Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Mantan Presiden Filipina Fidel Valdez Ramos, yang memainkan peran kunci dalam pemberontakan pro-demokrasi pada 1986 dan menggulingkan diktator Ferdinand Marcos, mengkat dalam usia 94 tahun pada Ahad 31 Juli 2022.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Belum diketahui penyebab kematiannya, tetapi salah satu pembantu lamanya, Norman Legaspi, mengatakan bahwa Ramos telah keluar masuk rumah sakit dalam beberapa tahun terakhir karena sakit jantung dan menderita demensia.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Beberapa kerabat Ramos bersamanya ketika dia meninggal di Makati Medical Center di metropolitan Manila, kata Legaspi, menambahkan bahwa keluarga akan mengeluarkan pernyataan tentang kematiannya Ahad malam.
“Dia adalah ikon. Kami kehilangan seorang pahlawan dan saya kehilangan seorang ayah,” kata Legaspi, pensiunan pejabat angkatan udara Filipina, yang menjabat sebagai staf kunci Ramos selama sekitar 15 tahun.
Ramos meninggalkan seorang istri, Amelita "Ming" Ramos, dan empat putri mereka. Anak kedua mereka, Josephine “Jo” Ramos-Samartino, meninggal dunia pada 2011.
Sebagai putra seorang legislator lama dan sekretaris luar negeri, Ramos lulus dari Akademi Militer AS di West Point pada 1950. Dia adalah bagian dari kontingen tempur Filipina yang bertempur dalam Perang Korea dan juga terlibat dalam Perang Vietnam sebagai non- tempur insinyur militer sipil.
Seperti dilansir ABC News, Ramos dianggap sebagai pahlawan bagi banyak rakyat Filipina. Dia membelot dari pemerintahan Marcos, yang juga sepupunya. Ramos memimpin Kepolisian Nasional Filipina, ikut mendorong kejatuhan Marcos selama pemberontakan rakyat melawan kekuasaan sang diktator.
Meski demikian, tak sedikit juga rakat Filipina yang enggan memaafkan atau melupakan perannya dalam menegakkan darurat militer di bawah rezim Marcos.
Sekretaris Pers Presiden Filipina Ferdinand Marcos Jr, Trixie Cruz-Angeles menyampaikan belasungkawa kepada keluarga Ramos. “Dia meninggalkan warisan yang penuh warna dan tempat yang aman dalam sejarah untuk partisipasinya dalam perubahan besar negara kita, baik sebagai perwira militer dan kepala eksekutif,” katanya dalam sebuah pernyataan.
Ramos yang suka mengunyah cerutu, menjabat sebagai presiden dari 1992 hingga 1998, menggantikan ikon demokrasi, Corazon Aquino. Pemberontakan 1986— yang menjadi pertanda perubahan rezim otoriter di seluruh dunia— terjadi setelah Ramos yang saat itu kepala Kepolisian Filipina, dan Menteri Pertahanan Juan Ponce Enrile, menarik dukungan mereka dari Marcos menyusul kudeta yang gagal.
Kardinal Katolik Roma Jaime Sin kemudian memanggil rakyat Filipina untuk mengepung dan melindungi kamp militer dan polisi di wilayah ibu kota tempat para pembelot. Hal ini akhirnya mendorong Marcos, keluarga dan kroninya ke pengasingan AS.
Setelah Aquino naik ke kursi kepresidenan, Ramos menjadi kepala staf militer dan kemudian menteri pertahanan, berhasil membela dia dari beberapa upaya kudeta kekerasan.
Ia memenangkan pemilihan presiden 1992 dan menjadi presiden Protestan pertama di negara Katolik Roma itu. Masa jabatannya ditandai dengan reformasi besar dan upaya untuk membongkar telekomunikasi dan monopoli bisnis lainnya yang memicu ledakan ekonomi yang jarang terjadi, memperkuat citra Filipina dan mendapat pujian dari para pemimpin bisnis dan masyarakat internasional.
Baca juga: Ferdinand Marcos Datangi Lokasi Gempa Bumi
SUMBER: ABC NEWS