Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DARI rancangan gambarnya, masjid berarsitektur gaya Turki dengan empat menara itu terlihat mentereng. Lokasinya, lahan seluas 20 ribu meter persegi di Jalan George W. Bush, Tirana, berada tak jauh dari gedung parlemen Albania. Mulai dibangun pada pertengahan tahun lalu, peletakan batu pertamanya dihadiri Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan dan Presiden Albania Bujar Nishani, masjid yang ditargetkan sudah bisa digunakan dalam dua-tiga tahun itu kini menjadi sumber pro dan kontra bahkan di kalangan muslim Albania.
Mereka yang mendukung mensyukuri keberadaan masjid itu karena bakal mengakhiri luberan anggota jemaah di masjid lama, Masjid Et'hem Bey. Kapasitas masjid ini yang sudah tak memadai menyebabkan jemaah menjalankan salat di lapangan utama Tirana pada hari raya. Masjid baru dirancang mampu menampung 4.500 anggota jemaah. "Ini akan menjadi masjid terbesar di Balkan," ujar Genti Kruja, wakil komunitas muslim di Tirana, kepada AFP, saat menghadiri peresmiannya.
Mereka yang menentang justru khawatir pembangunan masjid itu merupakan bagian dari upaya Erdogan membangkitkan kembali warisan Kesultanan Utsmaniyah (Ottoman). Di kalangan nasionalis sekuler juga timbul kegusaran karena postur masjid itu mengerdilkan gedung parlemen. Desainnya dianggap "Turki banget".
Sebenarnya kehadiran Turki di Albania tak melulu melalui masjid. Sebelum pemerintah datang dengan 30 juta euro (kira-kira Rp 465 miliar) untuk membangun masjid, yang sekaligus kelak akan dilengkapi museum dan tempat pameran, sudah ada enam sekolah agama. Sekolah-sekolah ini, dari semuanya berjumlah tujuh, dikelola lembaga yang punya kaitan dengan komunitas Gulen. Komunitas ini didirikan Fetulah Gulen, ulama yang pernah bersekutu tapi lalu menjadi lawan politik Erdogan dan kini menetap di Amerika Serikat.
Langkah Gulen belakangan diikuti pula oleh pemerintah Turki, melalui TIKA, badan bantuan pembangunan Turki. Sejauh ini dana yang disalurkannya telah ikut membiayai 248 proyek.
Bagi sebagian warga muslim Albania, di samping bantuan dana, kehadiran Turki penting untuk membendung penyebaran ajaran ekstrem Islam. Menurut Ylli Gurra, mufti di Tirana, tak kurang dari 150 warga Albania bergabung dengan kelompok Negara Islam Irak dan Suriah atau ISIS di Suriah. Dia mengeluhkan berbagai yayasan Salafi dari negara-negara di Teluk Persia yang datang pada 1990-an dan mengajarkan radikalisme. Padahal, kata dia, seperti dikutip The Economist pada akhir Januari lalu, kebanyakan muslim Albania "lebih dekat dengan Islam Turki".
Albania bukan satu-satunya negara yang menjadi tujuan Turki untuk membangun masjid. Sejauh ini, melalui dana yang digelontorkannya—US$ 200 miliar (lebih dari Rp 2.700 triliun) untuk proyek yang sedang berjalan saja—Turki sudah hadir di 25 negara, dengan tak kurang dari 100 masjid. Sebagian besar dari masjid-masjid itu berada di negara-negara bekas wilayah Kesultanan Utsmaniyah, termasuk di Semenanjung Balkan.
Semua itu sebenarnya merupakan bagian dari misi internasional yang dicangkokkan ke Diyanet, dan menjadi instrumen kebijakan luar negeri Turki. Diyanet adalah direktorat dari masa awal Mustafa Kemal Ataturk berkuasa setelah runtuhnya Kesultanan Utsmaniyah pada 1923. Lembaga ini semula bertugas mengontrol Islam dan memastikan warga Turki hanya mengikuti mazhab Hanafi—tak peduli pada kenyataan ada warga Kurdi, Syiah, Alawi, dan penganut aliran lain. Dalam prakteknya, di antaranya yang dilakukannya adalah mengelola lebih dari 80 ribu masjid di seluruh negeri, menulis naskah khotbah, dan mengangkat imam masjid.
Di era Recep Tayyip Erdogan, yang berkuasa sejak menjadi perdana menteri menyusul kemenangan Partai Pembangunan dan Keadilan atau AKP pada 2002, Diyanet diperkuat. Lembaga ini menjadi instrumen politik. Pada 2010, saat Erdogan menjabat perdana menteri, Ali Bardakoglu, Ketua Diyanet, diberhentikan antara lain karena menolak menyarankan pemakaian kerudung bagi perempuan muslim. Penggantinya, Mehmet Gormez, dianggap lebih akomodatif terhadap keinginan AKP.
Dari situs web-nya, dalam laporan kegiatan pada 2013, sekilas bisa diketahui adanya agenda lintas batas perihal "pembentukan dan penyebaran persepsi obyektif tentang Islam ke seluruh dunia". Di dokumen yang sama dinyatakan bahwa direktorat bertujuan "menghadirkan pemahaman Islam yang didasarkan pada fondasi ilmiah tentang Islam dan memimpin upaya penyebarannya". Untuk itu telah diselenggarakan lebih dari 200 ribu pertemuan, konferensi, diskusi panel, dan simposium di seluruh dunia.
Secara ringkas, oleh sejumlah kalangan, semua itu dianggap sebagai dalih untuk satu hal: Turki hendak meluaskan pengaruhnya dan berupaya mengambil posisi sebagai pemimpin Islam.
Tugas-tugas ekstra Diyanet itu diwujudkan melalui yayasan yang berafiliasi dengannya, TDV, tentu berimplikasi pada biaya. Menurut laporan Foreign Policy pada Mei lalu, di bawah kendali AKP, dalam waktu kurang dari sepuluh tahun anggaran Diyanet menggelembung hingga empat kali dari sebelumnya, menjadi lebih dari US$ 2 miliar (sekitar Rp 27,4 triliun). Pegawainya bertambah hingga mencapai 150 ribu orang.
Selain itu, pengeluarannya, dibandingkan dengan total pengeluaran pemerintah, naik 30 persen. Anggota stafnya pun berlipat dua, menjadi hampir 150 ribu orang. Alokasi anggarannya tahun lalu 40 persen lebih besar ketimbang Kementerian Dalam Negeri dan sama dengan gabungan anggaran Kementerian Luar Negeri, Kementerian Energi, serta Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata.
Yang ikut berubah, menurut Svante E. Cornell, Direktur Central Asia-Caucasus Institute & Silk Road Studies Program Joint Center, dalam tulisannya di Turkey Analyst pada Oktober tahun lalu, adalah karakter Diyanet. Semula sebagian besar pegawainya adalah birokrat biasa, bukan orang yang berlatar belakang pendidikan Islam. Belakangan, proporsi anggota staf yang berpendidikan Islam semakin besar.
Bersamaan dengan itu, peran sosial Diyanet juga bertambah, termasuk di bidang pendidikan agama. Pada 2011, lembaga ini mulai menerbitkan sertifikat halal untuk produk makanan dan tahun berikutnya membuka stasiun televisi. Diyanet juga memproduksi fatwa berdasarkan permintaan: melalui saluran telepon, mereka memberi petunjuk tentang persoalan sehari-hari. Seorang pengamat yang tak disebut namanya menggambarkan hal ini sebagai sesuatu yang "mendorong penelepon menyelaraskan kehidupan sehari-hari mereka dengan prinsip-prinsip Islam".
Tahun lalu Diyanet mendominasi pemberitaan setelah menetapkan bahwa kertas toilet tidak dilarang dalam Islam. Ini merupakan bagian dari lonjakan jumlah fatwa yang dikeluarkan. Sebagaimana fatwa pada umumnya, tak ada ketentuan yang menjadikan setiap muslim terikat dan harus patuh. Tapi para pengritik melihat, bagi Turki, sebuah negara sekuler, semestinya tergolong aneh dan berlebihan ada lembaga pemerintah yang mengeluarkan fatwa yang berkaitan dengan perilaku sehari-hari.
Semula program pembangunan masjid di luar negeri oleh Turki berfokus di negara-negara yang punya kaitan dengan Kesultanan Utsmaniyah. Tapi Diyanet lalu memperluasnya ke negara-negara lain. Pada 2014, Recep Tayyip Erdogan menyatakan bahwa Kuba telah dihuni muslim jauh sebelum ditemukan oleh Christopher Columbus; ia lalu mengumumkan rencana untuk membangun masjid di sana. Sebuah masjid juga sedang dibangun di Haiti. "Ini tentang gagasan bahwa Turki harus menjadi pemimpin semua muslim di dunia," ucap Kerem Oktem, profesor kajian Turki di University of Graz.
Seorang pejabat TDV, Mazhar Bilgin, berupaya menepis kekhawatiran dari pernyataan semacam itu. Soal masjid dan program bantuan kemanusiaan Turki, Bilgin mengatakan bahwa Turki belakangan ini telah "menjadi satu-satunya harapan bagi muslim di dunia".
Purwanto Setiadi (AFP, The Economist, Foreign Policy, Al-Monitor)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo