PADA pukul 8.45 tanggal 12 Maret itu, kesibukan Kota Kinabalu, ibu kota Negara Bagian Sabah, belum lagi terasa. Pintu-pintu toko masih banyak tertutup. Tiba-tiba terdengar bunyi ledakan dari arah kompleks Sinsuran, tidak jauh dari Jalan Tun Abdul Razak, di pusat kota. Ledakan ternyata berasal dari bom waktu hasil kerajinan tangan dan menghancurkan kaca-kaca taksi yang terparkir di kompleks rumah merangkap toko itu. Dua menit kemudian, sebuah ledakan lagi terdengar berasal dari pusat perbelanjaan Segama. Kejutan rupanya belum usai. Lima menit kemudian, sebuah bom meletus di salah satu tangga kompleks pusat perbelanjaan yang sama. Jendela-jendela kaca pecah berserakan, papan-papan reklame terkapar lepas dari penyanggahnya. Pukul 9.00. Ledakan kuat terdengar dari Jalan Pantai. Lima wanita ditemukan terluka di pompa bensin, tempat ledakan bermula. Mereka segera dilarikan ke rumah sakit. Enam puluh detik kemudian, sebuah pompa bensin lainnya, hanya 100 meter dari gedung pengadilan, porak-peranda dilanda ledakan berikutnya. Tidak ada korban, untungnya. Penduduk yang panik berlarian mencegat kendaraan umum yang lewat untuk membawa mereka pulang. Kota pun lantas lengang bagai dalam perang. Hanya kendaraan-kendaraan polisi lalu dengan kencang. Pada pukul 10.00 telepon berdering di kantor cabang Sabah Bank, Sinsuran. "Kau dengar beberapa minit ini ada beberapa letupan bom, sekarang Sabah Bank pula," kata suara di seberang sana dalam Bahasa Malaysia, tanpa menyebut identitasnya. Setelah itu, klik. Si penerima telepon, segera melaporkannya kepada atasan. Namun, hingga satuan penjinak bom didatangkan, tak terdengar satu letusan pun. Dua ancaman senada terdengar pula di bandara internasional Kota Kinabalu. Ancaman itu sempat menghentikan kegiatan di bandara tersebut, tapi tak terdengar letusan apa pun. Toh dua penerbangan MAS ke kota itu terpaksa diperintahkan mendarat di Bandar Seri Begawan, Brunei. Bom ternyata tak cuma meledak di ibu kota. Pada 13 Maret, pukul 22.00. Api terlihat berkobar menghabisi deretan pusat pertokoan Jalan Chester, Tawao. Nyonya Lee Siew Fung, 70, dan pembantunya, Paulina Papa, 20, (asal Indonesia) tak bisa menyelamatkan diri. Terjebak di kamar mandi, tubuh mereka ditemukan hangus terpanggang. Beberapa obor, diduga penyebab asal api, ditemukan tidak jauh dari tempat kejadian. Sementara itu, di kota-kota lainnya teror kebakaran ikut mewabah. Di Sandakan, sebuah penggergajian kayu bernilai Mal$ 400.000 menjadi korban. Hingga awal pekan ini, sudah tercatat 18 bom waktu meledak di Kota Kinabalu. Menurut kepolisian Sabah, 706 warga Filipina diringkus. Para pelarian dari Filipina Selatan itu diduga terlibat aksi kekerasan itu. Dari Kuala Lumpur, bala bantuan enam unit satuan anti huru-hara diterbangkan untuk memperkuat 5.000 polisi Sabah. Sementara bom berledakan, demonstrasi anti-PBS (Parti Bersatu Sabah), yang dilakukan oleh pendukung-pendukung partai oposisi Organisasi Kebangsaan Sabah Bersatu (USNO) dan Berjaya, menjalar di Kota Kinabalu, Sandakan, maupun Tawao. Sambil meneriakkan Allahu Akbar, mereka memasang slogan-slogan menuduh PBS anti-Islam. Benarkah persoalan anti-Islam itu yang menyulut tindak teror di Sabah? Krisis di Sabah ini sebenarnya merupakan cerminan pertikaian antara pusat-pusat kekuasaan semata yang dimulai sejak pemilihan umum April tahun lalu. Ketika itu, disokong oleh suku Kadazan dan keturunan Cina, Datuk Pairin Kitingan menumbangkan hartawan asal Pulau Labuhan, Datuk Harris Saleh, yang sudah sembilan tahun berkuasa dengan Partai Berjayanya. Pairin pun diangkat menjadi Ketua Menteri Sabah -- berkat bantuan Musa Hitam, Deputi PM saat itu. Namun, jalan buat Pairin tidak licin. Tantangan datang dari Tun Mustapha Harun. Tokoh gaek dari USNO ini memperkarakan Pairin dan Yang Dipertuan Negeri Adnan Robert ke pengadilan dengan tuduhan melakukan tindakan inkonstitusional. Mereka berdua dianggap penyebab gugurnya impian bangsawan asal Lahad Datu sebagai ketua menteri. Tidak cuma itu saja. Sering kali anggota USNO diperintahkan walkout dalam pengambilan keputusan di Dewan Undangan Negeri (perangkat legislatif setara DPRD Tingkat I beranggotakan 54 orang). Dalam pada itu, akhir Februari lalu, tepatnya sepuluh bulan empat hari setelah pemilu, Pairin mendadak membubarkan Dewan Undangan Negeri. Tampaknya, alasannya karena PBS tidak lagi memegang mayoritas di Dewan Undangan Negeri karena sepuluh dari 36 wakil PBS di lembaga legislatif membelot. Pairin rupanya ingin memperkuat posisinya kembali dengan mencari mandat baru dari rakyat. Untuk itu ia membubarkan Dewan Undangan Negeri dan menyelenggarakan pemilu baru dalam jangka waktu 90 hari. Rencana Pairin ini ditentang pihak oposisi. Belasan ledakan yang terjadi agaknya salah satu bentuk penentangan itu. Para pembelot itu punya alasan meninggalkan PBS. Kata Francis C.K. Liong dan Bernard Chu Thou Liong, "Tidak saja karena orang Cina dalam PBS diisolasikan, tapi juga masyarakat Cina sangat terpukul oleh ketidakstabilan politik yang membawa akibat dalam bisnis." Kedua pembelot ini lantas mendirikan Partai Cina Sabah (PCS). Kehadiran PCS bisa menjadi batu sandungan baru bagi Pairin. Selain mereka bisa merebut dukungan keturunan Cina -- etnis terbesar ketiga -- partai itu berniat berkoalisi dengan partai oposisi lainnya, jika Pairin masih bertekad mengadakan pemilu. Tidaklah mengherankan jika kemudian muncul dugaan USNO menjadi dalang acara pembelotan ini kendati tidak mudah membuktikannya. Koresponden TEMPO di Kuala Lumpur Ekram H. Attamimi, melaporkan, Pairin telah melakukan pertemuan tertutup selama satu jam dengan PM Mahathir Mohamad di Kuala Lumpur, Senin silam. Menurut sumber-sumber di sana, ada dua misi penting yang dibawa Pairin kali ini. Pertama, menjelaskan situasi Sabah, yang menurut dia hanyalah "ketegangan lokal"dan belum memerlukan tindakan "memberlakukan keadaan darurat" atau "campur tangan pemerintah pusat". Selain itu, Pairin menyodorkan sejumlah bukti yang menunjukkan keterlibatan para pendukung dan simpatisan USNO dalam teror-teror di Sabah belakangan ini. Misi penting berikutnya adalah mencoba membujuk Mahathir agar mau mengubah sikap menolak kehadiran PBS dalam Barisan Nasional kelak setelah pemilihan umum di Sabah. Penolakan Mahathir terhadap kehadiran PBS dalam Barisan Nasional bisa diartikan sebagai "ketidaksenangannya" terhadap Pairin. Sulitnya, sebagaimana langgam politik Melayu, ia tidak pernah langsung menampakkan sikapnya. Dan tidak mudah untuk menduganya, memang. Sementara ini, panitia pemilu masih belum berhasil menentukan saat pelaksanaan pemilu di Sabah. Padahal, batas akhir sesuai dengan konstitusi, awal Mei mendatang -- 90 hari setelah lembaga-lembaga legislatif dibubarkan -- semakin dekat. James R. Lapian Laporan Ekram H. Attamimi (Kuala Lumpur)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini