Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Empat polisi Filipina divonis bersalah pada Selasa 18 Juni 2024 karena membunuh seorang ayah dan anak, kata pejabat pengadilan. Ini menjadi kasus yang jarang terjadi di mana petugas penegak hukum diadili karena ikut serta dalam perang narkoba mematikan yang diperintahkan mantan presiden Rodrigo Duterte.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Keempat petugas tersebut semuanya dijatuhi hukuman hingga 10 tahun penjara atas penembakan yang menewaskan dua korban di daerah kumuh Manila selama operasi polisi anti-narkoba pada 2016, kata hakim pengadilan regional Manila Rowena Alejandria dalam putusan tertulisnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Perlu dicatat bahwa terdakwa sendiri tidak menyangkal kehadiran dan partisipasi mereka dalam operasi yang dilakukan polisi, peristiwa yang sama di mana korban Luis dan Gabriel (Domingo) dibunuh,” tulis Alejandria.
Ribuan tersangka narkoba dibunuh oleh polisi dan orang-orang bersenjata tak dikenal dalam kampanye yang menjadi inti pemerintahan Duterte pada 2016 hingga 2022. Sebuah tindakan keras yang oleh para kritikus digambarkan sebagai pembunuhan di luar proses hukum yang disponsori negara dan kini menjadi subjek penyelidikan oleh Pengadilan Kriminal Internasional (ICC).
Partner Luis Bonifacio, Mary Ann Domingo, menangis di bahu putranya ketika mereka mendengarkan putusan mengenai dua tuduhan pembunuhan yang masing-masing dibacakan di ruang sidang Manila utara.
Petugas polisi Virgilio Cervantes, Arnel de Guzman, Johnston Alacre dan Artemio Saguros juga diperintahkan untuk membayar masing-masing 300.000 peso Filipina atau sekitar Rp 83.779.808 sebagai ganti rugi kepada ahli waris korban.
Keluarga tersebut menuduh lebih dari selusin petugas polisi ikut serta dalam penggerebekan malam hari di kawasan kumuh Manila utara.
Keluarga bersikeras keduanya tidak terlibat narkoba dan tidak bersenjata ketika polisi melepaskan tembakan.
Para terdakwa membela diri, menuduh para tersangka bersenjata dan menembak mereka.
Namun jaksa penuntut negara menjatuhkan dakwaan yang lebih ringan, yaitu pembunuhan tidak berencana, bukan pembunuhan yang melibatkan niat membunuh yang disengaja dan membawa hukuman yang lebih berat.
INVESTIGASI ICC
Data resmi menunjukkan lebih dari 6.000 warga Filipina tewas dalam operasi antinarkoba Duterte.
Namun, kelompok hak asasi manusia Filipina memperkirakan puluhan ribu pria yang sebagian besar miskin telah dibunuh oleh petugas dan warga, bahkan tanpa bukti bahwa mereka terkait dengan narkoba.
Duterte secara terbuka memerintahkan polisi untuk menembak mati tersangka selama operasi anti-narkoba jika petugas yakin nyawa mereka dalam bahaya.
Walaupun tindakan keras ini mendapat kecaman luas dan memicu penyelidikan internasional, hanya lima polisi lainnya yang dihukum karena membunuh tersangka narkoba.
Tiga petugas polisi Manila dihukum pada 2018 karena membunuh seorang anak laki-laki berusia 17 tahun pada 2017. Dua petugas polisi narkotika lainnya dinyatakan bersalah tahun lalu atas pembunuhan terpisah pada 2016 dan 2017, yang terakhir menjadi korban adalah seorang pengusaha Korea Selatan.
Para pengacara mengatakan sebagian besar keluarga terlalu takut untuk mengejar pembunuh kerabat mereka atau tidak punya uang atau waktu untuk mengajukan kasus di sistem peradilan Filipina yang buruk.
Pemberantasan narkoba di Filipina sedang diselidiki oleh ICC, yang mengatakan pada 2021 bahwa tindakan tersebut tampaknya merupakan "serangan yang meluas dan sistematis terhadap penduduk sipil yang terjadi berdasarkan atau sebagai kelanjutan dari kebijakan negara".
Duterte menarik Filipina keluar dari ICC pada 2019, sehingga hanya kasus-kasus sebelum tanggal tersebut yang dicakup dalam penyelidikan.
Presiden Ferdinand Marcos, yang menggantikan Duterte, menolak bekerja sama dalam penyelidikan ICC, dan mengatakan Manila memiliki sistem peradilan yang berfungsi.
CHANNEL NEWSASIA