Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kini, di Dewan Pers, Atma didampingi orang-orang yang tak asing bagi kalangan pers. Ada R.H. Siregar, wartawan Suara Pembaruan, sebagai wakil ketua, dan Lukas Luwarso, mantan Sekjen Aliansi Jurnalis Independen (AJI), sebagai direktur eksekutif. Ada juga Benjamin Mangkoedilaga, calon ketua Mahkamah Agung, sebagai anggota.
Dengan komposisi yang bersih dari unsur pemerintah, Atmakusumah yakin Dewan Pers tak sekadar berganti baju. Dia bahkan menjamin tidak akan ada lagi intervensi penguasa seperti yang lazim terjadi di zaman Orde Baru. Sepanjang "masa kegelapan" itu, Dewan Pers memang tidak patut dibanggakan. Alih-alih mengembangkan demokrasi, lembaga ini justru jadi pemasung media massa.
Melalui jargon "pers Pancasila yang bebas dan bertanggung jawab", Dewan Pers acap kali mengingatkan para pemimpin redaksi agar wartawannya tidak alpa melakukan penghalusan berita. Akibatnya, pers terbiasa melakukan self-censorship, yakni menyensor sendiri informasi yang akan mereka siarkan. Perilaku "tiarap" semacam ini dipilih jika pers merasa bahwa dirinya berada dalam "sasaran tembak".
Sejalan dengan itu, berkembang "budaya telepon", bentuk sensor yang diberlakukan lembaga pemerintah dan aparat keamanan. Melalui kontak telepon, seorang pejabat dengan mudah mewajibkan agar informasi tertentu tidak disiarkan; atau kalau disiarkan juga, bagian-bagian yang merugikan citra penguasa harus ditiadakan.
Media yang memberitakan keburukan penguasa tentu dijatuhi sanksi. Selama 32 tahun Orde Baru, terjadi beberapa kali pembredelan. Adapun pemberangusan tiga mediaTEMPO, Detik, dan Editorpada 21 Juni 1994, adalah puncak kegagalan Dewan Pers. Tanpa dasar kuat, Menteri Penerangan Harmoko mencabut surat izin usaha penerbitan pers (SIUPP) ketiga media tersebut. Harmokowaktu itu juga Ketua Dewan Persmenyatakan bahwa langkah bredel sudah direstui Dewan Pers. Padahal, Jacob Oetama selaku anggota Dewan Pers menegaskan tak pernah ada rekomendasi bredel.
Lalu, bagaimana Dewan Pers yang baru? Satrio Arismunandar, aktivis AJI, yakin bahwa lembaga itu sanggup memperjuangkan kebebasan pers. Dia juga berpendapat, sebaiknya unsur masyarakat terwakili dalam kepengurusan. Menurut Satrio, ada bagusnya bila LSM yang peduli terhadap hak masyarakatYLKI, misalnyaturut terlibat menjalankan roda Dewan Pers.
Pendapat senada muncul dari A. Muis, pakar komunikasi Universitas Hasanudin, Makassar. Diakuinya, pembubaran Departemen Penerangan dan lembaga SIUPP telah menyebabkan pers terbuai euforia kebebasan, hingga ratusan media bebas terbit tanpa etika dan visi yang jelas. Di sisi lain, masyarakat juga menanggapi "keliaran" pers dengan reaksi berlebihan. Aksi pendudukan kantor Jawa Pos oleh pasukan Banser-GP Ansor membuktikan hal itu.
Sesuai dengan Undang-Undang Pers No. 40/1999, menurut Muis akan sangat ideal jika Dewan Pers berfungsi sebagai penengah konflik antara masyarakat dan pers. Tak perlu aksi pendudukan atau teror, karena pihak yang kecewa bisa melayangkan keluhan kepada Dewan Pers. Selanjutnya, lembaga ini mencari penyelesaian, termasuk ke jalur hukum.
Namun, diingatkannya bahwa fungsi penengah bukanlah tugas sepele. Pengurus Dewan Pers harus menguasai lika-liku jurnalistik, hukum media, komunikasi massa, plus pengetahuan tentang budaya masyarakat. Tanpa pemahaman komplet, boleh jadi langkah dewan justru membuat persoalan makin ruwet. Secara umum, Muis mengakui, figur dalam dewan cukup kredibel dan berdedikasi tinggi. Namun, iklim euforia saat ini belum pernah terjadi sebelumnya. Karena itu, semua pihak masih perlu belajar.
Muis juga menyoroti segi pendanaan yang bisa menghambat kemandirian Dewan Pers. Karena sebagian biaya operasional masih mengucur dari kas pemerintah, sebaiknya rantai ketergantungan ini diputus saja. Muis menegaskan hal ini agaknya karena Dewan Pers yang dulu adalah lembaga semipemerintah, sedangkan Dewan Pers yang sekarang sepenuhnya independen.
Sejauh yang menyangkut biaya, Muis mengusulkan agar mencari penyandang dana dari kalangan nonpemerintah. Nah, apakah Dewan Pers yang baru akan "putus hubungan" dengan pemerintah, sampai kini masih tanda tanya. Hanya, kalau secara keuangan bisa mandiri, bukankah lebih baik lagi?
Mardiyah Chamim dan Hendriko L. Wiremmer
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo