaan tersebut. Di samping itu perjamuan
bersama akan berlangsung berulang kali. Makan kenyang sudahlah
pasti.
Namun kendati sebuah pesta agama adalah ekspresi kelepasan, tak
jarang nafsu gelojoh menjadikannya sekedar ramai-ramai makan
kenyang. Sebab itu ibadah dan unsur-unsur selebrasi hendak
dihidupkan untuk menahan diri yang suka-suka alpa. Siapa tahu
sambil makan di meja perjamuan orang masih bisa diingatkan pada
kebutuhan-kebutuhan lain di hari esok. Dan sewaktu doa-doa
syukur hendak dipanjatkan siapa tahu orang sempat teringat pula
pada sesama yang belum dapat bagian.
Sidang
Sidang raya adalah nama lain dari rapat besar. Sembilan kali
rapat sejak tahun 1950 membekali DGI dengan serba pengalaman
mengadakan rapat. Notulen semakin rapi, seluk-beluk siasat rapat
pun semakin dipahami para pemimpin gereja. Pendeta yang biasanya
dikenal sebagai 'agen pengampun dosa' kini lebih banyak bekerja
sebagai 'manajer perseroan terbatas' yang mencantumkan jam kerja
segala. Alhasil banyak warga gereja menjadi risau ditinggal
pendetanya yang sibuk 'berpolitik' dalam berbagai organisasi,
seolah mereka telah gantu protesi.
Sementara itu warga jemaat dari banyak gereja yang masih
tertanam dalam sejarah dan tradisinya belum sempat mengenyam
buah-buah pohon oikumene yang ditanam. Dan sebagaimana biasa
dalam setiap gerakan yang dimulai oleh para tokoh dari pusat,
maka buah-buah perdana itu baru bisa dinikmati oleh kalangan
mereka saja. Masalah organisasi, administrasi dan kepemimpinan
yang dihadapi oleh DGI sedikit banyaknya bersumber pada
kenyataan bahwa gerakan oikumene masih mengambang di atas
sebagai kesibukan ekstra para pemimpin gereja. Dan pula
sebagaimana biasa dalam kesibukan para pemimpin, maka atas nama
kepentingan umat atau rakyat sering timbul setori yang biasanya
seru dan berlarut-larut, dalam bahasa "oikumenis" disebut intra
elite faction fighting.
Untuk menghadapi hal itu sidang raya harus benar-benar pintar
mencari keseimbangan. Peran 'suku-suku besar' harus diberikan
tanpa meremehkan 'suku-suku kecil'. Juga arah mata angin perlu
sekali diperhatikan dalam memilih pemimpin. Misalnya apabila
Sekretaris Jenderal berasal dari arah barat, maka Ketua Jenderal
sebaiknya dari arah timur. Dan apabila Ketua Jenderal dari
sebelah utara misalnya, Sekretaris Jenderal dari selatan, begitu
seterusnya. Tak baik keduanya datang dari arah mata angin yang
sama. Kesempatan harus dibagi rata.
Begitu pula dianjurkan agar seseorang tidak duduk di kursinya
terlalu lama, agar dedikasi pelayanan pastoralnya tidak
dikacaukan orang dengan ambisi kekuasaan. Di sini penampilan
kependetaan dipertaruhkan. Nah, jadi dalam setiap sidang raya
acara pilih-memilih selalu menjadi agenda yang ramai.
Hiruk-pikuknya terkadang melebihi keramaian pesta itu sendiri.
Gereja yang esa
Adapun tujuan DGI adalah 'gereja yang esa di Indonesia'. Tapi
adakah bilangan yang lebih musykil daripada 'esa'? Sejak semula
gereja-gerqa di Indonesia menghadapi teka-teki tentang angka
satu yang musykil ini. Alhasil, 'gereja yang esa' bukan hanya
sulit untuk direnung-renungkan akan tetapi lebih-lebih hampir
mustahil untuk dinyatakan. Akhirnya soal keesaan lebih banyak
dipikirkan sebagai soal kesabaran, tepatnya mungkin kesabaran
Ilahi yang tanpa batas.Dalam hubungan ini generasi Leimena
sebagai generasi pemula gerakan oikumene di Indonesia telah
banyak menyumbangkan jasanya dalam menyebar-luaskan gagasan
tentang keesaan ini. Generasi ini nampaknya telah berhasil
meletakkan dasar-dasar spiritual yang memadai untuk memulai
gerakan keesaan gereja.
Leimena dan rekan seangkatannya kelihatan jauh-lebih memahami
suasana kehidupan batin warga jemaat dibanding dengan generasi
'para doktor teologia' yang muda-muda. Pengelolaan gerakan
oikumenis oleh generasi sesudah Leimena semakin kehilangan aspek
spiritual dan penampilannya. Wajah spiritualnya kabur terbaur
dengan gaya seorang pegawai negeri yang tegang mempertahankan
profesi. Dari pertemuan Tomohon akan semakin diharapkan
munculnya generasi pastor yang lebih berdedikasi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini