Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Surga Kaum Pedofil

Indonesia menjadi persinggahan kaum pedofil mancanegara. Akses terhadap Internet dan lemahnya penegakan hukum menjadi kambing hitam.

27 Maret 2017 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

AHMAD Sofian melihat dengan waswas perkembangan pornografi anak di Indonesia. Peneliti ECPAT Indonesia ini risau terhadap hasil dua kali riset yang pernah dia lakukan bersama timnya. Temuan riset pada 2015 memperkuat temuan pada tahun sebelumnya.

"Riset terbaru menunjukkan kejahatan seksual online tak hanya terjadi di kota besar, tapi juga sudah merasuk ke seluruh wilayah yang terjangkau jaringan Internet dan smartphone," kata Sofian, yang juga pengajar hukum bisnis Universitas Bina Nusantara Jakarta, Kamis pekan lalu.

Laporan penelitian terakhir ECPAT Indonesia berjudul "Studi Global Eksploitasi Sexual Anak dalam Perjalanan dan Wisata di Indonesia" terbit pada 2016. Laporan setebal 62 halaman itu antara lain mengungkap "sisi gelap" pariwisata di Indonesia. Jumlah wisatawan, menurut riset itu, tumbuh setiap tahun. Tapi, di balik semua itu, ada dampak samping yang mencemaskan: maraknya wisata seks anak.

Jenis wisata seks anak, menurut Sofian, bermacam-macam. Ada prostitusi anak secara offline, seperti yang terjadi di kafe, hotel, klub malam, ruang karaoke, dan apartemen. Ada juga prostitusi anak secara online yang marak seiring dengan meningkatnya akses terhadap Internet dan penggunaan telepon pintar. Penutupan sejumlah tempat lokalisasi yang berbarengan dengan mudahnya akses terhadap media sosial, menurut penelitian Sofian dkk, "mengalihkan transaksi seks dari jalanan ke online".

Penelitian ECPAT juga memberi catatan khusus soal Indonesia yang kerap menjadi persinggahan pedofil buron mancanegara. Termasuk di antaranya kasus yang melibatkan William Vahey, warga Amerika Serikat yang pernah mengajar di Jakarta International School pada 1992-2002.

Selama Vahey berada di Indonesia, polisi memang tak membongkar kasus pedofilia yang melibatkan dia. Tapi belakangan Biro Penyelidik Federal (FBI) Amerika Serikat mengumumkan Vahey sebagai salah satu pedofil buruan mereka. Vahey biasanya mengincar anak lelaki berusia 12-14 tahun. Dia berpindah-pindah sekolah untuk mencari mangsa. Pria kelahiran West Point, New York, pada 1949 itu pernah mengajar di sejumlah negara, termasuk di Libanon, Spanyol, Yunani, Arab Saudi, dan Venezuela. Vahey meninggal karena bunuh diri pada 21 Maret 2014 di Luverne, Minnesota, Amerika, dengan menusuk dadanya.

Kasus lain yang terbongkar belum lama ini melibatkan pedofil asal Australia, Robert Andrew Fiddes Ellis. Pada 2010, pria kelahiran Melbourne, 70 tahun silam, ini pernah masuk radar organisasi perlindungan anak, Lentera Anak Bali. Kala itu Andrew tepergok "mendekati" anak-anak jalanan di Kuta, Bali. Sempat menghilang, ia kembali ke Bali pada 2013. Polisi menangkap Andrew pada 11 Januari 2016. Pada 25 Oktober 2016, Pengadilan Negeri Denpasar menghukum Andrew 15 tahun penjara dan denda Rp 2 miliar karena terbukti mencabuli anak-anak.

Penangkapan Andrew mengungkap sisi gelap dari gemerlap wisata Bali. Dari tiga kota yang diteliti ECPAT, Bali--yang pada 2014 dikunjungi 3,7 juta wisatawan asing--menjadi kota dengan kasus pedofilia paling tinggi. Selama 2001-2013, pelaku pedofilia datang ke Bali dari berbagai negara. Yang terungkap adalah pedofil asal Belanda (tiga kasus), Italia (dua kasus), Prancis (dua kasus), Australia (dua kasus), Jerman (satu kasus), Swiss (satu kasus), dan Afrika Selatan (satu kasus). Menurut riset ECPAT, para pedofil yang singgah di Bali memiliki kesamaan ciri: rata-rata berusia di atas 50 tahun, pensiunan pegawai, dan datang sendirian dengan alasan berlibur.

Menurut Direktur Institute for Criminal Justice Reform Supriyadi Widodo, kasus pedofilia terus berulang karena belum tegaknya hukum perlindungan anak di negeri ini. Dia yakin kasus pedofilia yang masuk ke pengadilan jauh lebih sedikit ketimbang kasus yang tak pernah terungkap. "Yang lebih gawat justru kasus yang tak masuk pengadilan," ujar Supriyadi.

Abdul Manan

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus