Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SUDAH hampir 10 tahun saya tak pernah lagi mau menonton pertunjukan orkes simfoni di Jakarta. Kapok, karena orkesnya jelek. Mereka sering bermain sembarangan karena dirigennya tak becus dan tak mengerti persoalan. Memimpin orkes itu, apalagi bentuk simfoni, persoalannya kompleks. Tak cukup hanya sekadar memberikan aba-aba sambil sesekali melayangkan tanda-tanda petunjuk permainan. Rumitnya memimpin orkes simfoni mirip dengan pekerjaan seorang sutradara atau manajer tim sepak bola. Di samping studi yang mendalam, segudang pengalaman, dan kecerdasan, juga diperlukan banyak ide, konsep, dan fantasi imajiner yang luas bagi seorang dirigen yang baik. Sulit dibayangkan seseorang menjadi dirigen orkes simfoni bila ia barang sejenak pun belum pernah menjadi pemain orkes.
Kamis pekan lalu, saya berkesempatan melongok lagi sebuah pergelaran orkes simfoni. Orkes itu baru dibentuk beberapa bulan lalu di Jakarta, tapi kebanyakan pemainnya berasal dari Yogyakarta. Namanya keren, Midori Symphony Orchestra. Orkes baru ini dipimpin oleh Yudianto Hinupurwadi, pemusik berbakat yang punya banyak pengalaman. Dia adalah mantan konduktor Orkes Simfoni Jakarta. Dengan pengalamannya, baik sebagai pemain maupun dirigen orkes, dan penguasaan permainan berbagai alat musik, Yudianto adalah pemusik potensial yang diharapkan mampu menjadi dirigen yang baik di negeri ini.
Dalam konsernya yang pertama, Yudianto Hinupurwadi dan Midori Symphony Orchestra memainkan empat karya romantik yang cukup berat: sebuah overtur karya Giuseppe Verdi dari opera La Forza Deldestino, konser untuk biolin dan orkes opus 77 dari Johannes Brahms, dan dua karya komponis Spanyol, yaitu El Amor Brujo karya Manuel de Falla serta Concierto de Aranjuez untuk gitar dan orkes karya Joaquin Rodrigo.
Bila kita amati, karya-karya itu ditulis oleh para komponis pasca-Romantik abad ke-19 dan ke-20. Rentang waktu hidup keempat komponis itu membentang sepanjang 166 tahun, dari tahun kelahiran Brahms pada 1833 hingga kematian Rodrigo pada 1999. Mereka adalah komponis Italia, Jerman, dan Spanyol. Di sana ada problematika perbedaan waktu, genre, gaya, dan perwatakan. Itu bukan semata-mata karena perbedaan gradasi teknik, tapi perbedaan pendekatan tafsir tekstual musikditilik dari musical content yang menjadi roh karya-karya itulebih-lebih pada Johannes Brahms dan Manuel de Falla; dua tegangan musik berbeda yang nyaris tanpa persamaan apa pun dalam segala aspeknya.
Secara keseluruhan, sebagai dirigen, Yudianto mampu mengendalikan orkesnya dengan baik. Dalam organisasi waktu (tempo), disiplin tekstur suara (dinamik), serta ketertiban dan kerapian organik (intonasi dan kerempakan), Midori Symphony Orchestra jelas mengungguli orkes lainnya yang ada di Jakarta. Tapi itu belum cukup. Seperti orkes-orkes yang lain, Midori Symphony Orchestra belum punya "bunyi" (sound quality) dan belum "tampak-watak" (orchestra klang). Ibarat bayi kurang gizi, diperlukan ketekunan, keteguhan, dan waktu lama untuk membentuknya menjadi balita yang sehat, cerdas, dan bugar. Seperti orkes-orkes yang lain, Yudianto dan orkesnya juga masih terasa alot, lelet, dan tidak lentur.
Hal-hal di atas adalah musabab paling mendasar dari sekian banyak kompleksitas problem pembentukan orkes yang baik. Lebih-lebih bila kita memainkan Brahms dan De Falla. Bagus Wiswakarma, yang bermain sebagai solis pada karya Brahms, adalah seorang biolinis yang mahir. Ia memainkan Brahms, konser untuk biolin, dan orkes D-mayor opus 77 dengan pendekatan tafsir lama (old school) yang masih up to date dan benar. Teknik biolinnya, ketepatan intonasi, kualitas vibrasi, dan daya musikalitasnya prima. Keempat unsur tersebut sangat fundamental dalam permainan biolin. Sayang, biolinnya jelek dan tidak sebanding dengan kemampuannya. Orkesnya juga jarang membantu. Ungkapan simfonis orkestral dalam pendekatan neoklasisisme Brahms purna-romantik tampak belum tergarap benar dalam permainan Orkes Midori. Tampilan dan daya ungkap Brahms terasa sendat dan pasai, membuat karya itu kurang berkenan di hati. Bermain Brahms memang tidak sederhana.
Musik Spanyol kurang dikenal di Indonesia. Dimainkannya dua karya komponis Spanyol, De Falla dan Rodrigo, untuk pertama kali di Indonesia, tentu menggembirakan hati. Suasana eksotis dan oriental langsung menyentuh penonton. Mereka memberikan sambutan spontan yang antusias sebagai apresiasi. Oliver Pletscher, solis pada karya Rodrigo, bermain apik, tapi terlalu steril dan kurang punya temperamen. Suara mezosopranis Katrine Roberts tertelan orkes dan kebisuan akustik gedung yang fungsinya memang untuk pesta dan ajojing. Karakter musik Spanyol yang temperamental, folkloris, dan penuh warna menjadi kurang tampil dalam kedua karya komponis Spanyol itu.
Walaupun masih belum banyak tergarap, terutama dalam perbendaharaan idiom-idiom bahasa musik simfonis dalam pendekatan interpretasi karya, sebagai konser perdana, bolehlah diberikan harapan yang terbaik bagi orkes ini. Salut buat Neneng R. Uozumi, pialang musik muda yang penuh gairah, yang membidani lahirnya Midori Symphony Orchestra. Namun, seperti kata Nelson, laksamana laut Kerajaan Inggris yang terkenal itu, bahwa "mengelola orkes simfoni jauh lebih rumit dari mengelola armada kapal induk," kita tunggu saja kelanjutan cerita Orkes Midori ini. Semoga ia tidak berlangkah pendek seperti orkes-orkes di Jakarta yang membuat saya kapok!
Suka Hardjana
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo