Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Maklumat untuk Tembok Pemisah

Perserikatan Bangsa-Bangsa memerintahkan Israel agar menghentikan pembangunan tembok pembatas.

26 Oktober 2003 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Enam jam sudah lewat sejak para duta besar negara-negara Arab dan Eropa bersilat lidah di sebuah ruangan di gedung Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) di New York. Persidangan Majelis Umum PBB kali ini panas mendidih dengan topik bahasan: Tembok Pemisah Israel-Palestina. Baru di malam hari, sebuah resolusi akhirnya dapat disepakati. Isinya, memerintahkan Israel menghentikan pembangunan Tembok Pemisah Israel-Palestina. Juga meminta pemerintahan Ariel Sharon meruntuhkan tembok yang telah mereka bangun sehingga merobek-robek serta mencaplok wilayah Otoritas Palestina. Dikumandangkan dari ruang sidang Majelis Umum PBB pada pekan lalu, resolusi itu bukan hanya meriangkan hati Utusan Palestina untuk PBB, Nasser al-Kidwa. Negeri Palestina ikut bergembira. Dalam pidatonya, Al-Kidwa mengucapkan terima kasih kepada Uni Eropa, yang menyodorkan rancangan resolusi. Hasilnya? 144 negara mendukung, 12 negara abstain, dan 4 lainnya menolak—termasuk Amerika, sobat abadi Israel. "Negara-negara ini (Eropa) telah memberikan jasa terbesarnya untuk menciptakan perdamaian di kawasan kami," tutur Al-Kidwa. Sebelumnya, Amerika memveto resolusi ini di Dewan Keamanan PBB. Dalam resolusi tersebut, Majelis Umum juga mengecam bom bunuh diri di Haifa beberapa waktu lalu serta serangan terhadap konvoi diplomat AS di Gaza. Resolusi ini meminta Israel supaya tidak memperburuk situasi dengan cara mendeportasi dan menyerang warga sipil serta melakukan pembunuhan ekstra-yudisial. Ironisnya, tak sampai 24 jam setelah sidang Majelis Umum, ada lima orang Palestina tewas oleh serangan Israel. Sehari sebelumnya, helikopter Israel menjatuhkan bom di Gaza. Sepuluh orang tewas, 70 orang luka-luka. Sejatinya, ini bukan hal baru: selama ini banyak resolusi PBB yang diabaikan Israel—dan toh mereka tak dihukum. Ada kekhawatiran, resolusi ini akan bernasib sama. Dengarlah kata-kata Deputi Perdana Menteri Israel, Ehud Omert: "Tembok ini akan terus dibangun." Israel telah menyelesaikan sekitar 140 kilometer dari rencana 350 kilometer tembok pemisah yang akan diselesaikan tahun ini. Israel menganggap tembok ini sebagai pagar keamanan. Bagi Palestina, tembok ini menjadi sarana penyiksa dan pengusiran warganya. "Rakyat Palestina di sepanjang rute pagar harus kehilangan tanah. Mereka tak punya akses untuk pergi bekerja, ke pasar, dan lokasi pelayanan sosial penting lainnya," ujar Wakil Sekjen PBB Urusan Politik, Kieran Prendergast, dalam briefing-nya di Dewan Keamanan PBB. Prendergast tak membesar-besarkan fakta. Desa Jabara di Tepi Barat adalah salah satu contohnya. Di sana, penduduk desa tak bisa pergi bekerja, ke pasar, ke klinik, karena akses ke luar desa tertutup oleh pagar. Pintu pagar hanya dibuka dua kali sehari pada jam berangkat dan pulang sekolah. Itu pun hanya untuk para pelajar dan guru. Maka, para petani cuma bisa memandangi tanahnya yang kian gersang dengan pilu dari seberang pagar. Atau menyaksikan panennya dijarah beramai-ramai oleh para pemukim Yahudi. Sekitar 88 anak Desa Jabara tak bisa ke sekolah di desa tetangga, Al-Ras dan Kfar Tsur, karena terkadang pintu ditutup tanpa pemberitahuan. Pernah empat guru yang mesti mengajar di Tulkarm menunggu berjam-jam. Setelah sekian jam, pintu pagar tetap tidak dibuka. Mereka pun kembali ke rumah dan meninggalkan anak didiknya begitu saja. Yang paling mengerikan bagi rakyat Palestina, tembok ini dikhawatirkan akan menjadi batas akhir negara Israel dan Palestina. Dengan lain kata, setelah mencaploki tanah-tanah Palestina, Israel juga "mengusir" rakyat Palestina dari tanahnya dengan cara menutup semua akses kehidupan mereka. Pemerintah Israel mengeluarkan peraturan yang menyatakan seluruh tanah di kawasan pendudukan di Tepi Barat yang berada di antara Tembok Pembatas Israel dan "Green Line" (garis perbatasan sebelum 1967) sebagai zona tertutup. Yang bisa keluar-masuk hanyalah warga Israel. Berarti ada sekitar 180 ribu orang Palestina yang harus mendapat izin—yang begitu susah didapat—untuk masuk ke tanah mereka sendiri. Sementara itu, sekitar 15.300 warga yang terjebak di dalam zona tertutup ini harus mendapat surat "penduduk permanen". Bahkan, kalau seseorang telah meninggalkan rumahnya selama seminggu berturut-turut, mereka tidak lagi dianggap sebagai penduduk permanen. "Ini pengusiran tidak langsung," ujar seorang warga Jabara. Nun jauh dari New Yok, mereka menunggu uluran tangan masyarakat internasional. Bukan sekadar resolusi yang tak bergigi. Purwani Diyah Prabandari (PalestineMonitor, Haaretz, Reuters, UNNews)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus