Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DI Aceh, hukuman cambuk berlaku untuk hampir semua pelanggaran oleh orang kebanyakan. Penganggur yang suka main gaple, kalau sedang sial ketahuan memasang taruhan, bisa terkena sabetan cambuk. Begitu pula pasangan yang dianggap berbuat mesum. Mereka bisa didera cambuk di depan khalayak.
Lain ceritanya dengan pelaku kejahatan luar biasa seperti korupsi. Sejak syariat Islam diberlakukan, belum ada satu pun peraturan daerah atau qanun yang mengharuskan hukum cambuk untuk koruptor. Sabetan cambuk sepertinya masih jauh dari punggung penggangsir uang negara.
Fakta itulah yang mendorong sejumlah anggota Komisi VII Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) mengusulkan terobosan hukum. Mereka mencoba menyelipkan usul hukuman cambuk bagi koruptor dalam Rancangan Qanun Penyelesaian Kerugian Pemerintah Aceh. "Kami melihat ada celah," kata Nurzahri, juru bicara Komisi VII, Selasa pekan lalu.
Hanya, ikhtiar Nurzahri dan kawan-kawan tidak berjalan mulus. Dalam rapat paripurna DPRA, 4 Desember 2015, semua fraksi kompak mengabaikan usul Komisi VII. Anehnya, tak ada satu pun fraksi yang menjelaskan alasan ketidaksetujuan mereka. "Pokoknya tidak sepakat saja," ujar Nurzahri, yang kecewa terhadap sikap koleganya.
Meski hukuman cambuk baru disampaikan dalam rapat paripurna pada awal bulan ini, Nurzahri dkk telah merumuskan hukuman itu bagi koruptor sejak September lalu. Kala itu, Rancangan Qanun Penyelesaian Kerugian Pemerintah Aceh mulai rutin dibahas di DPRA. Qanun tersebut dirancang untuk memaksimalkan pengembalian kerugian pemerintah Aceh akibat korupsi atau pelanggaran yang melibatkan aparat.
Nah, oleh Komisi VII, rancangan qanun itu dianggap terlalu lunak terhadap aparatur pemerintah yang melakukan korupsi. Soalnya, tak ada satu pun sanksi yang bisa membuat jera. Sanksi terberat dalam rancangan qanun berisi 37 pasal itu hanya mengganti kerugian yang diderita pemerintah.
Pasal 26 ayat 1, misalnya, menyebutkan pegawai yang bertanggung jawab atas kehilangan aset milik pemerintah Aceh dapat menggantinya dalam bentuk uang atau barang, sesuai dengan cara penggantian yang telah ditetapkan. Adapun pasal 36 ayat 1 menyatakan aparatur pemerintah yang terbukti menyebabkan kekurangan perbendaharaan dan kerugian bagi pemerintah Aceh bisa dikenai hukuman disiplin berupa pembebasan dari jabatan.
Sejumlah anggota Komisi VII yang membidangi urusan keagamaan lantas merancang hukuman yang mereka anggap bakal membuat kapok. Mereka merumuskan dua macam sanksi: cambuk 100 kali dan pemiskinan dengan merampas harta hasil korupsi. "Keduanya sesuai dengan Qanun Jinayat," kata Nurzahri. Qanun Jinayat adalah semacam kitab induk hukum pidana yang mengacu pada syariat Islam.
Melengkapi hukuman penjara seperti diatur Undang-Undang Antikorupsi, menurut Nurzahri, hukuman cambuk bagi koruptor diharapkan bakal membuat pelakunya jera. Apalagi, di Aceh, hukuman cambuk dilaksanakan secara terbuka. "Kalau ditonton orang banyak, koruptor pasti malu. Itu juga bisa jadi pelajaran bagi yang lain," ujar Nurzahri.
Dalam pembahasan di Komisi VII, usul tersebut mendapat dukungan penuh dari semua anggota. "Tak ada penolakan. Tak ada perdebatan," ujar Nurzahri. Namun, di luar dugaan Nurzahri dkk, ketika usul mereka sampaikan dalam rapat paripurna DPRA, semua fraksi menanggapinya dengan dingin.
Tak ada yang mendebat sengit usul Komisi VII itu. Fraksi-fraksi hanya mengabaikannya. Di akhir sidang paripurna, semua fraksi sepakat mengesahkan Qanun Penyelesaian Kerugian Pemerintah Aceh minus hukuman cambuk.
Andai saja terjadi perdebatan di rapat paripurna, Nurzahri dkk sudah siap membawa usul mereka ke Badan Musyawarah DPRA. Dengan begitu, kelompok pengusul cambuk untuk koruptor punya waktu lebih panjang buat melobi rekan-rekan mereka. "Karena didiamkan seperti itu, susah bagi kami untuk mempertahankan usul," ucap Nurzahri.
Ketua Badan Legislasi yang juga anggota Badan Musyawarah DPRA, Usman Al-Farlaky, menyebutkan usul cambuk dari Komisi VII salah alamat. Alasannya, usul itu dimasukkan ke qanun yang berfokus pada penyelesaian tunggakan kerugian yang dialami pemerintah Aceh. Semestinya, menurut dia, usul seperti itu dimasukkan ke qanun tentang tindak pidana korupsi. "Kalau mau serius, usulkan dalam qanun khusus," kata Usman.
Juru bicara Fraksi Partai Keadilan Sejahtera, Bardan Sahidi, berpendapat senada. Menurut dia, Qanun Penyelesaian Kerugian Pemerintah Aceh isinya mengatur tata kerja bendahara dan cara pengembalian ganti rugi. "Itu qanun yang soft. Tak tepat memasukkan hukuman cambuk di situ," ujar Bardan.
Gagal menyelipkan hukuman cambuk dalam Qanun Penyelesaian Kerugian Pemerintah, Nurzahri dkk mengubah strategi. Mereka kini menggandeng Dinas Syariat Islam Aceh untuk mengkaji qanun khusus pidana korupsi. Kepala Dinas Syariat Islam Syahrizal Abbas menyambut baik ajakan Komisi VII DPRA. "Kami siap mengkaji kemungkinan memasukkan hukuman cambuk," kata Syahrizal, Kamis pekan lalu.
Istman M.P., Adi Warsidi (Aceh)
Darurat Serambi Mekah
JURU bicara Komisi VII Dewan Perwakilan Rakyat Aceh, Nurzahri, mengungkapkan salah satu pemicu usul hukuman cambuk bagi koruptor adalah maraknya korupsi di provinsi dengan julukan Serambi Mekah itu. Bahkan, pada 2012, Aceh sempat disebut sebagai wilayah darurat korupsi dengan jumlah kasus korupsi mendekati angka 100. Sempat turun pada 2013, kasus korupsi yang terungkap kembali naik pada 2014.
2012
- Jumlah kasus: 80 kasus
- Jumlah tersangka/terdakwa: 159 orang
- Kerugian negara: Rp 275,428 miliar
- Lembaga penyumbang korupsi terbesar: Eksekutif, Rp 259 miliar
- Obyek korupsi terbesar: Keuangan daerah, Rp 230 miliar
- Modus korupsi terbesar: Penggelapan, Rp 233 miliar
- Kabupaten terkorup: Aceh Utara, Rp 224 miliar
2013
- Jumlah kasus: 61 kasus
- Jumlah tersangka/terdakwa: 116 orang
- Kerugian negara: Rp 513,507 miliar
- Lembaga penyumbang korupsi terbesar: Badan daerah, Rp 253 miliar
- Obyek korupsi terbesar: Keuangan daerah, Rp 480 miliar
- Modus korupsi terbesar: Markup, Rp 261 miliar
- Kabupaten terkorup: Sabang, Rp 249 miliar
2014
- Jumlah kasus: 87 kasus
- Jumlah tersangka/terdakwa: 154 orang
- Kerugian negara: Rp 673 miliar
- Lembaga penyumbang korupsi terbesar: Eksekutif
- Obyek korupsi terbesar: Infrastruktur, Rp 513 miliar
- Modus korupsi terbesar: Markup, Rp 329 miliar
- Kabupaten terkorup: Sabang, Rp 312 miliar
Sumber: Masyarakat Transparansi Aceh
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo