Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Angka

Gus Dur Presiden, Publik Adem Ayem

Sebagian besar responden meragukan kemampuan Abdurrahman Wahid menjalankan pemerintahan dengan baik, mengingat kondisi kesehatannya.

10 Oktober 1999 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DRAMA itu bernama Sidang Umum Majelis Permusyawaratan Rakyat. Inilah sidang paling demokratis dan menjadi salah satu acara resmi paling ditunggu orang selama ini. Setiap hari publik antusias, ingin tahu apa yang terjadi di balik dinding-dinding Gedung MPR Senayan. Maklum saja, pada masa Orde Baru, sidang umum telah kehilangan dinamika dan unsur kejutan—sesuatu yang membuat hidup lebih berwarna. Hasil sidang pun dulu sudah bisa diduga. Unsur-unsur tontonan seperti konflik, ketegangan, juga klimaks, nyaris tiada sama sekali. Acara lima tahunan sekali itu terjebak jadi pertunjukan yang menjemukan.

Di sidang umum kali ini, situasi berubah 180 derajat. Ketegangan dimulai pada menit-menit ketika pemilihan ketua MPR berlangsung, kemudian voting ketua DPR, dan klimaksnya acara pemungutan suara presiden dan wakilnya. Selain karena sebagai tontonan memang membuat jantung berdegup lebih cepat, voting untuk memilih presiden dalam suasana sangat demokratis baru pertama kali terjadi sepanjang sejarah Indonesia merdeka 54 tahun silam. Sebelum ini—selama tujuh kali sidang—rakyat disuguhi koor setuju terhadap calon tunggal.

Tak aneh bila hampir semua responden jajak pendapat TEMPO mengaku mengikuti secara tekun berita jalannya persidangan. Televisi menjadi media favorit mereka, disusul kemudian oleh koran, radio, dan majalah sebagai sumber informasi tambahan. Refleksi tingginya kesadaran politik masyarakat kiwari? Boleh jadi.

Hasil sidang sendiri menunjukkan Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama Abdurrahman "Gus Dur" Wahid mengalahkan Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati Sukarnoputri dengan selisih 60 suara. Dan Gus Dur resmi menjadi presiden keempat Indonesia, sedangkan Megawati cukup menjadi wakilnya. Hasil ini jelas jauh dari harapan masyarakat. Sebagai partai peraih suara terbanyak, para pendukung dan simpatisan PDI Perjuangan menaruh harapan besar Megawati bakal duduk di kursi presiden. Ini tampak, misalnya, dari hasil jajak pendapat majalah ini pekan silam, yang menunjukkan lebih dari separuh responden memilih Megawati sebagai pemimpin eksekutif tertinggi negeri ini, dan Gus Dur hanya memperoleh sedikit suara. Apa boleh buat, kenyataan berbicara lain.

Kekalahan Megawati, dalam kacamata pengamat politik Imam B. Prasojo, disebabkan oleh tingkah para pembantu (orang-orang dekat) Megawati yang terlalu asyik dengan wacana yang memabukkan. Jargon "pemenang pemilu", yang mulanya dimaksudkan sebagai unsur penekan (pressure), malah berubah menjadi sesuatu yang menyebalkan. Akhirnya, semua yang diumbar orang-orang dekat Mega itu kontraproduktif. Artinya, argumentasi yang dibangun selama ini, yakni pemenang pemilu harus jadi presiden, tidak menimbulkan simpati, melainkan antipati. "Partai-partai lain, misalnya partai Islam, akhirnya dengan solid bersatu mengalahkan PDI Perjuangan," kata Imam kepada Hendriko L. Wiremmer dari TEMPO.

Analisis Imam diamini responden. Sebagian besar peserta jajak pendapat menganggap Gus Dur mampu meraih kemenangan karena dukungan poros tengah. Selain itu, kekalahan Megawati lebih disebabkan oleh masalah gender, karena perempuan, dan kurang bisa menjalin lobi.

Namun, yang mengagetkan, hampir separuh responden menerima kemenangan keturunan pendiri NU Syaikh Hasyim Asy'ary itu dengan adem ayem. Sepertiga responden juga menganggap hasil voting tidak mewakili aspirasi rakyat secara nasional. Sebagian besar responden bahkan meragukan kemampuan Gus Dur menjalankan pemerintahan, mengingat kondisi kesehatannya yang tidak prima. Adakah sesuatu yang salah? Rasanya tidak.

Menurut Imam, Gus Dur itu tokoh NU yang berbasis di Jawa Timur. Artinya, sebagian besar pendukungnya bermukim di sana dan bukan di Jakarta, tempat semua responden tinggal. Hasil jajak pendapat mungkin akan berbeda bila dilakukan di Surabaya, misalnya. Selain itu, Gus Dur memang tokoh yang bisa diterima banyak pihak, tetapi dia juga bukan tokoh yang menggembirakan banyak orang. Jangan lupa pula, Jakarta merupakan basis pendukung PDI Perjuangan. Akhirnya, dukungan emosional tidak segegap-gempita, umpamanya, jika Megawati yang menjadi presiden.

Benar saja, begitu Megawati terpilih sebagai wakil presiden, Kamis malam lalu, para pendukungnya segera menghambur ke jalan untuk merayakan kemenangannya, kemenangan sebuah demokrasi.

Wicaksono


INFO GRAFIS
Dari mana Anda mengetahui berita tentang jalannya Sidang Umum MPR kali ini?
Televisi89%
Koran45%
Radio28%
Majalah9%
Responden bisa memilih lebih dari satu jawaban
Bagaimana perasaan Anda setelah Abdurrahman Wahid terpilih sebagai presiden baru?
Biasa saja46%
Kecewa26%
Gembira18%
Tidak tahu10%
 
Apakah Anda mengikuti berita jalannya Sidang Umum MPR setiap hari?
Ya75%
Tidak22%
 
Apakah Anda yakin Abdurrahman Wahid akan mampu menjalankan pemerintahan dengan baik mengingat kondisi kesehatannya?
Tidak tahu44%
Tidak32%
Ya23%
 
Apakah terpilihnya Gus Dur sebagai presiden melalui voting mewakili aspirasi rakyat secara nasional?
Ya39%
Tidak38%
Tidak tahu23%
 
Mengapa lebih banyak anggota MPR memilih Gus Dur daripada Megawati?
Karena dukungan poros tengah79%
Megawati perempuan41%
Megawati kurang menjalin lobi33%
Gus Dur punya visi lebih baik28%
Gus Dur bapak bangsa262%
Megawati mewakili nasionalis sekuler9%
Megawati arogan7%
Responden bisa memilih lebih dari satu jawaban
 
Apakah yang harus segera dilakukan oleh Gus Dur sebagai presiden baru?
Memulihkan kondisi ekonomi88%
Menegakkan supremasi hukum, termasuk memberantas KKN74%
Membentuk kabinet bebas Orde Baru64%
Membuka kembali kasus Soeharto dan kroninya60%
Melepaskan tahanan dan narapidana politik13%
Responden bisa memilih lebih dari satu jawaban
 

Metodologi jajak pendapat ini:

  • Penelitian ini dilakukan oleh Majalah TEMPO bekerja sama dengan Insight. Pengumpulan data dilakukan terhadap 499 responden di lima wilayah DKI pada 20-22 Oktober 1999. Dengan jumlah responden tersebut, tingkat kesalahan penarikan sampel (sampling error) diperkirakan 5 persen.

  • Penarikan sampel dilakukan dengan metode random bertingkat (multistages sampling) dengan unit kelurahan, RT, dan kepala keluarga. Pengumpulan data dilakukan dengan kombinasi antara wawancara tatap muka dan melalui telepon.

MONITOR juga ditayangkan dalam SEPUTAR INDONESIA setiap hari Minggu pukul 18.00 WIB

Independent Market Research
Tel: 5711740-41, 5703844-45 Fax: 5704974

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum