Angin reformisme bertiup kencang, tapi pertahanan garis keras masih cukup kuat. Deng masih jadi patokan kedua pihak. POLITIK Cina kembali susah ditebak. Dua reformis diangkat menjadi wakil perdana menteri. Tapi retorik politik pemerintah tetap bergaris keras. Itulah kesan dari sidang tahunan Kongres Rakyat Nasional yang berlangsung selama 15 hari, berakhir 9 April, Selasa pekan lalu. Inilah sidang yang dibungkus basa-basi sehingga butuh waktu dua pekan. Berbagai laporan dari banyak bidang mesti dibacakan. Padahal, satu pidato biasanya bisa berlangsung lebih dari satu jam. Pidato penutupan Perdana Menteri Li Peng saja yang isinya merupakan kesimpulan hasil kongres, makan waktu tak kurang dari tiga jam. Selain penuh pidato, sidang-sidang itu penuh dengan liku-liku lobi, kompromi dan dagang sapi politik antara kaum reformis dan garis keras -- sesuai dengan tradisi Cina. Kaum reformis dan garis keras, itulah dua kecenderungan yang bersaing dalam Partai Komunis Cina (PKC). Apa pun maknanya Kongres ini, munculnya dua tokoh reformis ke dalam barisan "generasi ketiga" para pemimpin Cina bisa dikatakan sebagai kemenangan golongan pembaru. Yang pertama, Zhu Rongji, 63 tahun, bekas wali kota Shanghai. Tokoh ini mendapat julukan "Gorbachev Cina". Zhu sendiri tak menyukai panggilan itu karena, bagi tokoh-tokoh PKC, Gorbachev adalah contoh pemimpin komunis yang "mengkhianati dogma komunisme". Tapi gaya kepemimpinannya sebagai wali kota Shanghai menggantikan Jiang Zemin yang sekarang menjabat sekjen PKC telah membuatnya kondang di kalangan kaum intelektual dan pendukung reformisme. Zhu, yang lancar berbahasa Inggris, juga dikenal sebagai orang yang nonideologis dan pragmatis terpenting. Sejak 1989 ia telah menjadi kesayangan orang kuat Deng Xiaoping. Malah ada yang mengatakan, pengangkatan Zhu sebagai salah satu wakil perdana menteri mestinya dilaksanakan sejak beberapa tahun silam, bahkan sebelum pecahnya tragedi Tiananmen. Reformis kedua yang diangkat adalah Zou Jiahua, 65 tahun, yang tadinya menduduki kursi menteri atau Ketua Komisi Perencanaan Negara. Ia dikenal sebagai pemimpin yang "kurang ideologis", dan karena itu populer di kalangan terpelajar. Seperti juga Zhu, latar belakang pendidikan Zou di bidang teknik dan permesinan. Sebagaimana rekannya -- dan umumnya para tokoh waktu itu -- - selama Revolusi Kebudayaan, tokoh yang lancar berbahasa Inggris dan Rusia ini dilemparkan ke pedesaan untuk "belajar" dari kaum tani. Ada yang menduga, promosi kedua orang itu justru karena sikapnya yang tak jelas dalam percaturan politik antara reformis dan garis keras di dalam partai. Zou dan Zhu tak banyak omong mengenai politik. Kegiatan mereka terutama dalam bidang-bidang yang praktis dan mereka sering mengelak dari pembicaraan tentang ideologi. Bertolak dari pribadi dua wakil perdana menteri yang baru itulah, orang menilai sidang Kongres Rakyat tahun ini merupakan kemenangan kaum reformis. Bahkan ada yang berani mengatakan bahwa Zhu sedang diproyeksikan untuk menggantikan Perdana Menteri Li Peng. Nama tersebut terakhir itu kini memang kurang disukai massa lantaran namanya sering dihubungkan dengan pembantaian Tiananmen. Li juga dianggap kelewat "konservatif" di kala reformisme sedang menjadi gejala global yang tak terbendung. Masa jabatan Li masih sekitar dua tahun lagi, waktu yang dianggap memadai bagi Zhu untuk "magang" sebagai pemegang komando eksekutif, sambil menanamkan akar di kalangan elite politik Cina. Adapun Zou, dalam dugaan sejumlah pengamat Cina, diarahkan untuk mengoper tugas-tugas Yao Yilin, ekonom garis keras yang menyuarakan gagasan-gagasan Chen Yun, penganjur perencanaan terpusat dan penentang reformasi "kelewat" radikal seperti yang dianjurkan Zhao Ziyang dan mendiang Hu Yaobang. Tapi, sesungguhnya, budaya kompromi masih mewarnai hasil sidang-sidang Kongres Rakyat tersebut. Buktinya, berbagai pernyataan pemerintah seusai sidang-sidang, terutama yang menyangkut peristiwa Tiananmen hampir dua tahun yang silam, tetap mencerminkan politik yang masih memberi angin pada kelompok garis keras dalam politbiro. Misalnya, tanggapan terhadap pendapat yang beredar dalam masyarakat bahwa pemerintah Beijing menerapkan standar ganda dalam menerapkan hukuman terhadap para pelaku Tiananmen. Para aktivis mahasiswa, termasuk Wang Dan yang dikenal sebagai salah seorang pemimpin mahasiswa, hanya dijatuhi hukuman ringan. Ini untuk menarik kembali simpati kaum terpelajar. Sedangkan ekonom Wang Juntao dan Chen Ziming, yang dituduh "dalang", diganjar 15 tahun. Jelas, hukuman ini untuk memuaskan kelompok garis keras. Terhadap pendapat tersebut, Hakim Tinggi Zheng mengatakan bahwa pengadilan sebenarnya melihat per kasus, bukan karena hendak berkompromi dengan kelompok politik yang pada bertentangan. Sementara itu, wakil ketua merangkap sekjen Kongres Rakyat Nasional kali ini, Peng Chong, sekali lagi mengingatkan agar parlemen Cina tetap berjuang melawan "kaum intelektual borjuis yang berpikiran liberal", yang selalu berusaha menerapkan gagasan-gagasan dan institusi Barat di Cina. Ia mengungkapkan, dalam beberapa tahun belakangan ini "ada segelintir orang yang menyerang sistem politik dan institusi Kongres Rakyat", dan mempropagandakan "demokrasi, kebebasan, hak-hak asasi, dan pemisahan tiga kekuasaan". "Mereka mempropagandakan sistem parlemen ala Barat, berusaha mengecilkan arti demokrasi rakyat, dan mengubah sistem sosialis menjadi kapitalis," kata Peng lagi. Karena itu, ia menyerukan perjuangan yang tak henti-hentinya melawan konspirasi para penganut "evolusi secara damai" yang diatur oleh kekuatan-kekuatan di dalam dan di luar negeri. Tak sulit mengatakan bahwa ini suara yang pro-garis keras. Sebagaimana kongres tahun lalu, dalam sidang-sidang, orang kuat Deng, kini 87 tahun, tak muncul. Yang menarik, nama orang kuat itu tetap dipakai baik oleh kaum reformis maupun garis keras sebagai landasan pikiran mereka. Bila nama dua orang reformis muncul dalam kongres kali ini, konon kelompok pembaru memang paling keras mengutip berbagai pikiran dan pesan Deng. Misalnya, "Bersikap berani dalam mencari jalan pembaruan" karena "tak ada jalan yang tersedia dengan sendirinya untuk menuju reformasi. Kita harus berjuang untuk menemukan jalan itu". Republik Rakyat Cina memang sedang menuju ke satu titik krisis. Deng, yang sudah sangat jarang muncul karena kesehatannya, tak lama lagi harus mengundurkan diri secara total dari aktivitas politiknya. Ada perkiraan yang suram: begitu Deng tiada, pertarungan konservatif-reformis akan mencapai titik klimaks yang sangat menentukan arah politik Cina menjelang abad ke-21. Ketika itu, nasib pembaruan ekonomi yang sudah dirintis oleh Deng, dan nasib keterbukaan politik yang kini sedang diperjuangkan oleh kelompok reformis, akan ditentukan. Apakah Cina akan menjadi sebuah negara yang lebih terbuka, lebih demokratis, atau hanya menjadi contoh arkaik sistem Stalinis yang di Uni Soviet sendiri sudah ditolak. Dari Kongres Rakyat yang baru saja selesai pekan lalu, belum bisa ditebak Cina macam apa yang akan terbentuk, nanti. A. Dahana
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini