Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Membuka Jendela untuk Perempuan

Perempuan Arab Saudi untuk pertama kali berhak memilih dan dipilih. Meski masih simbolis, harapan agar seluruh hak perempuan diakomodasi semakin berkembang.

21 Desember 2015 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BAGI Haifa al-Hababi, menjadi kandidat dalam pemilihan dewan kota Arab Saudi pada dua pekan lalu merupakan pengalaman luar biasa. "Saya tidak dapat mengungkapkannya dengan kata-kata. Yang pasti, saya sangat bangga menjadi bagian dari sejarah ini," ucap perempuan 37 tahun itu dengan bungah dalam pesan elektronik kepada Tempo, Rabu pekan lalu.

Pemilihan kali ini menorehkan sejarah di negeri ultrakonservatif itu, karena untuk pertama kali perempuan memiliki hak memilih wakil mereka di 284 dewan kota. Sebanyak 979 perempuan di seluruh penjuru negeri, termasuk Haifa yang tinggal di ibu kota, Riyadh, juga memperoleh kesempatan langka bertarung dalam pemilihan dewan kota, bersaing dengan sekitar 5.000 kandidat laki-laki.

Mereka bertarung untuk duduk di 2.100 kursi dewan yangkekuasaannya dibatasi buat urusan daerah, seperti pengaturan jalan raya, taman umum, dan pengumpulan sampah. Walaupun kekuasaan mereka terbatas, anggota dewan kota dapat memberi nasihat kepada wali kota dan mengawasi anggaran daerah. Anggota dewan kota akan mulai bertugas pada 1 Januari 2016 dan menjabat selama empat tahun.

Kesempatan fenomenal ini, menurut aktivis perempuan Saudi, Hala al-Dosari, merupakan buah kerja keras selama satu dekade silam. "Ini adalah hasil dari jalan panjang sejak perempuan menuntut hak untuk terlibat dalam pemilihan dewan kota yang pertama kali digelar di Arab Saudi pada 2005," ujar Hala kepada Al Arabiya News.

Perjuangan ini terus bergulir dan diiniasi oleh Baladi Initiative—atau Gerakan Tanah Airku—yang diprakarsai Hatoon al-Fassi. Gerakan ini berusaha meluaskan kesadaran akan hak politik perempuan di Arab Saudi. Sejak 2010, mereka menggunakan Facebook untuk memperjuangkan dan mendidik perempuan dalam proses pemilihan umum. Tujuan mereka adalah hak perempuan untuk memilih dan dipilih dalam pemilu dewan kota pada 2011.

"Kemenangan bukan menjadi tujuan utama, tapi memberikan hak setara kepada perempuan sebagai warga negara adalah sangat penting," tutur Hatoon kepada The Telegraph, pekan lalu.

Namun upaya ini gagal karena tentangan dari kelompok ultrakonservatif sangat kuat. Pemimpin spiritual tertinggi di negeri itu, Abdul-Aziz ibn Abdullah al-Shaykh, menegaskan bahwa keterlibatan perempuan dalam politik, "Akan membuka pintu bagi setan." Raja Abdullah, yang sejatinya memiliki pemikiran progresif tentang perempuan, akhirnya mengalah pada tekanan kubu status quo. Tapi ia saat itu berjanji bahwa perempuan dapat memilih dan dipilih pada pemilu 2015.

Warisan dari Raja Abdullah, yang mangkat pada Januari lalu, itu pun terlaksana. Raja Salman, yang menggantikan Abdullah, mulai menggelar proses pemilihan dengan membuka pendaftaran bagi pemilih, termasuk perempuan, pada Agustus lalu.

Selama masa kampanye, Haifa—yang berprofesi sebagai dosen arsitektur di Universitas Prince Sultan—mengusung pesan positif tentang perubahan. Haifa mendesak para pemilik suara untuk memilih dan mengubah sistem yang berlaku selama ini. "Perubahan adalah hal yang pasti dalam kehidupan. Pemerintah memberi kami cara ini dan saya bertekad menggunakannya," katanya.

Isu tentang persoalan perempuan tentu menjadi fokus para kandidat perempuan. Ada yang berjanji akan memperpanjang waktu operasi tempat penitipan anak demi kepentingan ibu bekerja. Ada pula yang mengusulkan pembentukan gelanggang pemuda dan olahraga, penanganan sampah yang lebih baik, kota yang lebih hijau, hingga perbaikan jalan.

Masalah infrastruktur penting bagi perempuan di Arab Saudi karena dampaknya sangat signifikan bagi mereka. Harian Saudi Gazette pada Oktober lalu melaporkan beberapa ibu terpaksa melahirkan di dalam mobil karena jalan dari Desa Madrakah ke kota terdekat, Mekah, rusak parah. Rumah sakit terdekat hanya tersedia di kota suci itu.

Namun ketatnya aturan kampanye di Arab Saudi menyulitkan para kandidat perempuan, termasuk Haifa. Kandidat perempuan tidak boleh berkampanye secara langsung di depan pemilih pria. Mereka hanya diizinkan menyampaikan kampanye dari balik tabir dengan mengandalkan pengeras suara dan proyektor atau membiarkan pendukung serta saudara laki-laki mewakili mereka menyampaikan kampanye.

Jika nekat berbicara langsung dengan pria, para kandidat perempuan bisa terancam ditangkap polisi syariah. Padahal pria merupakan pemilik suara terbesar dibanding perempuan dalam pemilu. Komisi Pemilihan Umum Arab Saudi mencatat, dari total populasi 20 juta orang, sebanyak 1,74 juta pria memiliki hak suara. Sedangkan perempuan hanya sebanyak 130 ribu orang atau 10 persen dari total pemilik suara.

Rumitnya proses pendaftaran dan kesulitan transportasi membuat partisipasi perempuan dalam pemilu dewan kota ketiga di Arab Saudi kali ini sangat rendah. Arab Saudi adalah satu-satunya negara di dunia yang melarang perempuan menyetir kendaraan sendiri. Mereka dilarang bepergian ke luar rumah tanpa pendamping laki-laki, yang biasanya adalah kerabat, seperti suami atau ayah.

Walhasil, Haifa dan kandidat perempuan lain menggantungkan kampanye mereka pada media sosial. Haifa, yang sangat peduli terhadap tata kota Riyadh, menggunakan Snapchat dan Twitter untuk membagikan video dokumentasinya tentang infrastruktur yang buruk kepada para pemilih. Media sosial juga digunakan para pemilih untuk curhat dengan para kandidat.

Haifa berkisah tentang seorang perempuan tua yang curhat melalui Snapchat di ujung masa kampanye. "Sesudah mengeluarkan unek-uneknya, sang nenek mengaku menyesal karena dirinya tidak terdaftar. Dia menyebutkan, jika terdaftar, ia pasti akan memilih saya," ujar Haifa, mengenang momen paling menyentuh dalam kampanyenya itu.

Masa yang dinanti-nanti pun tiba. Pada Sabtu dua pekan lalu, pemilih perempuan berduyun-duyun mendatangi lokasi pemilihan yang terpisah dari para pemilih pria. Di kota metropolitan Jeddah, perempuan tiga generasi dari satu keluarga memilih bersama untuk pertama kali. Mereka adalah nenek, Naela Mohammad Nasief, yang telah berusia 94 tahun; anak, Sahar Hassan Nasief; dan cucu perempuan.

"Saat memasuki tempat pemilihan, saya merasa terharu. Ini seperti di film-film," tutur Sahar kepada The Associated Press seusai pemilihan. "Ini pengalaman paling berkesan seumur hidup saya."

Suara miring dari pemilih laki-laki tetap ada. Di luar tempat pemungutan suara di Riyadh, Abdullah al-Maiteb menegaskan bahwa peran perempuan bukan di ruang publik, melainkan di ruang keluarga. "Jika kami mengizinkan mereka berada di ruang publik, siapa yang akan membesarkan anak-anak kami?" ujarnya kepada The Telegraph.

Toh, tentangan dari kubu konservatif tak menghalangi antusiasme pemilih perempuan. Dari data yang diungkap Hamad al-Omar, juru bicara Komisi Pemilihan Umum Arab Saudi, kepada AP, sebanyak 106 ribu pemilik suara perempuan memilih dari total yang terdaftar 130 ribu orang. Walhasil, tingkat partisipasi perempuan dalam pemilihan dewan kota dua pekan lalu mencapai 82 persen. Sedangkan partisipasi pemilih pria hanya mencapai 44 persen.

Sebanyak 20 perempuan menorehkan tinta emas karena memenangi pemilihan anggota dewan kota di seluruh Arab Saudi. Meski hanya satu persen dari total jumlah kursi, kemenangan mereka tak diprediksi sebelumnya.

Di Qatif, basis pemeluk Syiah di Arab Saudi, Khadra al-Mubarak mengejutkan banyak pihak karena berhasil menduduki peringkat ketiga perolehan suara di wilayah itu. "Kemenangan ini bukan hanya milik saya, tapi juga milik seluruh perempuan di Arab Saudi," kata Khadra dengan sumringah kepada Saudi Gazette.

Khadra berjanji akan bekerja sekuat tenaga untuk memperbaiki kondisi di Qatif. Transparansi dan komunikasi yang lebih baik antara anggota dewan kota, wali kota, dan warga Qatif juga menjadi tujuannya. "Warga telah memberi amanah dan saya akan memastikan amanah ini tidak diingkari," Khadra menegaskan.

Sedangkan di wilayah ibu kota, yang konservatif, empat kandidat perempuan menang. Tapi Haifa bukan salah satunya. Rasa kecewa tentu saja dirasakan doktor arsitektur alumnus London University ini. Walau begitu, baginya, kesempatan untuk turut bertarung dalam pemilihan merupakan preseden positif bagi masa depan. "Saya berhubungan dengan banyak mahasiswi," ujar Haifa. "Menjadi kandidat adalah contoh nyata bagi mereka bahwa perempuan Arab Saudi memiliki kesempatan besar di masa depan."

Sita Planasari Aquadini (Reuters, Al Jazeera, Al Arabiya)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus