Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Lokasinya nyempil di sudut jantung kota barat laut Pakistan, Peshawar, ibu kota Provinsi Khyber Pakhtunkhwa. Tak begitu mencolok, sekolah Islam atau madrasah dengan beton cokelat itu justru lebih terlihat pihak luar nun jauh di sana, Amerika Serikat. Madrasah Jami'a Ta'limul Qur'an-wal-Hadits yang juga dikenal sebagai Madrasah Ganj itu mendapat "akreditasi" baru dari Amerika, yaitu sebagai teroris, Selasa dua pekan lalu. Ini untuk pertama kalinya sebuah lembaga pendidikan mendapat cap teroris. Label baru ini seakan-akan menyesuaikan diri dengan lokasinya yang tidak jauh dari sabuk suku-suku Pakistan, tempat para gerilyawan yang terkait dengan Taliban berlindung.
Departemen Keuangan Amerika Serikat menyatakan Madrasah Ganj telah digunakan sebagai tempat perekrutan dan pelatihan dasar para teroris. "Berfungsi sebagai pusat pelatihan teroris dengan kedok studi agama, telah melakukan kegiatan teroris dan pemberontakan," demikian pernyataan departemen itu, seperti dikutip BBC.
Keputusan itu seiring dengan tudingan madrasah telah digunakan kelompok radikal Lashkar-e-Taiba. Kelompok ini oleh intelijen India dituduh menjadi dalang dari serangan Mumbai pada November 2008, yang menewaskan 166 orang. Dalam perkembangannya, madrasah ini juga dituduh sebagai sekolah yang mendukung Taliban dan Al-Qaidah. "Kami akan terus bekerja sama dengan mitra kami di seluruh dunia untuk melucuti jaringan teroris, khususnya yang berupaya menyembunyikan kegiatan jahat di balik organisasi kemasyarakatan, seperti madrasah," ujar David Cohen dari bagian terorisme dan intelijen keuangan Departemen Keuangan Amerika Serikat.
Tudingan lain: madrasah itu "membuat pelajar menjadi radikal untuk melakukan kegiatan teroris dan aksi pemberontakan serta melatih mereka menjadi pembuat bom dan pelaku peledakan bom bunuh diri". Sumbangan yang dikumpulkan oleh madrasah digunakan untuk kelompok teroris seperti Taliban, yang menggunakan uang tersebut untuk mendanai kekerasan yang sedang berlangsung di Afganistan.
Sebelumnya, Gedung Putih memasukkan seorang pengajar madrasah, Fazeelatul Shaikh Abu Mohammed Ameen al-Peshawari alias Syekh Aminullah, ke daftar teroris pada 2009. Kala itu, Amerika Serikat dan Perserikatan Bangsa-Bangsa menuduh dia memberikan dukungan material kepada Al-Qaidah dan Taliban. Dalam pernyataan terbaru ini, Syekh Aminullah disebut merekrut anggota baru Lashkar-e-Taiba melalui madrasah ini pada awal 2013. Sebelumnya, dia mendukung operasi Al-Qaidah pada pertengahan tahun lalu melalui madrasah ini.
Departemen Keuangan pun membekukan aset madrasah jika berada di bawah yurisdiksi Amerika Serikat. Selain itu, warga Amerika dilarang melakukan interaksi bisnis dengan individu atau aset terkait dengan sekolah tersebut. Namun Departemen Keuangan menggarisbawahi tindakan ini tak menargetkan semua madrasah.
Di Pakistan kini ada sekitar 22 ribu madrasah yang mayoritas menawarkan pendidikan agama konvensional. Dari catatan OnIslam.net, sekitar 13 ribu di antaranya beroperasi di Punjab, provinsi terpadat dengan 90 juta penduduk. Hampir 12 ribu madrasah dikelola Wifaq-ul-Madaris Pakistan, yang mewakili mazhab Deubendi. Sisanya, 10 ribu madrasah, dikelola Tanzeem-ul-Madaris Pakistan (mazhab Brelvi), Tanzeem-ul-Madaris (Syiah), Wifaq-ul-Madaris al-Salafia (Ahl-e-Hadit), dan Rabitah-tul-Madaris Pakistan (Jamaat-e-Islami). Sekitar 2,2 juta siswa terdaftar oleh lima dewan madrasah di Pakistan.
Atas label baru itu, pihak Madrasah Ganj membantah keras, terutama pendiri madrasah, Alam Sher, 83 tahun. Sekitar 25 tahun lalu dia turut mendanai pembangunan sekolah ini, yang merupakan pengembangan dari sebuah masjid. "Lembaga kami semata-mata sebuah sekolah dan tidak berkaitan dengan organisasi apa pun atau terlibat dalam bentuk yang melanggar hukum atau mempromosikan ekstremisme," katanya.
Pelaksanaan kegiatan pengajaran juga berlangsung terbuka. Para orang tua kerap mengunjungi anak-anak mereka yang mondok di sini. "Bahkan sering mendadak."
Tudingan yang mengaitkannya dengan Syekh Aminullah juga dinilai tak relevan. Alam Sher membantah seraya mengatakan bahwa Syekh Aminullah hanya seorang pemimpin doa dan pengajar biasa. Terlebih yang bersangkutan sudah meninggalkan madrasah sejak delapan bulan lalu setelah mengajar selama 20 tahun. Kepala madrasah, Maulana Mohammad Ibrahim, mengatakan para guru di sekolahnya itu memusatkan perhatian pada pelajaran agama, bukan militansi. "Saya sendiri mengutuk pelaku terorisme dan tak mendukung serangan bom bunuh diri," ujarnya.
Kompleks Madrasah Ganj terbagi tiga, yakni untuk masjid, ruangan belajar, dan pemondokan siswa. Saat ini tercatat ada sekitar 150 santri—umumnya dari keluarga tidak mampu. Materi pengajaran utamanya kajian Al-Quran dan hukum-hukum agama. Cap teroris yang disertai sanksi embargo ekonomi tidak mengganggu aktivitas pendidikan Madrasah Ganj. Sebab, sekolah ini memang tidak mendapat bantuan dana dari luar negeri dan mengandalkan pendanaan dari donasi masyarakat serta subsidi dari pabrik sabun milik Alam Sher.
Beberapa hari terakhir kegiatan pendidikan juga tak terganggu oleh status baru itu. Selasa pekan lalu, tampak aktif puluhan siswa dengan mengenakan pakaian tradisional kurta shalwar (celana longgar dan kemeja tanpa kerah) berikut peci putih. "Lihat saya, apakah terlihat seperti seorang teroris?" kata Mohammad Hussein Mohmind, siswa remaja dari Mohmind, yang berbatasan dengan Afganistan.
Hussein sudah menempuh pendidikan menghafal Al-Quran selama empat bulan terakhir setelah menuntaskan nazrah (membaca kitab). "Saya tidak peduli apa yang orang Amerika pikirkan atau katakan tentang kami atau tentang madrasah kami," ucapnya. "Orang tua saya telah mengirim saya ke sini untuk pendidikan, tidak untuk menjadi teroris."
Hussein menyatakan bakal langsung mengadu kepada orang tuanya jika menyaksikan kegiatan semacam persiapan terorisme sekecil apa pun. "Saya tidak pernah menyaksikan segala macam aktivitas terkait dengan pelatihan di sini," kata Hussein, yang telah belajar di madrasah selama dua tahun terakhir.
Yang cemas justru warga di seputar madrasah. Mereka takut Amerika Serikat akan menyerang kawasan yang mereka tinggali dengan pesawat-pesawat pembawa peluru kendali tak berawak. Kejadian itu sering menimpa kawasan yang dicurigai tempat para gerilyawan Taliban di daerah di dekat perbatasan Afganistan sejak 2004. "Beberapa orang mengatakan bahwa pesawat tak berawak Amerika Serikat sekarang akan menembakkan peluru kendali ke madrasah ini," ujar Sabz Ali, seorang warga.
Saat terbentuk pada 1947, Pakistan diharapkan menjadi negara moderat tempat minoritas akan memiliki hak penuh. Namun perang dengan India yang Hindu, dukungan negara bagi milisi untuk melawan Soviet di Afganistan pada 1980-an, dan upaya merangkul ulama garis keras telah memicu radikalisasi pada sebagian warga. Kelompok militan bermunculan baik di kelompok Syiah maupun Sunni, yang sering bertikai.
Kekerasan juga menyerempet hal-hal yang terkait dengan pendidikan. Sejumlah serangan dan bom kerap menyasar sekolah dan madrasah. Tahun lalu dunia mencatat Malala Yousafzai, remaja perempuan Pakistan, ditembak di kepala dan leher oleh Taliban karena menuntut pendidikan untuk perempuan.
Harun Mahbub (Associated Press, BBC, Huffington Post, OnIslam, Reuters, The Hindu)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo