Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Macan Itu Kian Sulit Dijinakkan

Tentara Sri Lanka dan gerilyawan Macan Tamil Eelam kembali bentrok. Agaknya, konflik ini masih akan terus meletup.

10 Oktober 1999 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SRI Lanka kembali berkubang darah. Tentara Sri Lanka yang tengah berada di Oddusudan, bagian utara negeri itu, tiba-tiba saja digempur mortir dan senapan dari arah gerilyawan Macan Tamil Eelam. Pihak militer pun membalas dengan serangan senjata berat dan helikopter MI-24. Perang pun meletus selama tiga hari dengan korban 150 orang tewas di kedua pihak. Pembebasan Macan Tamil Eelam, menurut keterangannya di London, menyatakan bahwa setidaknya 48 gerilyawan mereka tewas. Namun, mereka mengakui bahwa di pihak musuh pun jatuh korban. Pihak militer mengklaim bahwa sekitar 130 gerilyawan Tamil tewas dan ratusan orang terluka. Selain itu—ini yang penting—pihak pemerintah menuduh pihak pemberontak mengikutkan prajurit di bawah umur. Itu diketahui dari korban yang mereka bantai, ternyata 49 mayat yang ditemukan adalah anak-anak berusia antara 11-15 tahun. Padahal, pada 1998, dalam pertemuan dengan perwakilan khusus PBB untuk anak-anak dalam konflik bersenjata, Olara Otunnu, pihak gerilya sepakat untuk tidak merekrut prajurit di bawah usia 17 tahun. Tensi ketegangan di antara dua kelompok itu belakangan memang semakin panas. Ini adalah pertempuran lanjutan setelah bulan lalu di distrik Mannar pecah pertempuran yang memungut korban sekitar 176 orang tewas dan 500 luka berat di kedua pihak. Maka, jumlah itu menggenapkan deretan panjang angka korban yang mencapai 55 ribu orang tewas dalam pergolakan bersenjata selama 18 tahun konflik, yang dimulai ketika terjadi insiden yang menewaskan 13 tentara di Jaffna pada 1983. Gerakan perlawanan etnis Tamil Eelam yang menginginkan berpisah dari negeri berjuluk Air Mata India ini dimulai sejak pemimpin Macan Tamil, Vellupillai Prabhakaran, pada 1972 mendirikan kelompok Macan Baru Tamil, yang empat tahun kemudian berganti nama menjadi gerakan Kemerdekaan Macan Tamil Eelam. Suku Tamil Eelam merupakan minoritas yang mendiami bagian timur dan utara Sri Lanka, yang kemudian berperang dengan Sinhala adalah kelompok mayoritas yang tinggal di bagian barat-daya negeri itu. Namun, sebenarnya konflik ini telah tersulut sejak lama. Bermacam gesekan tak bisa dihindari. Tak terkecuali, ketika mereka merdeka pada 4 Februari 1948, keadaan tak berubah. Etnis Tamil yang tergolong terdidik malah mendapat pekerjaan yang lebih buruk dibandingkan dengan etnis Sinhala. Itu tak lepas dari kebijakan yang pernah diterapkan pemerintahan kolonial Inggris. Tak mengherankan jika kelompok etnis Tamil merasa dianaktirikan. Pada pertengahan 1970-an, keinginan untuk memisahkan diri dengan Sri Lanka semakin kencang. Saat pemilu pada 1977, kelompok separatis berhasil memenangi seluruh kursi di daerah pemilihan Tamil, saat itu pula Pembebasan Macan Tamil Eelam mulai menggunakan kekerasan untuk mencapai tujuannya. Bau mesiu pun mulai tercium. Upaya menyelesaikan konflik bukannya tidak ada. Upaya Presiden Chandrika Bandaranaike Kumaratunga untuk mengajak mereka ke meja perundingan selalu gagal. Tampaknya kaum separatis lebih suka melakukan aksi-aksi perlawanan kekerasan. Sementara itu, proposal perdamaian dengan membuat dewan-dewan regional, dua tahun terakhir, mengalami kemacetan karena kurangnya dukungan dari pihak oposisi. Kumaratunga menuduh Partai Persatuan Nasional, partai oposisi, dan gerakan separatisme Tamil Eelam telah menghalangi langkahnya untuk menyelesaikan konflik tersebut secara damai. Konflik yang terus berkepanjangan ini tentu masih menjadi agenda penting dalam pemilihan presiden yang dipercepat pelaksanaannya sekitar pertengahan Januari tahun depan. Menurut pengamat politik, hal itu dilakukan untuk mencoba memecahkan kebuntuan dalam proposal perdamaian yang diajukan partainya untuk menghentikan konflik etnis di negeri itu. Bekas menteri Ranil Wickremesinghe, yang kini jadi oposisi, menyatakan siap untuk bertarung dalam pemilihan presiden itu. "Jika rakyat mendukung kami, beberapa saat setelah pemilihan itu, masalah perang ini akan segera terselesaikan. Dan negeri ini akan kembali ke dalam keadaan damai," ujarnya dengan yakin. Persoalannya, apakah ini gincu politik belaka seperti halnya Kumaratunga, saat terpilih November 1994, yang berjanji akan segera menghentikan konflik berdarah itu? Irfan Budiman (dari berbagai sumber)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus