Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta -Huru-hara pekan ini di Nanterre dan kota-kota Prancis lainnya merupakan yang terbaru menyusul puluhan tahun ketegangan dengan polisi. Kerusuhan pecah setelah seorang remaja laki-laki keturunan Aljazair ditembak mati oleh aparat ketika berhenti di tengah lalu lintas.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ribuan petugas lantas dikerahkan dan menangkap lebih dari 100 orang pengunjuk rasa yang bentrok dengan polisi anti huru-hara.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Presiden Emmanuel Macron kemudian mengadakan pertemuan keamanan darurat untuk mengembalikan perdamaian. Tokoh terkenal Prancis dari warga keturunan imigran seperti pesepakbola Kylian Mbappe dan aktor Omar Sy turut mengutuk kebrutalan polisi.
Lantas, bagaimana peristiwa lengkap Nanterre dan sejarah kerusuhan di pinggiran kota Prancis? Melansir news.sky.com, berikut rentetan awal peristiwa kerusuhan di Prancis.
Penembakan di Nanterre
Menurut Itay Lotem, Doktor Ilmu Prancis University of Westminster, pada Selasa, 27 Juni 2023, muncul berita tentang penembakan oleh polisi di Nanterre, kurang lebih 6 kilometer barat laut Paris.
Cuplikan video yang beredar luas di internet menunjukkan dua petugas polisi bersenjata menghentikan sebuah mobil berwarna kuning. Mereka bersandar ke jendela pengemudi, menodongkan senjata sebelum kendaraan itu berusaha menjauh.
Akan tetapi, salah satu petugas justru menembak ke arah pengemudi. Sebuah klip terpisah lalu menunjukkan mobil tersebut menabrak tiang di dekatnya. Kantor
Kejaksaan Nanterre mengonfirmasi bahwa korban penembakan adalah seorang remaja laki-laki 17 tahun bernama Nahel M.
Ia meninggal di tempat kejadian perkara dan aparat polisi yang terlibat ditahan karena diduga melakukan pembunuhan dengan sengaja.
Sang ibu pun muncul dalam sebuah video di Instagram bersama seorang aktivis anti-polisi, “Saya telah kehilangan seorang anak berusia 17 tahun. Mereka mengambil buah hati saya. Ia masih kecil, ia membutuhkan ibunya," kata dia.
“Pagi itu, ia berkata, ‘Bu, aku mencintaimu.’ Aku menjawab, ‘Hati-hati,’” ucap wanita tersebut.
Sebagai akibatnya, orang-orang turun ke jalan Nanterre untuk memprotes, membakar mobil, hingga melempar batu serta kembang api ke arah polisi.
Sejumlah bangunan negara seperti sekolah, balai kota, dan markas besar Olimpiade Paris 2024 di dekat Seine-Saint-Denis juga dibakar. Aksi itu kemudian ditanggapi dengan tembakan gas air mata.
Kekerasan menyebar ke pinggiran kota Paris lainnya (banlieue) serta kota-kota dari Toulouse hingga Dijon dan Lille.
Terdapat sekitar 40.000 petugas polisi yang dikerahkan, 5.000 di antaranya berada di Paris. Pihak kepolisian sendiri menyatakan bahwa 150 orang di lebih dari setengah wilayah Paris telah ditangkap.
“Tidak ada yang bisa membenarkan kematian seorang anak muda,” kata Macron ketika ditanya tentang insiden baru-baru ini selama kunjungan ke Marseille pada Rabu, 28 Juni 2023. Ia mengutuk tindakan polisi dan menyebutnya “tak termaafkan”.
Saat berupaya untuk mengatasi kekerasan setelah peristiwa penembakan Nahel, Macron mungkin bakal sangat sadar akan ketegangan yang mengakar kuat di baliknya.
Sejarah Bermulanya Kerusuhan di Pinggiran Prancis
Istilah “banlieue” berasal dari tahun-tahun setelah Perang Dunia II, ketika pemerintah Prancis mulai menyediakan pemukiman sosial secara massal. Hal ini berujung pada pembangunan ribuan blok menara di pinggiran kota-kota Prancis pada 1945–1975.
Kawasan tersebut awalnya dirancang untuk keluarga kelas menengah ke bawah yang sehari-hari pergi bekerja.
Akan tetapi, pada 1970-an—di tengah tingginya pengangguran, ketegangan rasial setelah Perang Aljazair, dan berakhirnya kolonialisme Prancis—blok-blok menara justru makin banyak ditempati oleh komunitas imigran berpenghasilan rendah.
Tak didanai lagi oleh pemerintah selanjutnya dengan prospek perumahan dan pekerjaan yang buruk, kawasan tersebut dicap sebagai area bermasalah dan berisiko tinggi. Kejahatan kian meningkat dan anak-anak muda di jalanan sering bentrok dengan polisi yang notabene memiliki reputasi brutal dan intoleran.
Kerusuhan banlieue pertama terjadi pada 1979 di pinggiran Kota Lyon, Vaulx-en-Velin, yang pecah setelah seorang remaja lokal keturunan Afrika Utara ditangkap. Namun, yang paling menonjol terjadi pada 2005 dan berlangsung selama tiga pekan.
Rangkaian peristiwa tersebut dimulai dari Clichy-sous-Bois, daerah utara Paris, ketika dua pemuda tersengat listrik dan meninggal saat mencoba menghindari polisi. Keadaan darurat pun diumumkan setelah pengunjuk rasa membakar gedung dan membakar mobil.
Menteri Luar Negeri Prancis yang kemudian menjadi presiden kala itu, Nicolas Sarkozy, mengobarkan ketegangan dengan menyebut anak-anak muda pengunjuk rasa sebagai “sampah” yang harus disapu bersih.
Ketegangan makin diperbesar oleh partai ekstrem kanan, khususnya National Front, yang mulai mencapai kesuksesan elektoral pada awal 2000-an.
Marine Le Pen, putri pendiri National Front yang mengubah nama partai itu menjadi National Rally pada 2018, menyebut kecaman Macron terhadap polisi Rabu lalu sebagai hal yang berlebihan dan tidak bertanggung jawab.
“Biarkan polisi melakukan pekerjaan mereka,” ujar Le Pen.
Meskipun kerusuhan 2005 mengirimkan gelombang kejutan ke seluruh negeri dan memicu reformasi di banlieues, insiden kerusuhan berulang menunjukkan bahwa tidak banyak yang berubah sejak saat itu.
Ketika para pengunjuk rasa dewasa ini mengklaim bahwa mereka tidak didengarkan, mereka merujuk pada program reformasi 2005 sebagai momen tanpa perubahan.
Sementara bagi remaja-remaja keturunan imigran yang tidak merasakan peristiwa tersebut, rasa frustrasi terhadap negara telah dipupuk melalui politik era pasca-2005.
Tanggapan Pemerintah
Seiring kecamannya terhadap petugas aparat, Macron juga menyebut aksi pengunjuk rasa dalam merusak kantor polisi, sekolah, hingga balai kota sama sekali tidak dapat dibenarkan.
Walau demikian, ia mengakui perlu ada momen peringatan dan rasa hormat kepada keluarga korban dan komunitas warga Prancis keturunan Aljazair, terutama saat pawai diam di Nanterre pada Kamis lalu.
Perdana Menteri Prancis, Elisabeth Borne mengatakan bahwa polisi yang terlibat dalam penembakan Nahel jelas tidak menghormati aturan keamanan negara. Di sisi lain, ia berharap agar amarah bisa segera mereda.
Sementara, Menteri Dalam Negeri Gerald Darmanin juga menggambarkan video rekaman kejadian maut itu sebagai hal yang mengejutkan. Namun menurutnya, negara tetap harus menindak tegas kerusuhan yang terjadi.
Politikus tampak ingin tampil simpatik, tetapi masih ada ketidakpercayaan yang meluas di antara masyarakat. Negara pada akhirnya seakan menjadi fasilitator utama kekerasan polisi yang berujung sebagai penyebab utama pertikaian.
Undang-undang 2017 yang disahkan setelah serangan teror 2015 di Paris telah memberi polisi lebih banyak hak untuk menggunakan kekuatan mematikan dalam menghadapi ancaman. Setidaknya 40 orang tewas akibat intervensi polisi setiap tahun menurut catatan jurnalis dan peneliti Sihame Assbague.
Seorang juru bicara kepolisian mengonfirmasi bahwa peristiwa penembakan Nahel menjadi insiden fatal ketiga yang berhubungan dengan penghentian lalu lintas sepanjang 2023. Sementara itu, angka tahun lalu adalah 13, rekor tertinggi Prancis.
SKY NEWS | NIA HEPPY | SYAHDI MUHARRAM (CW)