Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PERDANA Menteri Inggris Theresa May tengah berkutat dengan sengkarut di dalam kabinetnya saat Komisi Pemilihan Umum mengeluarkan sebuah pengumuman yang mengejutkan. Komisi pada Selasa pekan lalu menyatakan bahwa Vote Leave, organisasi resmi yang mengkampanyekan keluarnya Inggris dari Uni Eropa (dikenal dengan "Brexit"), telah melanggar aturan pemilihan umum.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Penyelidikan Komisi juga menyimpulkan bahwa BeLeave, organisasi sayap Vote Leave yang menyasar pemilih muda, ikut menabrak hukum. Komisi menjatuhkan denda kepada pemimpin Vote Leave, David Halsall, dan pendiri BeLeave, Darren Grimes, masing-masing 61 ribu dan 20 ribu pound sterling (sekitar Rp 1,1 miliar dan Rp 375 juta). Keduanya juga dilaporkan ke polisi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Bob Posner, Direktur Keuangan Politik dan Regulasi Komisi Pemilihan Umum, mengatakan Komisi mengendus adanya penyelewengan dana kampanye yang dilakukan dua organisasi itu. "Kami menemukan bukti kuat bahwa mereka berkomplot, tidak mengumumkan kerja sama mereka, dan tidak mematuhi batas penggunaan dana kampanye," kata Posner kepada ABC News.
Posner mengatakan Vote Leave terbukti berkongkalikong dengan BeLeave, yang menghabiskan dana kampanye sekitar Rp 12,7 miliar. BeLeave menggarap duit itu dengan AggregateIQ, firma konsultan asal Kanada, yang mengolah data media sosial untuk mempengaruhi pemilih agar tak mencoblos "Tetap", yang berarti Inggris tetap di Uni Eropa.
BeLeave diam-diam menggarap platform kampanye yang seirama dengan Vote Leave. Padahal, menurut aturan, hal itu harus diumumkan. Problem lain adalah duit yang dikelola BeLeave merupakan limpahan dari dana kampanye Vote Leave yang telah melewati batas 7 juta pound sterling. "Pengeluaran Vote Leave mencapai 7,4 juta pound sterling," ujar Posner.
Di London, keputusan Komisi Pemilihan Umum ini berimbas ke kantor Theresa May di Downing Street Nomor 10. Sebab, Vote Leave, yang kampanyenya sukses mengajak mayoritas pemilih Inggris memilih hengkang dari Uni Eropa dalam referendum Brexit dua tahun lalu itu, digawangi dua pentolan Partai Konservatif, yaitu Michael Gove dan Boris Johnson.
Gove adalah Menteri Lingkungan di kabinet May dan Johnson bekas Menteri Luar Negeri. Johnson mundur dari jabatannya, Senin dua pekan lalu, karena berselisih paham dengan May dalam proses negosiasi Brexit. Johnson mengikuti langkah David Davis, eks Menteri Urusan Brexit, yang angkat kaki 16 jam sebelumnya dan memicu sengkarut dalam pemerintah May.
Bagi May, kasus yang menimpa Vote Leave memunculkan masalah baru. Temuan Komisi telah membikin parlemen gaduh. Kubu oposisi, yang dimotori Partai Buruh, mendesak pengusutan lanjutan terhadap Gove dan Johnson. Desakan juga muncul dari lingkup internal Partai Konservatif. Politikus senior partai itu, Sarah Wollaston, mengatakan temuan Komisi sangat serius dan dapat memicu referendum Brexit jilid kedua. "Referendum sebelumnya tidak aman," katanya.
Inggris sebenarnya tidak punya banyak waktu. Sejak memutuskan "bercerai" dari blok 28 negara Benua Biru, negeri Ratu Elizabeth II itu memiliki tak sampai tiga tahun untuk membereskan negosiasi dengan Brussels, tempat para petinggi Uni Eropa berkantor. Namun rakyat dan pemerintah Inggris terbelah dalam menyikapi bentuk hubungan mereka dengan Uni Eropa.
Setidaknya ada empat isu besar yang menyedot perhatian soal Brexit, yaitu imigrasi, kerja sama ekonomi dan perdagangan, zona pabean umum dan pasar tunggal, serta yurisdiksi hukum. Rakyat Inggris telah memilih keluar dari Uni Eropa agar negaranya kembali berdaulat penuh terhadap empat isu tersebut. Menurut kelompok pemilih ini, Inggris harus merdeka total, bebas mengatur lini kehidupan secara mandiri tanpa intervensi Brussels.
Di pemerintah, beda lagi ceritanya. Theresa May, yang menggantikan David Cameron, rupanya ingin menjaga hubungan dengan Uni Eropa di bidang tertentu, seperti perdagangan produk pertanian dan akses bagi migran terampil. Saat ini ada lebih dari 3 juta warga Uni Eropa yang tinggal dan bekerja di Inggris, dan sekitar 1 juta orang Inggris yang terserak di negara-negara Uni Eropa. Perempuan 61 tahun ini memastikan skenarionya masih memungkinkan Inggris untuk menggenggam kendali atas hukum, uang, dan perbatasan.
Namun May justru mendapat perlawanan sengit dari penggawa kabinetnya. David Davis, misalnya, menilai pendekatan May dalam negosiasi Brexit lembek. Davis, yang sebelumnya memotori kementerian baru urusan Brexit, menganggap May kurang tegas memperjuangkan kepentingan nasional Inggris. "Dia memberi terlalu banyak dan terlalu mudah," ucap Davis dalam surat pengunduran dirinya kepada May, seperti dikutip The Independent.
Davis termasuk kubu pro-Brexit garis keras bersama Johnson, Gove, Menteri Transportasi Chris Grayling, Menteri Perdagangan Global Liam Fox, Menteri Tenaga Kerja Esther McVey, dan Menteri Pembangunan Penny Mordaunt. Ada pula Andrea Leadsom, ketua majelis rendah parlemen. Mereka sejak awal getol berkampanye agar Inggris bercerai total dari Brussels.
Di kubu seberang, ada barisan Philip Hammond, David Gauke, Greg Clark, David Lidington, David Mundell, dan Claire Perry. Mereka penyokong Brexit "versi lunak", yang setuju pada kompromi May.
May, yang terjepit di antara dua kubu tersebut, membentuk gerbong sendiri berisi para loyalisnya, seperti Menteri Luar Negeri baru, Jeremy Hunt; pengganti Davis, Dominic Raab; Jaksa Agung Geoffrey Cox; dan Menteri Dalam Negeri Sajid Javid.
Pembangkangan kubu pro-Brexit garis keras mencuat seusai pertemuan kabinet di Chequers, kediaman perdana menteri di perdesaan Buckinghamshire, sekitar 65 kilometer dari Downing Street. Di kompleks seluas 400 hektare itu, 6 Juli lalu, May mengumpulkan 29 menteri dan pejabat lainnya untuk membicarakan cetak biru hubungan Inggris dan Uni Eropa.
Kepada anggota kabinetnya, May menyodorkan sebuah proposal rumit yang salah satunya membahas versi baru perdagangan bebas Inggris dan Uni Eropa. Proposal yang dituangkan dalam tiga lembar dokumen itu juga menawarkan solusi masalah perbatasan Irlandia Utara, bagian dari Kerajaan Inggris, dan Republik Irlandia, yang merupakan anggota Uni Eropa.
May mengatakan proposalnya ini sebenarnya menyuguhkan banyak keuntungan bagi kepentingan nasional Inggris. "Ini saatnya bersikap praktis dan pragmatis. Dukung rencana kami untuk membawa Inggris keluar dari Uni Eropa pada 29 Maret tahun depan dan menjalankan mandat rakyat Inggris," katanya kepada Sky News, Senin pekan lalu.
Alih-alih disambut gembira, proposal itu malah memicu amarah barisan garis keras menteri pro-Brexit. Dalam tempo 50 jam setelah dokumen itu diterbitkan, sembilan menteri mengundurkan diri. Di mata mereka, May mengkhianati rakyat Inggris, yang ingin merdeka seratus persen dari Brussels.
Kepada May, mereka menyodorkan beberapa amendemen untuk rancangan undang-undang perdagangan lintas batas itu. Jika May tak menurut, mereka mengancam mengajukan mosi tidak percaya, yang dapat melengserkan pemerintah. May tetap menolaknya meski posisinya mungkin akan terus digoyang dalam bulan-bulan mendatang.
Mahardika Satria Hadi (new Statesman, Express, The Week)
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo