Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DALAM sebulan terakhir, empat polisi tewas ditembak di kawasan Tangerang Selatan, Banten. Aparat kepolisian menduga penembaknya adalah teroris yang memiliki kaitan dengan jaringan, antara lain, di Poso, Sulawesi Tengah. Untuk mengetahui sejauh mana keterkaitan kasus penembakan itu dengan para teroris, Kamis pekan lalu Tempo menemui Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Ansyaad Mbai. Berikut ini petikan wawancara dengan jenderal purnawirawan bintang dua ini.
Ada yang menyebut penembakan itu aksi teroris, tapi ada jenderal polisi yang menyebut itu kriminal biasa....
Dalam penanganan teror, yang harus dijawab pemerintah ada dua. Satu, apakah kejahatan itu teror atau bukan. Kedua, siapa yang bertanggung jawab. Sekarang penembakan terhadap polisi itu teror atau bukan? Kalau bukan, serahkan saja ke polsek. Kalau teror, serahkan ke Detasemen Khusus Antiteror (yang kini di bawah kendali BNPT).
Lembaga Anda memastikan rangkaian penembakan itu teror?
Kami punya file. Penembakan terhadap polisi bukan baru kali ini terjadi. Coba, sekarang siapa yang paling memusuhi korban? Polisi itu manusia paling jahat menurut teroris. Teroris lagi enak-enak membuat bom, ditangkapi atau ditembaki. Mereka dendam. Kami yakin ini teror.
Kelompok mana yang terlibat dalam teror ini?
Sekarang baru tertangkap pemilik sepeda motor yang dipakai penembak di Pondok Aren. Tapi dia mengaku menjual lagi motornya. Itu sedang kami telusuri. Di motornya kan pasti ada jejak. Bisa saja jejaknya berupa DNA. Kalau sudah ketemu pelakunya, kami baru bisa memastikan dari kelompok mana.
Dari modusnya, ini bisa mengarah ke kelompok mana?
Modusnya bermacam-macam. Tapi kami bisa melacak siapa yang punya modus operandi seperti ini, mana yang biasa beroperasi di wilayah ini, siapa yang punya akses di sini.
Bukankah ada kemiripan penembakan di Tangerang dengan peristiwa sebelumnya?
Betul. Misalnya, peluru itu kan bisa dilihat dari selongsongnya, proyektilnya. Ada identitas di situ. Dari situ dilihat ada kemiripan.
Kabarnya ada tulisan PNP (Philippine National Police) pada peluru?
Detail seperti itu tak bisa dijelaskan….
Ciri-ciri di peluru itu membuat polisi menduga kelompok Abu Omar terlibat. Komentar Anda?
Pada 2011, Abu Omar ditangkap karena memasukkan senjata dari Filipina. Abu Omar sudah terlalu banyak terekam jejaknya. Dia pengendali. Dia yang hendak membunuh Menteri Pertahanan Matori Abdul Djalil. Dia terlibat pengeboman Masjid Istiqlal pada akhir 1990-an. Setelah jaringan teroris dilumpuhkan di banyak tempat, Abu Omar berusaha membangun sisa jaringan lama di Jakarta dan sekitarnya.
Bukankah, setelah divonis 10 tahun, Abu Omar kini masih di penjara?
Dia punya banyak kaki tangan. Misalnya ada Abu Roban, Qodrat, dan Sofyan. Mereka membentuk kelompok baru. Mereka berhubungan dengan kelompok teroris di Sulawesi Selatan, Poso, dan Bima. Mereka pemain utama. Sebagian ditangkap dan ditembak. Tapi jelas masih ada yang bebas….
Bagaimana cara jaringan itu bertahan?
Mereka membentuk kelompok-kelompok kecil. Kami sebut sel atau halaqoh. Dua-tiga orang bikin satu halaqoh. Orangnya itu-itu juga, tapi mereka pun merekrut orang baru. Di sekitar Jakarta, ada belasan kelompok seperti itu. Misalnya di Ciledug (Tangerang Selatan) atau di Bojong Gede (Bogor). Kebanyakan di pinggiran Jakarta….
Itu menjelaskan mengapa sejumlah penembakan terjadi di kawasan Tangerang?
Ya, itu berarti banyak teroris yang belum ditangkap dan tinggalnya di situ.
Aparat tak bisa mengendus rencana mereka?
Kelompok kecil justru menyulitkan. Jaringan sel terputus satu sama lain. Mereka otonom menentukan target dan eksekusi. Bagi kami, lebih mudah mengungkap jaringan besar pengebom. Buktinya, hampir semua teror bom terungkap. Sebaliknya, banyak kasus penembakan yang masih gelap. Tapi saya yakin itu cuma soal waktu.
Polisi menangkapi orang di Bogor, Bekasi, dan Riau. Kesannya kok acak?
Kami memang masih menyatakan belum ada kaitannya. Tapi, dalam banyak hal, menurut pengalaman, nanti bisa saja ada kaitannya. Yang jelas, kami menangkap ada dasarnya.
Seberapa kuat dasar itu?
Kuncinya surveillance. Misalnya ada kejadian atau ada indikasi akan ada kejadian. Intelijen kami bergerak, memantau segala jenis komunikasi. Dari jutaan komunikasi, kami deteksi yang mencurigakan. Lalu kami kembangkan sampai detail. Secara intelijen, kami yakin mereka terlibat jaringan teroris.
Tapi kadang Detasemen Khusus yang melakukan penggerebekan dituduh salah tangkap?
Masalahnya, informasi intelijen belum bisa menjadi alat bukti dalam sistem hukum kita. Dari sepuluh yang ditangkap, misalnya, yang terbukti bersalah mungkin hanya dua orang. Yang lain dilepas. Orang lalu bilang kami salah tangkap. Padahal, secara substansi, kami yakin mereka bersalah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo