ISTANA Negara Miraflores, Venezuela, Jumat pekan lalu. Bangunan yang dibangun pada awal abad ke-20 itu menjulang anggun dengan pintu-pintunya yang penuh hiasan. Lingkungannya tampak resik, tak tersisa sampah dan bekas-bekas kerusuhan. Warga Karakas, ibu kota Venezuela, lalu-lalang di depannya, di bawah udara kota yang hangat. Di sana-sini masih tampak tentara berjaga-jaga. Tapi keriuhan yang melanda negeri di Amerika Latin itu Jumat dua pekan lalu seperti tak tercium lagi.
Pedro Carmona, 60 tahun, pengusaha kakap yang menggerakkan kup militer tersebut, tak lagi meringkuk dalam sel dingin kamp tentara Fort Tiuna. Tak lama setelah Presiden Hugo Chavez kembali berkuasa, Ahad dua pekan lalu, Carmona dikenai tahanan rumah. Sedangkan sejumlah jenderal yang bersekutu dalam aksi itu ditahan di sel militer, di antaranya Panglima Militer Jenderal Efrain Vasquez Velasco dan Wakil Kepala Staf Angkatan Laut Hector Ramirez.
Presiden Chavez seperti ingin mengatakan Venezuela sudah kembali normal. "Saya kembali tanpa dendam di dada. Saya hanya ingin menegakkan keadilan," katanya. Tak aneh jika Chavez tampak percaya diri. Kup militer yang digalang petinggi tentara dan kalangan bisnis itu hanya mampu menendang mantan anggota pasukan para ini ke tahanan militer selama kurang dari 48 jam. "Mereka tidak mengerti bahwa Hugo Chavez bukan Chavez, melainkan rakyat Venezuela itu sendiri," katanya sesumbar.
Padahal inilah upaya penggulingan kekuasaan yang tidak kecil. Demonstrasi menentang Chavez digelar sepanjang dua pekan lalu. Staf dan pemimpin Petroleos de Venezuela (PDVSA), perusahaan minyak milik negara, ditambah sekitar 50 ribu warga, menyemut di sepanjang jalan utama Karakas menuntut pengunduran diri Chavez. Karyawan PDVSA mogok kerja hingga produksi minyak terganggu. Akibatnya, ekonomi gonjang-ganjing. Sekitar 80 persen ekspor negeri penghasil minyak keempat di dunia itu memang berupa petroleum.
Reaksi keras tentara Venezuela pro-Chavez malah membuat keadaan kian runyam. Sedikitnya 14 orang tewas dan lebih dari seratus orang terluka akibat bentrokan polisi dan demonstran. Di tengah suasana kalut, petinggi militer anti-Chavez menangkap Chavez. "Chavez telah mengembangkan kepemimpinan yang tak demokratis," kata Jenderal Alberto Camacho, salah seorang petinggi tentara. Bersama Camacho, 50 jenderal lain dari berbagai kesatuan sepakat menentang presiden berusia 48 tahun itu.
Sejatinya ini bukan persoalan kemarin sore. Sudah lama hubungan Chavez dengan petinggi militer dan kalangan bisnis tak akur.
Apalagi, sejak ia memimpin Venezuela 3 tahun lalu, ekonomi negeri itu merosot. Walau penghasilan per kapitanya di atas US$ 4.000, 85 persen penduduk hidup dalam kemiskinan, dan pengangguran membengkak hingga 15 persen. Chavez, yang mengagumi model ekonomi sosialis Kuba ala Fidel Castro, berusaha mem-batasi peran swasta dengan memasukkan klan politiknya ke sejumlah badan usaha milik negara. Desember 2001 lalu, Chavez, misalnya, menunjuk lima orang kepercayaannya untuk menduduki kursi direktur Petroleos de Venezuela.
Dengan memimpin Gerakan Republik Kelima (MVR)—organisasi yang meng-antarkan Chavez ke kursi presiden pada 1998—ia menekuk dua partai politik terbesar di Venezuela, Acción Democrática (AD) dan Comité de Organización Polítical Electoral Independiente (COPEI). Semuanya tak sulit dilakukan anak guru kelahiran Provinsi Barinas yang mengembangkan kepemimpinan populis diktatorial dan menjalin hubungan erat dengan perwira menengah militer yang kerap disebut "Lingkaran Bolivarian".
Apalagi umumnya partai politik di Venezuela bersifat elitis. Dengan mendekati rakyat miskin dan perwira militer kelas menengah dan bawah, Chavez tak sulit mengumpulkan dukungan untuk menentang politisi elite dan kaum borjuis.
Sebetulnya bukan cuma aliansi itu yang membuat petinggi bisnis dan militer gerah. Dalam kebijakan politiknya, Chavez kerap melawan arus. Bapak lima anak yang pada 1992 pernah dua kali gagal melakukan kudeta militer itu, misalnya, menjauhi Amerika dan mendekati Kuba, Irak, dan Kolombia. Ia juga memberikan sokongan dana kepada gerilyawan Marxis Kolombia (FARC)—kelompok yang telah lama dituding AS sebagai teroris. Di mata seteru Chavez, memusuhi AS sangat berbahaya bagi perbaikan ekonomi Venezuela.
Akumulasi kekecewaan itulah yang menghidupkan motor gerakan menentang Chavez. Beberapa sumber The Washington Post di Karakas menyebutkan rencana penggulingan itu telah dipersiapkan enam bulan lalu oleh beberapa jenderal militer—terutama dari angkatan laut dan udara. Mereka tak ingin penggemar topi merah pasukan para ini menyelesaikan jabatannya hingga habis pada tahun 2006.
Lobi-lobi dengan petinggi bisnis di-buka. Februari lalu, dua perwira militer secara terbuka meminta Chavez mundur. Aliansi ini disokong para purnawirawan. "Harus ada justifikasi bagi militer untuk bergerak," kata Fernando Ochoa, bekas menteri pertahanan dan anggota Front Militer Institusional, sebuah organisasi purnawirawan di Karakas.
Sebagai pelengkap, militer juga meminta sokongan Kedutaan AS di Karakas. Gereja seia sekata. Kardinal Ignacio Velasco memberikan isyarat: ia menolak undangan Chavez untuk hadir di istana presiden beberapa hari sebelum kup dilakukan.
Sempurna. Kudeta berdarah itu pecahlah. Chavez, yang terkepung di istana, kehilangan pegangan. Permintaannya kepada militer untuk mengirim 30 tank ke Miraflores hanya dipenuhi tujuh buah. Pasukan pengawal presiden tak berkutik. Semula Chavez dizinkan mengasingkan diri ke Kuba. Belakangan, izin itu dibatalkan militer. Sang penggerak revolusi dikirim ke Orchila, pulau terpencil di Kepulauan Karibia.
Selesai? Mestinya begitu. Aliansi bisnis dan militer telah sepakat menunjuk Pedro Carmona sebagai pengganti. Petinggi kelompok bisnis Fedecamaras ini—konglomerat terbesar di Venezuela—punya kapasitas untuk menjadi presiden pengganti. Ia punya akses ke serikat buruh, menguasai kelas kerah putih, mendapat restu militer, dan memiliki pengetahuan ekonomi yang baik. "Ia orang yang pintar, obyektif, dan tahu bagaimana menyelesaikan masalah," kata Juan Calvo, seorang eksekutif Fedecamaras.
Tapi politik tak selalu berjalan di garis yang linier. Pada jam-jam pertama kekuasaannya, Carmona membuat kesalahan besar: ia membubarkan parlemen dan pengadilan, menonaktifkan kabinet, dan membekukan undang-undang. Ia menjanjikan mengadakan pemilu, tapi tak pernah memastikan kapan.
Di luar itu, Carmona juga gagal merangkul kawan seiring. Perwakilan serikat buruh, elemen penting dalam kup ini, tak disertakannya dalam pemerintahan baru.
Panglima Tentara Nasional Venezuela, Jenderal Efrain Vasquez Velasco, disisihkannya. Posisi puncak militer dipercayakan kepada Hector Ramirez, Wakil Kepala Staf Angkatan Laut. "Angkatan darat tak akan setuju jika dipimpin angkatan laut," kata Mario Ivan Carratu, seorang pensiunan perwira angkatan laut. Sabtu pagi, kurang dari 24 jam setelah Carmona dilantik sebagai presiden, Jenderal Vasquez Velasco mengeluarkan statemen keras di televisi. Ia mengancam akan menarik dukungan kepada pemerintahan baru jika Carmona tak mengaktifkan kembali parlemen.
Ancaman Velasco ini mengguncang militer. Sejumlah perwira yang semula meninggalkan Chavez berbalik. Di akar rumput, perseteruan antar-elite ini meremukkan citra pemerintahan baru. "Orang-orang miskin beranggapan jatuhnya Chavez akan menaikkan peran kelas bisnis," tulis wartawan BBC Maurice Walsh.
Di tengah kegamangan pendukung Carmona itulah Chavez kembali. Bagaikan Napoleon yang pulang dari pengasingannya di Pulau Elba, ia memasuki Miraflores. Bunyi helikopter menderu-deru. Ketika itu baru pukul 3 pagi. Halaman istana, yang semula disemuti penentang Chavez, berbalik dipenuhi pendukungnya. Bentrok antara pendukung Chavez dan tentara Carmona kembali menelan korban. Sembilan orang tewas pada subuh berdarah itu.
Tak terlalu jelas apa yang dilakukan Carmona. Seorang jenderal di pihak Carmona menggambarkan suasana sangat kalang-kabut. Pasukan Chavez kesulitan mengidentifikasikan mana lawan mana kawan. Beberapa jenderal pro-Carmona bersembunyi di ruang bawah tanah istana. "Sekarang saat yang sulit bagi kami dan rakyat Venezuela," kata Jesus Enrique Briceno, seorang jenderal angkatan laut penentang Chavez. Suasana kacau tak berlangsung lama. Keadaan dapat dikendalikan. Chavez kembali ke kursi kekuasaannya. Sejumlah jenderal ditangkap.
Chavez mungkin terlalu kuat untuk ditundukkan. "Di negeri yang melarat ini," kata Anibal Romero, profesor politik Universitas Simon Bolivar di Karakas, "seorang demagog yang karismatis ternyata punya tempat di hati rakyat."
Arif Zulkifli (Washington Post, BBC, Economist)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini