WAJAH Ruslan Khasbulatov dan Alexander Rutskoi tak jadi populer, dijadikan model matrosska, boneka khas Rusia yang berwajah para pemimpin Rusia dan dijual di pasar. Pemilik kedua wajah itu kini dikabarkan mendekam di penjara Lefortovo. Di penjara bekas rumah tahanan KGB (dinas intelijen Rusia) itulah, Khasbulatov dan Rutskoi yang satu bekas profesor ekonomi dan satunya kolonel penerbang kini menjalani hari-hari kelabunya dalam sel khusus, terpisah dengan tahanan lainnya, para pendukung mereka dalam aksi melawan Yeltsin pekan lalu. Sejauh ini, belum jelas tuduhan apa yang akan dijatuhkan kepada mereka. Menurut Abdulla Khamzayev, pengacara Khasbulatov, keduanya menghadapi tuduhan melakukan pembunuhan, pengacauan, dan merusak milik negara. Ancaman hukumannya, menurut hukum zaman Uni Soviet, ditembak kepalanya dari belakang. Jika itu yang terjadi, fatwa hukuman mati yang dikeluarkan Dzhokar Dudayev, Presiden Republik (Rusia) Chenchen, terhadap Khasbulatov tak perlu lagi. Fatwa itu dikeluarkan pada tahun 1992, karena Khasbulatov dituduh pengkhianat. Anak petani Chenchen yang diusir Stalin ke Kazhakstan itu dianggap tak dekat dengan warga Grozny, ibu kota Chenchen. Ia malah memilih Moskow dan Kazakhstan. Padahal, Khasbulatov terpilih sebagai anggota Kongres Wakil Rakyat Rusia dari wilayah Chenchen, 1990, dan melambungkan namanya sehingga berhasil terpilih sebagai ketua parlemen setahun kemudian. Waktu itu Khasbulatov membela konsep keterbukaan. Dalam artikelnya di harian Pravda, Khasbulatov menuliskan pentingnya liberalisasi, terutama liberalisasi harga-harga. ''Saya kagum mengamati kehidupan Barat,'' tutur Khasbulatov, kini 51 tahun, setelah berkunjung ke Kanada. Tak jelas, mengapa kemudian ia berbalik, memihak kubu garis keras. Sejak itulah, Khasbulatov tak henti-hentinya menyerang kebijaksanaan ekonomi Yeltsin. Antara lain mengkritik kebijaksanaan ekonomi yang dinilainya tak cocok diterapkan di Rusia. Khasbulatov juga memanfaatkan rancunya konstitusi peninggalan Soviet untuk menjatuhkan lawannya, Yeltsin. Tapi impiannya itu tak terwujud, dan ia masuk bui, setidaknya pada babak sejarah Rusia kini. Adapun Alexander Rutskoi sebenarnya bukanlah tokoh sentral di kalangan garis keras. ''Ia hanya boneka yang dimanipulasi kelompok prokomunis,'' komentar Nikolai, seorang mayor penerbang, rekan Rutskoi, seolah ingin menyelamatkan korps udaranya. Sebenarnya, sejak terpilih menjadi wakil Yeltsin pada tahun 1991, Rutskoi sudah menunjukkan tanda-tanda antireformasi. Ia, waktu itu, diangkat Yeltsin karena dekat dengan tentara Rutskoi adalah pahlawan perang Afghanistan. Tapi sejak itu pula ia, kini 44 tahun, selalu menggembar-gemborkan pengangguran, inflasi, dan perpecahan Rusia sebagai akibat reformasi, dalam kunjungannya ke daerah. April lalu, menjelang referendum yang mencoba mengetahui apakah rakyat masih percaya pada Yeltsin, dikabarkan oleh harian Sevodnya bahwa Rutskoi telah berlatih menghafalkan sumpah kepresidenan. Tampaknya penerbang yang berkumis tebal ini diam-diam bercita-cita menjadi presiden. Tapi harapan Rutskoi kandas: Yeltsin menang. Dalam pertentangan antara Yeltsin dan parlemen, sekali lagi, Rutskoi mencoba mencari kesempatan. Dan berhasil setelah Parlemen memecat Yeltsin, ia pun diangkat menggantikan Yeltsin sebagai presiden. Tapi itu cuma berlangsung dua hari, dan ia harus turun dari Gedung Putih dengan tangan di kepala. Harapan Khasbulatov dan Rutskoi bahwa Revolusi Agustus 1991 terulang, tak terjadi. Waktu itu, Boris Yeltsin menjadi ketua parlemen. Ia bertahan di Gedung Putih, menghadapi tantangan kelompok garis keras yang mengudeta Presiden (Uni Soviet) Gorbachev. Tank pun dikirimkan oleh tentara ke Gedung Putih. Tapi, setelah Yeltsin berpidato, tank pun berputar 180 derajat: meriamnya kemudian membelakangi Gedung Putih, artinya pasukan tank berdiri di pihak Yeltsin. Pada Senin pekan lalu, tank-tank tak berputar, dan meriam pun menyalak, membakar Gedung Putih. DP
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini