Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TAK seperti yang dituduhkan orang, Presiden Abdurrahman Wahid ternyata sangat antipraktek korupsi, kolusi, dan nepotisme. Buktinya, pada 12 Mei silam dia mengeluarkan Instruksi Presiden Nomor 4 Tahun 2000. Isinya, perintah kepada para menteri Kabinet Persatuan Nasional dan pemimpin lembaga pemerintah nondepartemen agar melaporkan semua data mengenai kekayaan yang dimiliki, paling lambat 31 Mei 2000.
Instruksi itu dikeluarkan, menurut Presiden, untuk mendukung Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang penyelenggaraan negara yang bersih dan bebas dari korupsi, kolusi, dan nepotisme. Dalam salah satu pasalnya disebutkan bahwa setiap penyelenggara negara (presiden, menteri, gubernur, dan sebagainya) harus melaporkan dan mengumumkan harta kekayaannya selambat-lambatnya enam bulan setelah undang-undang yang bersangkutan berlaku.
Meski agak terlambat—Undang-Undang 28/1999 sudah ada sejak Mei tahun lalu dan mestinya sudah harus dilaksanakan 19 Mei ini—instruksi itu tetap penting dan layak diacungi jempol. Sebab, di mata mayoritas peserta jajak pendapat TEMPO pun, kekuasaan dipandang sebagai pintu menuju korupsi dan kolusi. Hal ini sesuai dengan pendapat ilmuwan Inggris, Lord Acton, yang mengatakan bahwa kekuasaan cenderung korup.
Salah satu cara mencegah terjadinya praktek kotor itu, menurut sebagian besar responden, semua pejabat melaporkan dan mengumumkan kekayaan mereka. Selain itu, responden juga mengusulkan agar setiap sumbangan atau hadiah untuk pejabat harus diatur dan diawasi. Pejabat perlu mengumumkan harta kekayaan yang dimilikinya agar publik mengetahui dari mana asalnya dan sebagai wujud transparansi pemerintahan.
Keinginan itu tampaknya merupakan salah satu bentuk kontrol publik untuk mencegah pejabat korupsi dan diam-diam menumpuk harta hasil jarahannya. Sebab, bila seorang pejabat harus melaporkan kekayaannya secara transparan, bisa dipastikan ia akan sulit menyembunyikan semua harta yang diperoleh secara tidak sah. Begitu kira-kira jalan pikiran responden.
Hanya sedikit sekali responden yang menolak keharusan pejabat mengumumkan dan melaporkan kekayaan. Alasan mereka, kekayaan merupakan urusan pribadi. Pembicaraan mengenai kekayaan, menurut responden, bisa memicu kecemburuan sosial. Pendapat ini tampaknya sekadar refleksi sikap konservatif yang memang masih dipegang sebagian masyarakat, yakni sikap yang menganggap bahwa harta kekayaan sebaiknya disembunyikan rapat-rapat dan tabu dibicarakan secara terbuka.
Sementara itu, anggota Komisi II DPR RI, Idrus Marham, menilai positif keluarnya Inpres 4/2000 sebagai salah satu upaya pemerintah memberantas korupsi. ”Selama ini kan terjadi kesenjangan yang luar biasa antara penghasilan seorang pejabat dan kekayaan yang dimiliki. Bayangkan, ada seorang kepala Badan Pertanahan Nasional yang bergaji Rp 1 juta tapi bisa punya rumah yang nilainya miliaran rupiah,” katanya.
Namun, ia mengingatkan agar dilakukan mekanisme pengawasan berjalan. Seorang pejabat tidak cukup hanya melaporkan rekening pada awal atau akhir bulan, dan ketika mengawali atau mengakhiri masa tugasnya. Yang lebih penting, perlunya mengantisipasi kemungkinan adanya upaya menyembunyikan rekening karena setiap orang bisa punya banyak rekening.
Masalahnya, yang namanya Komisi Pemeriksa Kekayaan Pejabat belum dibentuk sampai sekarang, sehingga tidak ada kejelasan ke mana para pejabat harus melaporkan kekayaannya dan siapa yang akan memeriksa laporan itu. Jadi, keinginan Presiden Abdurrahman dan responden untuk mengetahui berapa kekayaan para pejabat tampaknya harus ditunda dulu.
Wicaksono
Menurut Anda, seberapa besar tingkat kekuasaan pejabat di Indonesia? | |||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
Besar | 47%Sangat besar | 30% | Masih dalam tingkat yang wajar | 21% | Kecil | 2% | | Apakah kekuasaan dapat menjadi pintu menuju korupsi, kolusi, dan nepotisme? | Ya | 81% | Tidak | 19% | | Apakah kekuasaan dapat menjadi pintu menuju korupsi, kolusi, dan nepotisme? | Ya | 90% | Tidak | 10% | | Apakah semua sumbangan untuk pejabat juga harus diatur dan diawasi? | Ya | 92% | Tidak | 8% | | Bila menjawab ya, mengapa Anda menjawab demikian? (multiple) | Agar masyarakat tahu dari mana asal kekayaannya | 69% | Sebagai wujud transparansi pemerintahan | 32% | Dinas pajak | 10% | Bank yang ditunjuk pemerintah | 8% | Tidak tahu | 7% | | Bila menjawab tidak, mengapa Anda menjawab demikian? (multiple) | Kekayaan merupakan urusan pribadi | 80% | Bisa menimbulkan kecemburuan sosial | 34% | Bisa mengakibatkan kesalahpahaman | 20% | | Siapa yang berhak memeriksa dan mengumumkan kekayaan pejabat? | Komisi Independen Pemeriksa Kekayaan Pejabat | 60% | Badan Pemeriksa Keuangan | 20% | Dinas pajak | 11% | Bank yang ditunjuk pemerintah | 5% | Tidak tahu | 4% | | |
---|
Metodologi jajak pendapat ini:
MONITOR juga ditayangkan dalam SEPUTAR INDONESIA setiap hari Minggu pukul 18.00 WIB
Independent Market Research
Tel: 5711740-41, 5703844-45 Fax: 5704974
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo