Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Iring-iringan bus yang mengangkut tentara pemberontak Suriah dan keluarga mereka tiba di Provinsi Idlib di barat laut negara itu pada Kamis dua pekan lalu. Mereka tiba setelah semalaman menempuh perjalanan dari Distrik Al-Waer di Kota Homs, yang berjarak sekitar 150 kilometer, di selatan.
Di dalam beberapa bus, terlihat para pemuda duduk sembari merangkul senapan. Di bus lain, tampak para perempuan bersama anak-anak mereka. Ada pula sejumlah bus yang penumpangnya tidak terlihat karena tirai-tirai jendelanya tertutup rapat.
Hari itu, 15 bus berduyun-duyun menuju Idlib, sebuah provinsi yang menjadi salah satu kantong tentara pemberontak, termasuk kelompok militan Front Al-Nusra, yang dekat dengan Al-Qaidah. Bus-bus eksekutif itu membawa sedikitnya 300 tentara dan 400 anggota keluarga mereka.
"Mereka meninggalkan daerah terakhir di Homs yang menjadi pusat pemberontakan terhadap Presiden Bashar al-Assad," kata Rami Abdulrahman, Direktur Syrian Observatory for Human Rights, organisasi nirlaba yang memantau perang saudara di Suriah.
Arus "mudik" serdadu pemberontak itu terjadi bukan karena mereka menyerah kalah. Bukan pula lantaran mereka menang pertempuran melawan rezim Assad. Penarikan dari Al-Waer ini terjadi setelah kedua kubu yang bertikai sepakat berdamai. Mereka setuju tidak saling memuntahkan peluru, setidaknya untuk sementara waktu.
Pemerintah Kota Homs dan kelompok pemberontak telah sepakat melakukan gencatan senjata lokal pada September lalu. Saat itu, Perserikatan Bangsa-Bangsa menengahi pertemuan kedua kubu menyusul peningkatan serangan darat militer Suriah ke kawasan utara kota itu. Pasukan Assad datang diiringi kawan baru mereka: jet-jet tempur Rusia.
"Daerah Al-Waer akan kembali aman. Tidak akan ada lagi baku tembak," ujar Wali Kota Homs Talal al-Barazi, seperti diberitakan Haaretz. Barazi merupakan tokoh yang berperan sentral dalam negosiasi dengan tentara pemberontak.
Gencatan senjata lokal tidak hanya terjadi di Homs, kota terbesar ketiga di Suriah. Pada akhir September lalu, Iran dan Turki membantu kedua kubu berdamai di Kota Zabadani, dekat perbatasan Libanon. Iran, yang membela Assad, dan Turki, yang mendukung pemberontak, juga berperan dalam gencatan senjata di dua desa di Idlib.
Namun, dari gencatan senjata di sejumlah daerah, kesepakatan Al-Waer merupakan contoh yang paling sukses. Menurut seorang diplomat PBB yang memantau konflik Suriah, kedua kubu di Al-Waer bernegosiasi langsung tanpa melibatkan pihak dari negara lain. "Ada 40-50 gencatan senjata lokal menunggu dibahas," katanya.
Sebaliknya, oposisi menganggap perjanjian Al-Waer sebagai pil pahit. Sebab, bagi mereka, Homs merupakan "ibu kota revolusi". Homs ibarat miniatur perang saudara yang mendera sekujur Suriah. Padahal kota berpenduduk 700 ribu jiwa ini sebelum konflik disebut mikrokosmos Suriah, tempat penganut Sunni, Syiah, Alawit, dan Kristen hidup damai.
"Semua orang telah menderita di Homs," ujar Wali Kota Barazi kepada The Guardian. "Itu sebabnya 95 persen warga di sini mendukung gencatan senjata di Al-Waer."
Bagi PBB, gencatan senjata menjadi opsi paling efektif untuk mengakhiri konflik di Suriah. Sejak meletus pada 2011, perang saudara di negara itu telah menewaskan 250 ribu orang dan memicu gelombang jutaan pengungsi ke Turki dan Eropa. "Kami berharap gencatan senjata bisa meluas ke penjuru negeri," kata Jessy Chahine, juru bicara utusan khusus PBB untuk Suriah, Steffan de Mistura, kepada Reuters.
Presiden Amerika Serikat Barack Obama sependapat dengan PBB. Menurut dia, tentara pemberontak semakin terancam setelah Assad mendapat dukungan dari Presiden Rusia Vladimir Putin. Rusia melancarkan serangan udara di Suriah sejak akhir September lalu. Mereka berdalih serangan itu menyasar kelompok militan Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS). Namun Amerika menuding Rusia sebenarnya membombardir kelompok pemberontak.
Di beberapa daerah, gencatan senjata memang berbuah manis. Namun hal itu tidak otomatis mengubah sikap Assad. Ia berkukuh menolak bernegosiasi dengan kelompok pemberontak. "Kami memerangi mereka agar mereka menyerah dan bergabung lagi dengan pemerintah atau kembali ke kehidupan normal mereka," ujar Assad. "Ini satu-satunya cara untuk berurusan dengan pemberontak di Suriah."
Bulan lalu, delegasi dari 17 negara yang tergabung dalam International Syria Support Group bertemu dan duduk satu meja di Wina, Austria. Mereka menyusun rencana rinci ihwal transisi politik di Suriah, sebagai upaya untuk menyetop konflik di negara itu. Perwakilan dari Turki, Arab Saudi, Rusia, Amerika, dan Qatar turut hadir. Mereka mempersiapkan perundingan damai antara Assad dan oposisi pada awal tahun depan.
Dua pekan berselang, tokoh-tokoh oposisi Suriah, dari dalam negeri dan di pengasingan, berkumpul untuk pertama kali di Riyadh, Arab Saudi. Mereka antara lain berasal dari Dewan Nasional Suriah (SNC), Gerakan Negara Suriah (SSM), dan Badan Koordinasi Nasional untuk Perubahan Demokratis (NCBDC).
Pertemuan itu juga diikuti komandan militer dari faksi-faksi pemberontak, dari yang berhaluan sekuler hingga Islam. Di antara mereka ada Ahrar ash-Sham dan Tentara Pembebasan Suriah (FSA). Ahrar ash-Sham merupakan kelompok pemberontak muslim yang menguasai wilayah barat laut Suriah. Kelompok yang dekat dengan Al-Nusra ini didukung Turki dan Qatar. Adapun FSA mendapat dukungan militer dari Amerika dan Arab Saudi.
Para pentolan oposisi dan kelompok pemberontak membentuk sebuah koalisi oposisi bernama Koalisi Nasional Suriah (SNC), yang diketuai Khaled Khoja. Agenda pertama mereka adalah membahas kesepakatan menjelang perundingan damai dengan Assad.
Di Riyadh, perbincangan sempat mandek saat wakil dari Ahrar ash-Sham memilih angkat kaki. Absennya faksi milisi Kurdistan, yang menguasai sebagian besar wilayah utara Suriah, juga menambah rumit negosiasi. "Tapi mereka akhirnya sepakat menjadikan Suriah lebih demokratis dengan cara mengakhiri kekuasaan Assad dan rezimnya," demikian dilaporkan Deutsche Welle.
Opsi menjatuhkan Assad sebenarnya bukan hal baru. Amerika dan koalisi negara Barat sejak awal selalu mendesak Assad agar lengser. Assad dicap sebagai biang kerok konflik di Suriah. Namun pilihan ini menjadi simpul keruwetan karena dua sekutu utama pemerintah Suriah, Rusia dan Iran, menyatakan siap pasang badan untuk Assad.
Amerika menempuh jalan memutar, kali ini dengan "memanfaatkan" ISIS. Seperti dilaporkan Newsweek, Amerika mendekati Rusia dan mengajak negara itu bersama-sama memerangi terorisme. Menteri Luar Negeri John Kerry pun dikirim ke Moskow untuk menemui Putin dan Menteri Luar Negeri Sergei Lavrov pada Selasa pekan lalu.
Pertemuan Kerry dan Putin tak sepenuhnya mulus. Ia gagal membujuk Putin agar bersedia meminta Assad berubah pikiran. Amerika dan Rusia tetap terbelah soal nasib Assad. Namun mereka sepakat menjadikan ISIS sebagai musuh bersama. Kedua negara juga sepaham untuk segera mengakhiri konflik di Suriah. Dengan begitu, dua negara tersebut dan sejumlah negara lain, seperti Prancis dan Inggris, lebih berfokus memerangi ISIS.
Menurut Kerry, langkah awal untuk mendorong perundingan damai adalah mengidentifikasi semua kelompok pemberontak di Suriah. Adapun kelompok bersenjata di luar itu dikategorikan sebagai organisasi teror. "Kami setuju bahwa ISIS dan Al-Nusra adalah kelompok teroris. Mereka tidak akan dilibatkan dalam perundingan," ujarnya.
Strategi Amerika dan Rusia ini menuai kritik keras dari koalisi oposisi Suriah. "Jika (Amerika dan Rusia) ingin memerangi terorisme, mengapa mereka tidak menyingkirkan masalah utama, yaitu pemerintah yang sehari-hari menyerang warga sipil di Suriah?" kata Wakil Presiden Koalisi Nasional Suriah Nagham al-Ghadri kepada Al Jazeera.
Menurut Al-Ghadri, keputusan Amerika dan Rusia untuk memerangi ISIS hanya akan berakhir sia-sia selama kedua negara itu belum satu suara tentang nasib Assad. "Alih-alih menyingkirkan akar masalah (Assad), mereka malah ingin membasmi produk yang dihasilkan rezim Suriah (ISIS)," ujarnya.
Assad justru menuding Washington dan sekutunya, Arab Saudi, ingin "kelompok teroris" bergabung dalam perundingan damai. "Bagi kami, di Suriah, setiap orang yang memegang senapan mesin adalah teroris," kata Assad merujuk pada cap teroris yang disematkannya terhadap kelompok-kelompok pemberontak Suriah.
Mahardika Satria Hadi (Haaretz, Newsweek, Reuters, The Guardian, UN, DW, Al Jazeera)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo