Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sang alien telah turun ke bumi. Saya, yang berkulit cokelat dan berambut hitam, tiba-tiba berada di antara "pasukan" juru kampanye Marine Le Pen di stadion serba guna Les Arènes Metz, yang letaknya berdampingan dengan Centre Pompidou-Metz, museum seni kontemporer di Metz, Prancis, Sabtu siang, 18 Maret lalu. Saya datang kepagian. Tak ada orang di gerai khusus pers dan undangan itu selain saya dan seorang fotografer yang lebih asyik mengotak-atik kamera ketimbang berinteraksi dengan lingkungan.
"Maaf, Anda tidak ada dalam daftar undangan ataupun daftar anggota pers kami," kata seorang perempuan berkemeja putih dan berjas hitam, dengan rambut yang ditata rapi, dari balik gerai. Saya terpana. Sebelumnya, petugas cepat memberikan tanda masuk bertulisan "PRESS" dengan logo "Marine Presidente" di sudut kartunya kepada si fotografer.
Lewat tengah hari, saya telah berbicara dengan tiga petugas di gerai itu. Semuanya menolak dan saya masih "berkelahi" sebisanya: bukankah ini acara yang terbuka untuk publik dan boleh diliput pers. Surat elektronik telah dikirim dua pekan sebelumnya dan lampu hijau tanda persetujuan sudah diberikan, tapi bahkan petugas keempat, seorang lelaki berpenampilan necis dengan rambut tersisir rapi seperti di iklan-iklan, menatap saya, kemudian meminta kartu pers dan kartu tanda pengenal saya.
Jarum jam terus berputar, sampai akhirnya lelaki itu "menyerah" setelah kelihatan bahwa ia sudah membaca tembusan surat elektronik yang saya kirimkan. Sambil berkeliling untuk melihat-lihat persiapan kampanye Marine Le Pen, kandidat Presiden Prancis dari partai Front National itu, saya kembali membaca ulang e-mail. Salah satunya menunjukkan bahwa wartawan yang masuk daftar Front National akan mendapat jadwal acara dan kegiatan-kegiatan Front National melalui e-mail. Sayang, hingga saat laporan ini ditulis, saya tidak pernah lagi menerima e-mail apa pun dari Front National.
Sebagai satu-satunya wartawan asing non-Eropa di partai yang menggunakan semangat anti-imigrasi dalam kampanye itu, ada perasaan canggung yang menyertai langkah ini. Para petugas keamanan berkali-kali mesti menjajari langkah saya hanya karena kartu pers yang harus tergantung di leher itu tidak kelihatan atau tanpa sengaja tersembunyi di balik jaket saya. Mata mereka sering bertingkah seperti alat pendeteksi, menatap saya dari ujung rambut hingga ujung kaki, baru kemudian mengamati kartu tanda pengenal. Hadirin dalam kampanye melakukan hal yang sama.
Untungnya, suasana canggung ini tidak terjadi di area wartawan, yang umumnya berasal dari media nasional Prancis. Seorang wartawan Jerman yang menulis untuk Russia Today sempat bergurau dan bertaruh adakah "orang asing" di antara yang hadir dalam gedung Les Arènes hari itu. Orang asing yang dia maksudkan adalah mereka yang non-Eropa: Arab, Asia, atau Afrika. Setelah acara usai, kami berdua tertawa dengan hasilnya. Tidak ada Arab. Saya satu-satunya perwakilan Asia di antara 4.000 orang yang hadir. Sedangkan satu orang Afrika duduk di depan panggung dan jajaran staf Marine Le Pen.
Dari kursi di area khusus wartawan, saya bisa mengamati seluruh aktivitas sepanjang persiapan hingga acara usai. Waktu belum lagi genap pukul 13.00 pada 18 Maret itu ketika sejumlah mobil polisi serta serombongan polisi bermotor besar memasuki area parkir Les Arènes. Metz, yang terletak di perbatasan antara Luksemburg dan Jerman, adalah kota kesekian yang menjadi tempat umbar janji politik para kandidat presiden.
Marine Le Pen dijadwalkan berpidato pada pukul 16.00, tapi Les Arènes sudah dipadati orang sejak pukul 14.00. Jacques-Marie, misalnya, datang dengan beberapa warga dari Desa Pagny-sur-Meuse, sekitar 100 kilometer dari Metz. Mereka adalah orang yang kecewa terhadap pemerintahan sebelumnya, kecewa terhadap pemerintahan yang sekarang, dan kecewa kepada kandidat-kandidat lain. Pria tambun ini bercerita bahwa Marine Le Pen satu-satunya kandidat yang memperhatikan kesejahteraan sosial kelas pekerja.
"Saya sudah muak dengan sosialis. Mereka sibuk memperhatikan nasib malang orang lain yang dibebankan Brussels (Uni Eropa--Red.), sementara di Prancis sendiri kami tidak diperhatikan," ujar Jacques-Marie. Istrinya sibuk mengangguk-angguk membenarkan. "Mohon Anda mengerti, saya bukan rasis. Media-media yang menganggap Marine Le Pen rasis itu pasti media pendukung kandidat lain. Dia memang bilang, kalau jadi presiden, dia tidak mau menerima imigran ilegal. Harap Anda catat itu: imigran ilegal!" kata Jacques-Marie.
Diiringi musik membahana yang mengalunkan La Marseillaise, lagu kebangsaan Prancis, lebih dari 3.500 pendukung menyambut Marine Le Pen dengan gegap-gempita. Mereka datang berbondong-bondong dengan 32 bus, yang diparkir berjejer di sekitar Les Arènes, hingga ke tribun paling puncak. Mereka meneriakkan slogan-slogan andalan Front National: "On est chez nous" ("Kami di rumah kami sendiri"), "La France aux français" (Prancis untuk orang Prancis), hingga "pour le people" ("untuk rakyat").
Pidato Marine Le Pen dibuka dengan kabar terbaru tentang hal yang terjadi beberapa jam sebelumnya. Seorang penjahat ditembak di Bandar Udara Orly, Paris, saat mencoba merebut senjata dari tentara yang sedang bertugas. Juga pembunuhan berantai yang terjadi di tengah Kota Paris yang melibatkan sebuah keluarga "asing". "Pemerintah Prancis saat ini sedang lumpuh dan bingung menghadapi bahaya yang mengancam negerinya sendiri," ujar Marine Le Pen, yang langsung disambut dengan seruan mengejek dan diikuti dengan teriakan "Mari memilih Marine".
Marine Le Pen kemudian mengatakan soal kedaulatan nasional dan perbatasan, yang sangat ditekankan dalam pidatonya. Dia tak lupa mengecam wartawan dan pemilik media yang berusaha keras menjatuhkan dan melunturkan imaji baru yang sedang dibentuknya.
"Ada sepuluh buku yang diterbitkan yang isinya menjelek-jelekkan Front Nasional (FN), ada film yang dibiayai televisi Prancis yang menyudutkan FN, dan ada berita-berita harian yang tujuannya hanya satu, mengecam pembaruan FN. Mereka tidak bisa melihat bahwa saya hanya ingin memberikan hak bersuara kepada masyarakat Prancis, mengembalikan kekuasaan kepada rakyat, memberikan kapasitasnya untuk memutuskan masa depan negeri ini di tangan rakyat," kata Marine Le Pen dengan mantap.
Sepanjang pidato yang berlangsung kurang-lebih satu setengah jam itu, para pendukung Marine Le Pen mengibar-ngibarkan bendera yang sudah disediakan panitia setiap kali ada kata yang ditekankan sang kandidat. Di akhir pidato panjangnya, hadirin berdiri serempak diikuti dengan tepuk tangan nonstop hingga musik La Marseillaise terdengar dan seluruh hadirin menyanyikan lagu kebangsaan Prancis itu dengan lantang.
Di panggung, Marine Le Pen dan para penasihatnya yang berjejer ikut melantunkan La Marseillaise. Ia tampak bersinar cemerlang dengan wajah berseri-seri dan tawa mengembang. Panggung kemudian dihujani asap tipis dan manik-manik kertas yang disemburkan dari mesin yang sudah ditata apik sejak awal. Layaknya sebuah tayangan hiburan di televisi, panggung yang dipenuhi semburan manik-manik berkilauan itu pun digedor dengan musik-musik patriotik, dan terdengar pengumuman bahwa Lille menjadi kota tujuan kampanye Marine Le Pen selanjutnya.
Asmayani Kusrini (Metz, Prancis)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo