Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Melawan Lupa Ihwal Liu Si

Generasi Cina yang lahir setelah 1989 nyaris tak mengetahui soal tragedi Tiananmen.

5 Juni 2018 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Generasi Cina yang lahir setelah 1989 nyaris tak mengetahui soal tragedi Tiananmen.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BEIJING - Lahir pada 1990, Ming mengaku tak pernah mendengar tentang pembantaian di Lapangan Tiananmen hingga ia duduk di bangku kuliah. Pemuda itu tak sengaja mendengar perbincangan teman-teman sekamarnya di asrama tentang insiden pada 4 Juni tersebut.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pembantaian ini merupakan sebuah topik yang disensor oleh pemerintah dan tak dapat diakses warga Cina biasa. Insiden ini tak pernah dibahas di media pemerintah Cina dan tak diajarkan di sekolah. Bahkan topik ini juga tabu untuk dibicarakan oleh keluarga Cina, termasuk keluarga Ming.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ming kemudian menggunakan peranti lunak untuk menembus sistem sensor Internet Cina, dan untuk pertama kalinya menyaksikan foto-foto insiden tersebut.

Ia tak dapat mempercayai matanya sendiri. "Saya pikir insiden ini sebagian benar, sebagian palsu," kata Ming, yang menyembunyikan nama lengkapnya, kepada laman situs berita Australia, ABC, kemarin. "Tapi, setelah mempelajari seluruh detail dari berbagai sumber dan menyaksikan dokumenternya, saya menyadari insiden ini benar-benar terjadi."

Kisah Ming bukanlah satu-satunya. Jurnalis Amerika Serikat keturunan Cina, Louisa Lim, yang menulis buku The People's Republic of Amnesia: Tiananmen Revisited pada 2015, menyebut generasi muda Cina nyaris tak mengenal sejarah pembantaian Tiananmen karena sensor luar biasa dari Beijing.

Lim menuturkan kepada The Guardian, saat mewawancarai sejumlah mahasiswa di sejumlah kampus di Beijing untuk bahan penulisan bukunya, dari 100 mahasiswa, hanya 15 orang yang mengenali foto "Pria Tank".

Sejumlah mahasiswa, kata Lim, justru menanyakan: "Apakah ini di Korea Selatan?" atau "Apakah ini di Kosovo?"

Seorang mahasiswi menanyakan soal buku yang ia tulis. Lim pun menjawab, "Ini tentang liu si (4 Juni)." Lim menuturkan, sang mahasiswi menatapnya kebingungan. "Apa itu 4 Juni? Saya tidak tahu."

Selain sensor ketat dan larangan untuk mengajarkannya di sekolah, setiap menjelang peringatan pembantaian Tiananmen, Beijing selalu memberangus para tokoh yang terlibat dalam insiden berdarah tersebut.

Beberapa hari sebelum peringatan ke-29 kali ini, otoritas Cina kembali memastikan agar pembangkang itu menghilang dari pandangan publik.

Bao Tong, bekas sekretaris pemimpin reformis Partai Komunis Cina Zhao Ziyang, telah dikunjungi aparat. Dalam wawancara dengan Radio Free Asia (RFA) pada akhir Mei lalu, Bao mengatakan aparat memerintahkannya untuk tidak menerima wawancara atau dia akan dibawa "berlibur" ke luar kota.

Otoritas Cina kerap membawa paksa orang-orang yang dianggap membangkang dalam perjalanan "berlibur" agar mereka tak dapat menyuarakan kritik terhadap rezim dan partai.

"Tahun lalu saya menjadi tahanan rumah menjelang 4 Juni. Tahun sebelumnya saya dibawa paksa ke Kunming, kota pedalaman di Yunna," ujar pria gaek itu.

Setiap penyebutan tentang pembantaian Lapangan Tiananmen--ketika militer diperintahkan untuk membantai ratusan, bahkan diperkirakan ribuan, pengunjuk rasa mahasiswa yang menyerukan reformasi demokratis-masih dianggap tabu di Cina.

Rezim Cina terus menyangkal telah membunuh para demonstran dan menyebarkan aparat sensornya untuk menghapus setiap penyebutan acara tersebut.

Sebuah kabel diplomatik rahasia Inggris yang dikeluarkan pada akhir tahun lalu mengungkapkan bahwa korban tewas setidaknya 10 ribu orang.

Bao bukanlah satu-satunya tokoh yang dibungkam menjelang 4 Juni. Zhang Xianling-salah seorang pendiri Tiananmen Mothers, kelompok dari keluarga korban tewas di Tiananmen-mengatakan aparat keamanan muncul di kediamannya di Beijing pada 28 Mei.

"Mereka datang agak terlambat tahun ini. Biasanya mereka sudah muncul sejak 21 Mei," tutur Zhang kepada RFA, sambil menambahkan seorang polisi tengah mengawasi dirinya. Ke mana pun ia pergi, perempuan tua itu diikuti oleh sedikitnya dua aparat.

Namun nasib paling nahas dialami Liu Xia, janda pembangkang peraih Nobel Liu Xiaobo. Dalam sebuah rekaman pembicaraan telepon yang dirilis pada Jumat pekan lalu, perempuan berusia 57 tahun itu mengatakan mencintai suaminya adalah "kejahatan", yang membuatnya menerima "hukuman seumur hidup".

Liu Xia berada di bawah tahanan rumah-meskipun tidak menghadapi dakwaan-sejak suaminya dianugerahi Hadiah Nobel Perdamaian pada 2010, sebuah langkah yang membuat marah Beijing.

Liu Xiaobo, salah seorang demonstran Lapangan Tiananmen 1989, meninggal tahun lalu ketika menjalani hukuman 11 tahun penjara karena terlibat dalam kasus "subversi". Dia pun menjadi penerima Nobel pertama yang meninggal di tahanan sejak era Nazi Jerman.

Dalam panggilan telepon emosional dengan teman dekatnya, penulis Cina Liao Yiwu, pekan lalu, Liu Xia mengatakan, "Mereka harus menambahkan baris ke konstitusi: 'Mencintai Liu Xiaobo adalah kejahatan serius'. Itu adalah hukuman seumur hidup. Mereka akan menahan saya di sini untuk melayani hukuman Xiaobo," kata Liu, di antara tangisannya. ABC | THE EPOCH TIMES | THE GUARDIAN | SCMP | SITA PLANASARI AQUADINI


Darah Tertumpah di Tiananmen

Setelah unjuk rasa mahasiswa selama beberapa pekan, militer Cina merangsek ke Lapangan Tiananmen pada 4 Juni 1989. Korban tewas diprediksi mencapai ratusan hingga 10 ribu orang.

Berikut ini linimasanya:
15 April 1989 -- Hu Yaobang, bekas pemimpin Partai Komunis, mangkat dalam usia 73 tahun. Hu berupaya membuat sistem politik Cina menjadi lebih terbuka dan menjadi simbol reformasi demokratis.
18-21 April 1989 -- Ribuan mahasiswa yang berduka berpawai ke Lapangan Tiananmen Square, menuntut pemerintah lebih demokratis. Selama beberapa pekan kemudian, demonstrasi menyebar ke berbagai universitas di berbagai kota.
13 Mei 1989 -- Lebih dari 100 demonstran mulai mogok makan di Tiananmen Square. Jumlah itu bertambah menjadi ribuan orang dalam beberapa hari.
19 Mei 1989 -- Jumlah demonstran di Lapangan Tiananmen menembus 1,2 juta orang. Sekretaris Jenderal Partai Komunis Cina, Zhao Ziyang, yang mendukung reformasi, memohon demonstran menghentikan unjuk rasa. Ini menjadi kemunculan terakhir Zhao yang kemudian menjadi tahanan rumah hingga wafat pada 2005.
20 Mei 1989 -- Perdana Menteri Li Peng, yang juga dikenal sebagai "Jagal Tiananmen", menerapkan hukum darurat. Tentara mulai dikerahkan meski belum diizinkan menembaki para demonstran.
4 Juni 1989 -- Sekitar pukul 01.00 pagi, pasukan Cina merangsek ke Lapangan Tiananmen. Hari itu mereka menembaki warga dan mahasiswa yang berada di lokasi, sehingga mengakhiri unjuk rasa. Hingga kini, jumlah resmi korban tewas tak pernah diumumkan.
5 Juni 1989 -- Seorang pria tak dikenal berdiri sendiri di jalan menghalangi laju tank-tank militer. Ia kemudian disebut sebagai "Pria Tank". Ia berada di sana selama beberapa menit sebelum ditarik oleh warga. CNN | SITA PLANASARI AQUADINI

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus