DULU ada Guernica dan My Lai dan Treblinka. Kini tempat
pembantaian manusia bertarnbah: Sabra dan Shatila, dua kamp
pengunsi Palestina di Beirut Barat. Di sana selama 36 jam
penduduk sipil Palestina jadi sasaran pembunuhan, mulai Jumat
pagi hingga Sabtu siang, 18 September.
Seluruh dunia marah. DK PBB segera bersidang hari Ahad dan dalam
11 jam secara bulat mendukung resolusi mengecam pembantaian
tersebut. Pada hari yang sama, seorang jubir dari apa yang
menamakan dirinya sebagai "Front Pembebasan Libanon dari Bangsa
Asing" lewat telepon kepada pers mengaku bertanggung jawab atas
pembunuhan di Sabra dan Shatila. Ia bahkan menegaskan hal itu
akan berlanjut sebagai perlawanan terhadap kehadiran semua
bangsa asin di wilayah Libanon.
Sebuah penjelasan yang angkuh dan dingin, untuk sebuah
pemandangan yang mengerikan di Sabra dan Shatila. Di sana mayat
manusia bergelimpangan sepanjang jalan, bersisian dengan
reruntuhan rumah penduduk. Laporan reorter AP G.G. Labelle
menyebutkan bagaimana potongan tangan dan kaki bertonjolan ke
segala arah, serpihan daging terlontar sia-sia dan wajah-wajah
tanpa nama membengkak di panggang sinar surya. Timbunan itu
mulai membusuk dan dikerubungi lalat.
Labelle dan rekannya William Foley melihat bekas-bekas buldoser
di tanah sekitarnya. Diduga para pelaku pembunuhan kembali lagi
sesudah melakukan pembantaian, berusaha menimbun jenazah itu
dengan puing-puing, sampah dan kotoran.
Dari 100 jenazah yang sempat diperiksa, diketahui bahwa
orang-orang malang itu kebanyakan ditembak langsung pada kepala
atau punggung mereka. Aksi itu telah membaat 1.000 nyawa atau
lebih. Korban terbesar di Shatila. Menurut radio Libanon, 3 hari
sebelumnya pasukan Israel telah menetapkan daerah Sabra, Shatila
dan Fakhani, ketiganya pemukiman pengungsi Palestina sebagai
daerah militer terlarang, tanpa menyehutkan alasannya.
Sesudah evakuasi pejuang PLO yang terakhir berangkat 1 September
silam, Beirut Barat yang semula diamankan oleh pasukan
multinasional, kemudian diawasi oleh tentara Libanon. Ini sesuai
dengan jamirlan Israel tatkala negosiasi dengan Philip Habib:
bahwa tentara Israel tidak akan memasuki Beirut Barat. Jaminan
itu pula yang membulatkan tekad Arafat ketika meninggalkan kota
itu.
Tapi seperti biasa Israel melanggar kata-katanya sendiri. Ketika
upacara pemakaman Presiden terpilih Bashir Gemayel berlangsung
dengan khidmat di sebuah gereja di Bikfaya, 20 km di timur
Beirut, ledakan 'bom Israel kembali menggelegar, menggoyahkan
sendi-sendi gencatan senjata. Rabu siang 15 September, pasukan
tank dan kendaraan lapis baja Israel menyerbu ke Beirut Barat
dari 3 jurusan selatan, tenggara dan timur. Gerak maju ini
dibantu oleh penembakan peluru kendali dan roket ke beberapa
sasaran tertentu di Beirut Barat, sementara kapal kapal Israel
meroket wilayah pintai.
Pasukan sukarela sayap kiri Libanon melakukan perlawanan
kecil-kecilan, bisa jadi karena persenjataan mereka minim
sekali: tinggal granat peluncur roket dan senapan mesin. Tanpa
kesulitan berIrti Israel menduduki posisi-posisi penting di
Beirut Barat, satu kelancangan yang sejak mula dikhawatirkan
Arafat, Reagan dan banyak pihak.Tindakan itu menurut sebuah
komunike Israel ùlilakukan "untuk mencegah terjadinya hal-hal
yang serius." Tapi justru yang lebih serius terjadi, sebuah
pembantaian dahsyat yang mungkin pada gilirannya kelak akan
melahirkan pemimpin tipe Begin dan Ariel Sharon di kalangan Arab
Palestina. Apakah terhadap kemungkinan seperti ini dunia masih
akan tetap mengatakan "kami tidak tahu"?
SEBELUM menemukan jawabannya, baiklah ditelusuri peristiwa demi
peristiwa. Bermula dari tragedi Bashir Gemayel, Presiden
terpilih Lihanon yang tewas bersama 26 tokoh senior Partai
Phalangis akibat ledakan bom 200 kg di markas mereka di Beirut
Timur. Peristiwa berdarah ini sampai kini masih terselubung
kabut misteri. Terjadi Selasa 14 September, ledakan itu
merupakan usaha pembunuhan ketiga atas diri Bashir Gemayel.
Usaha pembunuhan pertama tahun 1970 dapat digagalkan. Yang kedua
Februari 1979: Bashir lolos tapi putrinya yang berusia 18 bulan
tewas seketika.
Adapun pada hari Selasa yang naas itu, Gemayel yang semestinya
dilantik sebagai presiden 23 September, sedang memimpin sidang
tetap Partai Phalangis yang di Libanon terkenal juga dengan nama
Kataeb. Sidang mengambil tempat di lantai bawah, namun bom yang
mengandung 200 kg peledak bukan saja telah menewaskan sekian
banyakorangtapi juga merobohkan gedung Partai yang bertingkat
tiga. Memang, satu rencana pembunuhan yang luar biasa.
Korban yang tewas sulit dikenali, kecuali lewat cincin kawin
mereka. Tubuh Gemayel baru dapat digali hampir 7 jam sesudan
ledakan.
Menanggapi pembunuhan seperti ini, yang sebenarnya bukan hal
baru dalam sejarah kekerasan di Libanon, seorang profesor
berkata, "Kematian Gemayel menenggelamkan separuh negeri ini
dalam putus asa, separuhnya lagi dalam teror." PM Shafik Wazzan
menuduh para pembunuh Gemayel sebagai komplotan penjahat yang
menentang Libanon justru pada saat negeri ini berusaha
menyatukan kekuatannya. Presiden AS Ronald Reagan mengutuk
pembunuh Gemayel sebagai "pengecut yang melakukan kejahatan
terhadap Libanon dan usaha perdamaian di Timur Tengah." PM
Israel Begin mengetok kawat pada Pierre Gemayel, ayah Bashir,
berbunyi, "putra anda adalah patriot besar dan pejuang berani
untuk kemerdekaan dan kebebasan Libanon."
Yasser Arafat mengutarakan reaksi juga. Waktu itu ia masih
berada di Roma dalam rangka menghadiri sidang Interperlemen dan
juga berembuk dengan Paus Johanes Paulus II (lihat Solideo dan
PLO). Arafat langsung mempersalahkan AS dan Israel sehubungarl
dengan kematian Gemayel. Ia mengatakan kekhawatiran bahwa itu
akan dijadikan alasan untuk serangan Israel ke Beirut Barat.
Memang benar itulah yang terjadi.
Arafat mengulangi pendapat itu kemudian di Damaskus, tempat ia
membahas nasib pengungsi Palestina di Sabra dan Sathila dengan
pucuk pimpinan tertinggi PLO dan kemudian denan Presiden Suriah
Hafez Assad. Lebih mengejutkan lagi karena Arafat jelas menuding
AS sebagai dalang pembantaian itu. Berdasarkan keterangan para
saksi mata agaknya tidak sulit benar menebak siapa pelaku
pembantaian dan siapa pula dalangnya.
Yang mungkin lebih sulit ialah menentukan pembunuh Bashir
Gemayel meskipun bekas Presiden Libanon Camille Chamoun, 82
tahun, berkata, "Di Libanon siapa musuh siapa, jelas adanya. Di
sini orang tidak perlu menjadi nabi untuk mengetahui lawan dan
kawan." Namun ketika didesak, Chamoun segera berlalu dan tutup
mulut.
Musuh-musuh Bashir Gemayel memang tidak sedikit. Dan dalam
daftar pembunuhnya adalah wajar bila tercantum nama-nama
penting, mulai dari Mossad dinas rahasia Israel, intel Suriah,
para fanatik Muslim, gerilyawan Palestina sampai pada sesama
kaum Nasrani seperti keluarga (bekas) Presiden Suleiman Franjieh
dan keluarga (bekas) Presiden Camille Chamoun.
Gemayel pernah dituduh sebagai boneka Israel--antara lain sejak
kunjungannya pertama kali ke Israel tahun 1978. Tapi ternyata
pula kemudian-sesudah invasi Israel ke Libanon-- Gemayel yang
terpilih sebagai presiden diberitakan tidak bersedia "ditekan"
oleh PM Menachem Begin untuk segera meneken perjanjian dengan
Israel.
Dalam wawancara Time, Gemayel mengatakan bahwa Libanon akan
tetap jadi bagian dari masyarakat dan Liga Arab. Ia punya
harapan akan terbentuknya sebuah Tentara Libanon yang tunggal
sebagai jaminan untuk keamanan negeri itu dan kawasan di
sekitarnya. Di situ ia menandaskan semua pasukan sukarela harus
bubar, termasuk pasukan Phalangis. Sesudah itu tercapai dan
sesudah semua pasukan asing, termasuk Israel, keluar dari bumi
Libanon, saat itu barulah Gemayel bersedia bicara tentang
perJanlan damai.
Kekerasan hati dan keteguhan sikap, Presiden terpilih itu
tercermin langsung dalam wawancara itu. Ia terlalu cepat membuka
kartunya, satu sikap yang dipandang berbahaya, mungkin di mata
Begin, Sharon, atau musuh-musuh lain yang berusaha menciptakan
peluang baru. Dan pada hari Selasa naas di markas Phalangis itu
peluang baru tercipta dalam bentuk ledakan bom seberat 200 kg.
Ketika seluruh penduduk Libanon masih terhenyak dalam dukacita
atas kematian Gemayel, pasukan Israel segera menangkap peluang
itu dengan penyerbuan Beirut Barat.
Ada 2 hal yang perlu dicatat sehubungan dengan pembunuhan
Gemayel dan penyerangan Israel. Pertama, ketidakpuasan Begin
atas evakuasi PLO. PM Israel itu menuduh pasukan multinasional
bekerja tidak hati-hati, hingga ia yakin sekitar 1.000-2.000
"teroris" PLO masih berkeliaran di Beirut Barat. Meskipun jumlah
itu tidak ada artinya dibandingkan 70.000 tentara Israel yang
memagar Libanon kini, namun dalam jangkauan pikiran yang rada
pendek, Begin bersikeras PLO harus segera ludas tuntas dari
Libanon. Kedua, dalam pertempuran puncak rahasia Begin-Gemayel
di Nahariya (1 September), Begin mengusulkan sebuah perjanjian
perdamaian tapi ditolak. Gemayel berpendapat proses itu bisa
berjalan wajar, sementara ia condong memperhitungkan tekanan
pasukan Suriah dan perbaikan hubungan dengan golongan Muslim di
negerinya.
Dipacu oleh kemarahan Begin yang sangat terhadap Presiden Ronald
Reagan dengan prakarsa perdamaian AS, ditambah lagi oleh opini
dunia yang semakin memojokkannya, Israel tanpa buang waktu
membuka front baru. Sehari sebelum Gemayel terbunuh, Israel
melancarkan serangan udara terhadap posisi Suriah di timur
Libanon. Ini dikatakannya sebagai balasan atas serangan Suriah
dan PLA yang terjadi sampai 98 kali di Lembah Bekaa, menewaskan
12 tentara Israel, melukai 20 dan menciduk 9 prajuritnya.
Keesokan harinya, 55 tank Israel melaju ke aris gencatan
senjata yang memisahkan posisi pasukan Israel dan Suriah di
Lembah Bekaa. Duta perdmaian AS yang baru Morris Drapel tagesa
meninggalkan Washington ke Timur Tengah untuk mencari jalan
keluar y ng pantas bagi pengunduran pasukan Suriah dan Israel
dari bumi Libanon.
Hal ini tidaklah mudah, karena pasuhn Suriah yang dulu diundang
masuk ke Libanon sebagai penyangga perdamaian negeri itu, tidak
mau kehilangan .muka kalau sampai harus angkat kaki lebih dulu.
Diperkirakan oleh sumber militer Israel, Suriah menempatkan
30.000 tentaranya berikut 1.200 tank, puluhan ribu senjata
ringan, ribuan ton amunisi, 1.181 senjata antitank, 202 mortir,
76 artileri dan 161 senjata penangkis serangan udara di Lembah
Bekaa. Di samping itu masih 10.000 pasukah Suriah dengan 300
tank berjagajaga sepanjang perbatasan Libanon. Menurut peabat
pers Gedung Putih Larry Speakes, 2 hal yang akan dibahas Draper
dalam lawatannya. Yaitu: peredaan ketegangan dan berusaha
memperkuat kedaulaun pemerintah Libanon. "Tapi bentrokan yang
terjadi telah merusak proses perdamaian itu," katanya.
SEKARANG ini, tewasnya Gemael dan pembantaian di Sabra dan
Shatila boleh dikatakan telah merusak banyak hal. Namun paling
rusak dari semua adalah citra Begin di mata dunia. Tatkala DK
PBB hari Ahad mengecarn pembantaian, Israel secara resmi juga
mengutuk perbuatan itu dan tanpa merasa berdosa menyatakan bahwa
pasukannya justru telah mencegah pasukan Phalangis agar tidak
membunuh pengungsi lebih banyak. Pernyataan ini secara implisit
mengakui kesaksian Israel akan pembantaian yang dilakukan
Phalangis. Masalahnya kini, sampai sejauh mana anak-anak Ariel
Sharon terlibat, sampai sehitam apa dosa mereka. Kira-kira sama
dengan holocaust di Auschwitz dan Treblinka?
Ketika pasukn Israel sibuk menge bom sasaran mereka di Beirut
Barat, pasukan Phalangis pada hari Jumat menutup jalan masuk ke
kamp pengungsi Sabra dan Shatila. Tindakan ini disaksikan
diam-diam oleh pasukan Israel yang mendekam di posisi ketinggian
di atas tank dan kendaraan angkut personil mereka. Keterangan
yang dapat dikumpulkan dari para wartawan, dokter dan diplomat
sampai pada kesimpulan bahwa pasukan Israel berada di dekat kamp
pengungsi Palestina itu ketika pembantaian terjadi. Mereka juga
terlihat berbincang-bincang dengan pasukan Phalangis pagi
keesokan harinya di pintu masuk kamp itu.
Keterlibatan Israel terbukti dari jejak konvoi truk yang jelas
lnembekas nlenunjukkan gerakan melalui pos israel menuju ke
Shatila. Dua pegawai rumah sakit Gaza berkebangsaan Inggris
menceritakan bagaimana seorang kolonel Israel menyelamatkan
mereka dari cengkeraman Phalangis, sedangkan 300400 orang
Palestina dibiarkan saja tanpa ketahuan nasib mereka.
Para saksi mata yang lain, terutama penduduk sekitar Sabra dan
Shatila, menyatakan melihat orang Phalangis dan anak buah Mayor
Saad Hadad, seorang desersi tentara Libanon yang menjadi boneka
Israel di Libanon Selatan, berkeliaran di situ pada saat
pembantaian terjadi. Puncak dari semua itu adalah keterangan
seorang anggota keluarga Gemayel pada seorang diplomat AS di
Beirut. Tanpa alasan jelas, anggota ini mengakui bahwa pasukan
Phalangis memang berada di Sabra dan Shatila pada saat yang
mengerikan itu. Sebegitu jauh sumber Phalangis, begitu pula Saad
Hadad, membantah bahwa mereka terlibat.
Di Washington, Presiden Reagan Ahad malam bersidang 75 menit
dengan Wapres George Bush, Menlu Shultz, Menhan Caspar
Weinberger, dubes AS di PBB Jeanne Kirkpatrick dan Clark.
Pertemuan itu membahas peristiwa pembantaian Sabra-Shatila,
mempertimbangkan pengiriman pasukan AS ke Beirut sebagai bagian
dari pasukan perdamaian yang baru. Memang belum tercapai satu
kcputusan tapi gagasan terakhir secara serius dipertimbangkan,
untuk mencegah terjadinya pembantaian kembali.
Sebelum ini PM Libanon Shafik Wazzan telah menghimbau tentara
AS, Prancis dan Italia -- yang bertugas sebagai pasukan
multinasional saat evakuasi PLO--agar ditugaskan kembali ke
Libanon. Berita yang agak di luar dugaan menyatakan Prancis dan
Italia bersedia mengirimkan tentaranya kembali dengan syarat AS
tidak mengirimkan tentaranya sama sekali. Sementara itu mulai
Senin, para menlu Liga Arab bersidang di Tunisia, khusus
membicarakan Sabra-Shatila.
Israel sendiri mengalami guncangan agak keras. Sehubungan dengan
pembantaian itu, terjadi aksi demonstrasi yang rada panas di
perbatasan utara Tel Aviv dan Yerusalem, dekat kediaman PM
Begin, hingga pihak polisi terpaksa menggunakan gas air mata.
Demo ini menentang cara penanganan keamanan di Beirut. Simon
Perez, ketua Partai Buruh Israel menyerukan agar Begin dan
Sharon meletakkan jabatan, karena: mereka telah mengirimkan
pasukan ke Beirut Barat dan mengizinkan orang Phalangis memasuki
kamp pengungsi Palestina. Dan Presiden Israel sempat memanggil
Begin untuk menjelaskan segala sesuatu tentang peristiwa yang
sama.
Sebagai protes, Mesir menarik duu besarnya dari Israel. Menurut
kantor berita resmi di Kairo, keputusan itu diambil karena
Israel melanggar gencatan senjata dan terlibat dalam
pembantaian. Sementara itu krisis kepemimpinan Libanon mungkin
bisa segera teratasi karena Amin Gemayel, 40 tahun, bersedia
menggantikan adiknya yang terbunuh. Parlemen Libanon bersidang
hari Selasa pekan ini khusus untuk memilih Presiden baru.
Ketika masyarakat Yahudi Amerika belakangan ini mulai meragukan
kepemimpinan Begin, kaum Yahudi di Paris dan Brussel menjadi
sasaran teror. Jumat pekan silam sebuah bom meledak di sebuah
mobil. Seorang diplomat Israel terluka berat, 45 anak sekolah di
dekatnya cedera. Di luar sebuah sinagog (rumah ibadat Yahudi) di
Brussel, seorang bersenjata melukai empat orang dengan tembakan
membabi-buta.
Dan sebelum terjadi "teror" yang lebih berbahaya, tentara Israel
sudah ditarik keluar dari Beirut awal pekan ini. Presiden Leonid
Brezhnev sebelumnya sudah juga mengusulkan tindakan yang sama,
sedangkan dunia umumnya masih menantikan sikap tegas Presiden
Reagan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini