Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Merkel Tak Segarang Dulu

Jerman kelimpungan menangani lebih dari sejuta pengungsi. Mendapat penolakan keras dari kelompok sayap kanan.

8 Februari 2016 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kanselir Jerman Angela Merkel lama dikenal dengan gaya kepemimpinan tangan besi. Namun kali ini, akibat krisis pengungsi, sikapnya melunak. Kebijakan pintu terbukanya terhadap pengungsi ibarat memercik muka sendiri karena menuai hujan kritik, yang memaksanya berkompromi.

Merkel memang masih berkukuh tidak mau memangkas kuota pengungsi. Namun, untuk status suaka mereka, Merkel mengoreksi kebijakannya. Perempuan 61 tahun ini memastikan bahwa semua pengungsi di Jerman, yang mencapai 1,1 juta orang sepanjang 2015, hanya akan memperoleh suaka sementara.

"Kami berharap setelah Suriah kembali damai, setelah ISIS (Negara Islam Irak dan Suriah) kalah, Anda (pengungsi) akan kembali ke negara Anda," kata Merkel seusai pertemuan internal dengan partai penyokongnya, Partai Uni Demokratik Kristen, akhir pekan lalu.

Merkel berkaca pada gelombang pengungsi dari negara bekas Yugoslavia yang pernah memasuki Jerman pada 1990-an. Menurut dia, sebanyak 70 persen dari para pengungsi itu kini telah kembali ke kampung halaman mereka. Merkel pun menginginkan para pengungsi Suriah kelak berbuat hal serupa.

Sikap Merkel berubah semenjak insiden Koln. Kejadian pada malam tahun baru itu membuat kota terpadat keempat di Jerman ini geger. Pesta perayaan berubah menjadi horor saat serangkaian serangan seksual dan perampokan menimpa ratusan perempuan muda. Para korban menuding pria-pria bertampang "Arab" dan "Afrika Utara" sebagai biang kerok.

Sedikitnya 700 perempuan mengadu ke polisi. Sebanyak 300 orang di antaranya mengaku telah mengalami pelecehan seksual, dari digerayangi hingga diperkosa. "Saya merasa sangat tidak nyaman," ujar Anne, 27 tahun, yang malam itu berada di alun-alun Koln. Ia mengaku tubuhnya diraba segerombolan pria "berwajah pengungsi dari Timur Tengah".

Insiden di Koln menyulut kemarahan warga Jerman. Serangkaian protes, yang didalangi gerakan sayap kanan anti-Islam, Pegida, merebak di sejumlah kota. Ribuan aktivis Pegida turun ke jalan untuk menentang kebijakan Merkel. Mereka menyatakan para pencari suaka yang membanjiri Jerman hanya akan menjadi "bom waktu".

Protes keras juga datang dari partai sayap kanan Jerman, Alternative for Germany (AfD). Melalui ketuanya, Frauke Petry, partai anti-imigran ini bersuara lantang mengecam Merkel. "Polisi harus menyetop pengungsi menyeberang secara ilegal dari Austria. Jika perlu, gunakan senjata api," kata Petry, seperti dikutip Middle East Eye.

Resistansi terhadap pengungsi rupanya menjalar ke beberapa negara lain. Denmark meloloskan undang-undang yang memungkinkan pihak berwenang menyita uang tunai dan barang berharga milik pengungsi. Harta ini akan dijadikan jaminan selama mereka menyambung hidup di negara itu.

Hungaria mengerem arus pengungsi dengan membangun pagar berkawat duri di sepanjang perbatasan dengan Serbia. "Hanya mereka yang hidupnya terancam yang boleh melintasi perbatasan," ujar Menteri Kehakiman Hungaria Laszlo Trocsanyi. Slovenia juga memperketat tapal batasnya dengan Kroasia untuk menghalau imigran.

Negara lain, Swedia, memulangkan separuh dari 163 ribu pengungsi yang ditolak permohonan suakanya. Belanda mengusulkan mengirim pengungsi kembali ke Turki. Inggris dan Wales bahkan bertindak lebih ekstrem. Pencari suaka di Cardiff, Wales, diharuskan mengenakan gelang untuk menunjukkan bahwa mereka berhak mendapatkan makanan.

"Apa yang terjadi sekarang adalah reaksi terhadap pengungsi yang jumlahnya begitu tinggi," kata Leonard Doyle, juru bicara Organisasi Pengungsi Dunia (IMO), di Jenewa, Swiss, seperti dikutip CNN. Menurut Doyle, masalah bertambah pelik karena pengungsi susah membaur dengan penduduk lokal karena perbedaan norma dan budaya.

Di Berlin, Angela Merkel tengah menuai apa yang ditanamnya. Pada Agustus tahun lalu, ia adalah pemimpin negara yang pertama menyeru Uni Eropa menampung jutaan pengungsi dari Suriah—negara di Timur Tengah yang lima tahun dikoyak perang saudara. Keputusan perempuan terkuat sejagat ini pula yang membuat Jerman kini dibanjiri imigran.

Maka cukup wajar bila resistansi begitu tinggi. Apalagi, menurut lembaga riset independen, Cologne Institute for Economic Research, Jerman harus menggelontorkan 50 miliar euro (sekitar Rp 755 triliun) hingga akhir 2017. "Uang itu untuk menyediakan penampungan, pekerjaan, dan proses integrasi bagi pengungsi," ujar seorang peneliti.

Gelombang kritik juga berpotensi mengancam posisi Merkel, yang sukses mempertahankan jabatan kanselir untuk ketiga kalinya sejak 2013. Itu sebabnya Partai Uni Demokratik Kristen (CDU) bergegas turun tangan. Partai konservatif ini awalnya mendukung kebijakan Merkel. Namun, belakangan, CDU turut mengkritik Merkel karena popularitas pemimpinnya itu terus merosot akibat krisis pengungsi.

Merkel dan CDU pantas khawatir terhadap kebangkitan AfD dan kubu sayap kanan Jerman. Apalagi dukungan untuk pemerintah sebenarnya mulai melorot sejak Juli 2012. Krisis pengungsi semakin menyeret popularitas Merkel ke titik terendah. "Sebanyak 40 persen warga Jerman menginginkan Merkel mundur," demikian hasil survei dari majalah Focus, seperti dikutip The Independent.

Sebaliknya, dukungan untuk AfD terus melonjak. Jajak pendapat mingguan Insa menunjukkan partai yang baru dibentuk pada 2013 ini meraup 12,5 persen suara nasional. "Partai yang tidak terwakili di parlemen nasional ini meraih dukungan empat kali lipat dalam enam bulan terakhir karena krisis pengungsi," demikian menurut survei. Sedangkan koalisi antara CDU dan Partai Uni Sosial Kristen (CSU) turun 10 poin ke angka 33 persen.

Merkel telah beberapa kali berkonsolidasi dengan partainya. Mereka mengatur siasat menjelang pemilihan umum pada 13 Maret mendatang. Pemungutan suara akan berlangsung di tiga negara bagian yang selama ini menjadi basis kekuatan CDU, yaitu Saxony-Anhalt, Baden-Wuerttemberg, dan Rhineland-Palatinate. "AfD mulai meraup dukungan di tiga wilayah itu," begitu menurut Deutsche Welle.

Di Berlin, Merkel mulai terlihat mengendurkan kebijakan. Pada Rabu pekan lalu, ia mengeluarkan aturan baru tentang pengungsi. Dengan aturan itu, Merkel ingin mengerem arus pengungsi yang masuk ke Jerman. Di antaranya dengan melarang mereka bertemu dengan keluarga dari negara asal sebelum menetap selama dua tahun.

Aturan itu disebut paket kebijakan pengungsi jilid kedua, menambahkan Maroko, Aljazair, dan Tunisia ke daftar "negara asal yang aman". Artinya, para pengungsi dari tiga negara itu bisa dipulangkan ke negara mereka lewat prosedur yang lebih cepat. "Kabinet juga setuju untuk mendeportasi imigran yang terlibat kasus kriminal," demikian pernyataan pemerintah Jerman yang merujuk pada insiden di Koln.

Josef Janning dari Dewan Eropa mengatakan Merkel sebaiknya segera memangkas jumlah pengungsi yang masuk ke negaranya. Menurut dia, Jerman bersama Swedia dan Austria merupakan tiga negara yang paling berat menanggung beban pengungsi. Mereka menampung 90 persen dari 2 juta pengungsi yang membanjiri Eropa sepanjang 2015.

"Di dalam negeri, tekanan terbesar bagi Merkel adalah menurunkan angka pengungsi," kata Janning kepada ABC News. Merkel, Janning menambahkan, secara politik tak akan bertahan bila arus pengungsi untuk tahun ini tidak berkurang. "Jumlahnya harus jauh lebih sedikit dibanding 1,1 juta orang."

Upaya itu tampak masuk akal saat Sekretaris Jenderal Partai CDU Peter Tauber menyerukan untuk memulangkan 1.000 pengungsi setiap hari. Terlebih pemerintah Merkel bulan ini mengumumkan bahwa mereka hanya menampung 127.500 pencari suaka per tahun, atau 1,5 persen dari populasi Jerman, hingga empat tahun mendatang.

Namun data pemerintah Jerman, seperti dikutip Deutsche Presse-Agentur, menunjukkan fakta yang kontradiktif di lapangan. Arus pengungsi masih mengalir deras ke Jerman. Jumlah pencari suaka pada Januari lalu mencapai 91.671 orang. "Ini menunjukkan rata-rata ada 3.000 pengungsi per hari."

Mahardika Satria Hadi (CNN, Daily Mail, Middle East Eye, The Independent)


Mereka Berubah Sikap

Beberapa negara Eropa ramai-ramai memperketat perlakuan terhadap pengungsi. Gerakan protes anti-imigran juga muncul di sejumlah negara.
1. Jerman : memperketat aturan tentang pencari suaka.
2. Austria : memangkas jumlah pengungsi dalam empat tahun.
3. Prancis : menangguhkan sistem zona Schengen untuk membatasi aliran pengungsi.
4. Swedia : memulangkan 80 ribu pengungsi yang tak mendapat suaka.
5. Denmark : mengesahkan undang-undang untuk menyita uang tunai dan barang berharga milik pengungsi.
6. Hungaria : memperketat perbatasan; memperketat aturan tentang imigrasi.
7. Polandia : memperketat aturan tentang imigrasi.
8. Republik Cek : memperketat aturan tentang imigrasi.
9. Belanda : mengusulkan mengirim pengungsi kembali ke Turki.
10. Inggris dan Wales : menandai pencari suaka agar mudah dikenali.

Sumber: CNN, SMH

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus