Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Komisi Anti Korupsi Malaysia (MACC) pada Kamis, 9 Maret 2023, mengumumkan penahanan mantan Perdana Menteri Malaysia, Muhyiddin Yassin, dan akan menuntutnya atas beberapa tindakan korupsi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
MACC mengeluarkan pernyataan bahwa Muhyiddin ditangkap setelah diperiksa terkait proyek pemulihan ekonomi yang dicanangkan oleh pemerintahannya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Muhyiddin, yang berusia 75 tahun, secara sukarela menghadiri interogasi di MACC pada Kamis pagi, terkait tuduhan yang menuduh kontraktor bangunan yang diduga menyetor uang ke rekening partai Bersatu sebagai imbalan kontrak selama masa pandemi.
Muhyiddin yang merupakan Ketua Koalisi Perikatan Nasional (PN) ini, akan didakwa berdasarkan undang-undang terkait penyalahgunaan kekuasaan dan pencucian uang.
Kepala MACC, Azam Baki, sebelumnya memberitahu kantor berita negara Bernama bahwa mantan Perdana Menteri akan dihadirkan ke pengadilan pada Jumat, 10 Maret 2023. Namun, Muhyiddin menyangkal tuduhan tersebut, dan menyatakan bahwa itu adalah bagian dari balas dendam politik.
Anwar Ibrahim Tinjau Proyek Era Muhyiddin, Awal Mula Pengungkapan Dugaan Korupsi
Dugaan korupsi Muhyiddin bermula pada akhir 2022. Saat itu, Komisi Anti Korupsi Malaysia membuka penyelidikan atas dugaan penyelewengan dana pemerintah sebesar 600 miliar ringgit (Rp2.123 triliun) setelah Perdana Menteri Anwar Ibrahim mengumumkan peninjauan proyek pemerintah yang disetujui oleh pendahulunya Muhyiddin Yassin, karena tidak mengikuti prosedur.
Saat itu, Anwar memerintahkan peninjauan proyek era Muhyiddin, termasuk rencana untuk jaringan 5G milik negara dan proyek mitigasi banjir senilai 7 miliar ringgit ($1,59 miliar).
Anwar, yang saat itu menjabat sebagai menteri keuangan, mengatakan dia diberitahu oleh kementeriannya bahwa telah terjadi beberapa pelanggaran prosedur oleh pemerintahan sebelumnya, menurut Malay Mail. Pelanggaran itu terjadi setelah tuduhan penyalahgunaan dana RM 600 miliar oleh administrasi Muhyiddin untuk dana COVID-19.
Dalam laporan polisi yang diajukan terhadap Muhyiddin Yassin, ia diduga menggelapkan dana pemerintah sebesar RM 600 miliar atau setara Rp 2.133 triliun untuk mengelola dana pandemi COVID-19 selama masa jabatannya sebagai perdana menteri.
Perintah kontrol pergerakan (MCO) diterapkan di bawah pemerintahan Muhyiddin untuk mengelola penyebaran COVID-19. Kebijakannya antara lain termasuk penguncian dan pembatasan pada pertemuan sosial.
Desakan agar pemerintah menyelidiki soal dana Covid mencuat karena persepsi bahwa PN memiliki banyak dana untuk kampanye pada pemilu Malaysia 19 November lalu. Namun menurut Sekretaris Jenderal PN Hamzah Zainudin, Perikatan Nasional hanya memberikan RM 50.000 kepada setiap kandidatnya yang bersaing dalam pemilihan.
Muhyiddin Yassin, yang menjadi perdana menteri selama 17 bulan antara 2020 dan 2021, membantah melakukan kesalahan dan menyatakan siap melakukan diselidiki pada Kamis, 8 Desember 2022.
Anwar Ingatkan Muhyiddin Jangan Menantangnya
Saat itu, Anwar juga memperingatkan Muhyiddin agar tidak menantangnya untuk mengungkapkan dugaan pelanggaran prosedural dalam pemberian kontrak pemerintah saat menjabat. Anwar menanggapi pernyataan Muhyiddin, pada Senin, 5 Desember 2022, bahwa dia tidak takut untuk diselidiki.
"Saya ingin mengingatkan Muhyiddin untuk tidak menantang (saya) karena terbukti ada proses dan prosedur yang tidak diikuti," ujar Anwar Ibrahim.
Anwar Ibrahim menyatakan bahwa ada puluhan miliar ringgit yang dialokasikan oleh pemerintahan Muhyiddin Yassin yang telah melanggar aturan dan prosedur. Bahkan ada perusahaan dengan kepentingan pribadi yang melibatkan hubungan keluarga, ujar Anwar Ibrahim. Namun dia merinci perusahaan dan sifat bisnis yang digeluti.
"Mereka tidak (bersih), karena ditemukan bahwa ada persetujuan yang dilakukan tanpa mengikuti peraturan. Ini termasuk persetujuan yang dibuat selama perintah kontrol gerakan," ujar Anwar Ibrahim.
REUTERS | BERNAMA | AL JAZEERA | CHANNEL NEWS ASIA