Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
RIDWAN Sumantri kini bisa tersenyum lebar. Penantian dia selama lima tahun berujung manis. Mahkamah Agung memenangkan gugatan Ridwan terhadap PT Lion Mentari Airlines (Lion Air), Angkasa Pura II, dan Kementerian Perhubungan.
Pesan ucapan selamat pun bertubi-tubi mendarat di telepon seluler milik lelaki 36 tahun itu. Pengirimnya bukan hanya rekan-rekan Ridwan sesama penyandang disabilitas. Sanak saudara dan kenalan dia dari beragam profesi juga menyambut gembira kemenangan tersebut. "Dari awal, saya optimistis bakal menang," ujar Ridwan, yang mengaku pertama kali mengetahui kemenangannya dari media. "Alhamdulillah, sekarang terbukti."
Mahkamah Agung, pada 26 Januari 2016, menyatakan tiga tergugat secara tanggung renteng harus membayar ganti rugi Rp 50 juta kepada Ridwan. Tak hanya itu, hakim juga mewajibkan tergugat meminta maaf melalui surat kabar nasional karena tidak memberikan pelayanan yang semestinya kepada orang berkebutuhan khusus, yang juga biasa disebut difabel alias different ability.
Masih lekat dalam ingatan Ridwan bagaimana dia "tak mendapatkan pelayanan semestinya" ketika naik pesawat Lion Air pada 11 April 2011. Kala itu Ridwan terbang dari Bandar Udara Soekarno-Hatta menuju Denpasar. Ia hendak mengantar seorang dosen Sekolah Tinggi Kesejahteraan Sosial, Bandung, yang akan meneliti perlindungan atas penyandang disabilitas di Denpasar.
Sewaktu check-in, Ridwan yang ketika bepergian selalu memakai kursi roda meminta tempat duduk di barisan terdepan agar leluasa. Semula ia tak memperhatikan apa yang tercetak pada boarding pass. Belakangan, Ridwan tahu bahwa dia ternyata mendapat kursi nomor 23A.
Ketika Ridwan masuk pesawat, di dalam sudah banyak penumpang lain. Ia dibopong petugas sampai kursi di bagian tengah pesawat. Tak lama setelah Ridwan duduk, seorang pramugari menghampiri seraya menyodorkan surat pernyataan sakit. Yang membuat Ridwan terperenyak, surat itu juga menyebutkan bahwa segala akibat buruk pengangkutan bagi penumpang di luar tanggung jawab maskapai penerbangan.
Semula Ridwan menolak menandatangani surat tersebut karena memang tidak sedang sakit. Dia pun menjelaskan bahwa kondisinya hanya tak bisa berjalan seperti orang lain sehingga membutuhkan alat bantu kursi roda. Namun sang pramugari "ngotot" dengan dalih menjalankan prosedur perusahaan. "Kala itu saya merasa malu dan dilecehkan," kata Ridwan. Meski begitu, setelah merasa tak ada gunanya berdebat, akhirnya Ridwan meneken surat pernyataan itu.
Sebagai mantan atlet tenis kursi roda dan pegiat hak kaum difabel, Ridwan pernah beberapa kali ke luar negeri. Karena itu, dia bisa membandingkan pengalaman hari tersebut dengan pelayanan maskapai asing dan bandara di negeri orang. Ketika hendak mengikuti turnamen di Taiwan pada 2007, misalnya, Ridwan mendapat perlakuan istimewa sejak masuk hingga turun pesawat. Kru pesawat mendahulukan dia masuk kabin. Di dalam pesawat tersedia kursi roda khusus. Pelayanan serupa dia dapatkan di beberapa negara lain.
Sebaliknya, di negeri sendiri, Ridwan tak pernah mendapatkan perlakuan prioritas. Padahal dia tahu hak penumpang difabel sebenarnya telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan. Menurut aturan ini, penumpang yang memiliki keterbatasan fisik berhak mendapatkan pelayanan khusus. "Faktanya, kebanyakan maskapai dan bandara dalam negeri belum menerapkan itu," ujar Ridwan.
Sebulan setelah kejadian di pesawat Lion Air, Ridwan mengadu ke Komisi Nasional Hak Asasi Manusia. Selama menunggu tanggapan Komnas HAM yang tak kunjung datang, Ridwan mendengar beberapa penyandang disabilitas mengalami perlakuan yang sama dengan dirinya ketika naik pesawat. Karena itu, pada 8 Desember 2011, Ridwan mengajukan gugatan perdata ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
Di samping menggugat maskapai Lion Air atas perlakuan diskriminatif, Ridwan mempersoalkan PT Angkasa Pura II yang tidak menyediakan lift khusus bagi para difabel. Ridwan juga menggugat Kementerian Perhubungan yang dia anggap lalai dalam mengawasi maskapai dan pengelola bandara. Ridwan menuntut ketiga tergugat meminta maaf dan membayar ganti rugi Rp 100 juta.
Majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, pada 8 Desember 2011, meluluskan gugatan Ridwan. Hakim menyatakan Lion Air, Kementerian Perhubungan, dan PT Angkasa Pura II bersalah karena tidak menyediakan fasilitas khusus penyandang disabilitas. Hakim pun memvonis tergugat membayar ganti rugi Rp 25 juta dan memohon maaf di surat kabar nasional.
Ketiga tergugat kompak mengajukan permohonan banding atas vonis tersebut. Namun, pada 7 April 2014, majelis hakim Pengadilan Tinggi Jakarta memperberat hukuman denda menjadi Rp 50 juta. Alasan hakim banding: ganti rugi Rp 25 juta kurang memenuhi rasa keadilan karena terlalu kecil.
Upaya hukum Lion Air kandas di Mahkamah Agung, Selasa dua pekan lalu. Hakim agung Yakup Ginting, Hamdi, dan Abdul Gani Abdullah memutuskan menolak permohonan kasasi maskapai Lion Air. Juru bicara Mahkamah, hakim agung Suhadi, menerangkan bahwa putusan kasasi mengacu pada putusan Pengadilan Tinggi. Ihwal ganti rugi untuk Ridwan, menurut Suhadi, bisa ditanggung bersama atau dibayar oleh salah satu tergugat. "Siapa pun bisa," katanya.
Pengacara Ridwan, Heppy Sebayang, berharap bisa menerima salinan putusan MA secepatnya. "Kasus ini harus menjadi pelajaran bagi maskapai, Angkasa Pura, dan pemerintah," ucap pengacara yang juga penyandang disabilitas ini. Menurut Suhadi, Mahkamah Agung perlu waktu sekitar tiga bulan untuk mengoreksi dan mengirimkan salinan putusan kepada penggugat dan tergugat.
Manajer Humas Lion Air Group Andy M. Saladin mengatakan akan menunaikan kewajiban mereka sesuai dengan putusan Mahkamah Agung. Namun, karena ganti rugi bersifat tanggung renteng, Lion Air akan berunding dulu dengan tergugat lain. "Rencana persisnya harus saya cek dulu ke corporate," kata Andy.
Sama halnya dengan Lion Air, Kementerian Perhubungan menyatakan akan mematuhi putusan Mahkamah Agung yang berkekuatan hukum tetap alias in kracht. "Kami masih menunggu salinan putusan," ujar Kepala Pusat Komunikasi Kementerian Perhubungan Julius Adravida Barata.
Adapun Direktur Operasi dan Teknik Angkasa Pura II Djoko Murjatmodjo mengatakan tak bisa menanggapi putusan Mahkamah Agung. "Saya belum mendengar, jadi saya belum bisa berkomentar," kata Djoko, Kamis pekan lalu.
Nur Haryanto
Jaminan yang Terabaikan
UNDANG-UNDANG Penerbangan memberikan jaminan khusus bagi penumpang pesawat yang menderita sakit atau memiliki keterbatasan fisik. Faktanya, jaminan undang-undang tersebut kerap diabaikan.
Pasal 134 Undang-Undang Nomor 1
Tahun 2009
(1) Penyandang cacat, orang lanjut usia, anak di bawah usia 12 tahun, dan orang sakit berhak memperoleh pelayanan berupa perlakuan dan fasilitas khusus dari badan usaha angkutan udara niaga.
(2) Pelayanan berupa perlakuan dan fasilitas khusus paling sedikit meliputi:
a. pemberian prioritas tambahan tempat duduk;
b. penyediaan fasilitas kemudahan untuk naik ke dan turun dari pesawat udara;
c. penyediaan fasilitas untuk penyandang cacat selama berada di pesawat udara;
d. sarana bantu bagi orang sakit;
e. penyediaan fasilitas untuk anak-anak selama berada di pesawat udara;
f. tersedianya personel yang dapat berkomunikasi dengan penyandang cacat, lanjut usia, anak-anak, dan orang sakit;
g. tersedianya buku petunjuk tentang keselamatan dan keamanan penerbangan bagi penumpang pesawat udara dan sarana lain yang dapat dimengerti oleh penyandang cacat, lanjut usia, dan orang sakit.
(3) Pemberian perlakuan dan fasilitas khusus tersebut tidak dipungut biaya tambahan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo