Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Wim Kok Tersandung 'Mission Impossible'

Kabinet Wim Kok jatuh akibat peristiwa pembantaian rakyat Bosnia di Srebrenika, 1995. Kenapa waktu itu mengirim pasukan perdamaian?

5 Mei 2002 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pertengahan bulan Mei mendatang mestinya menjadi saat yang paling mengesankan buat Wim Kok. Itulah saatnya Perdana Menteri Belanda ini menyelesaikan masa pemerintahannya yang kedua dengan mulus. Namun batu sandungan datang: pemerintahannya dituding ikut bertanggung jawab atas terbunuhnya lebih dari 7.000 warga muslim sipil di Srebrenika, Bosnia-Herzegovina, oleh pasukan Serbia, Juli 1995 lalu. Lembaga Dokumentasi Perang Belanda (Nederlands NIOD), yang sejak November 1996 melakukan penyelidikan peristiwa pembataian tersebut, beberapa waktu lalu memastikan bahwa pembantaian terjadi—sebagian—akibat dari kesalahan pasukan perdamaian asal Belanda yang dikirim Wim Kok ke Srebrenika. Maka muncullah tuntutan mundur dari masyarakat—juga anggota kabinetnya sendiri—terhadap Kok dan kabinetnya. Kok pun goyah. Selasa pekan lalu, Perdana Menteri Belanda itu mengumumkan pengunduran diri berikut kabinetnya. Bubarnya kabinet Kok memang ironis. Selain terjadi menjelang masa akhir pemerintahannya, sebenarnya kabinet Kok, sebagai pelaksana pemerintahan, telah membuat prestasi bagi negeri kecil itu. Di bawah kepemimpinan pria berusia 63 tahun itu, Belanda menjadi negara Eropa yang pertumbuhan ekonominya baik, dengan tingkat pengangguran terendah. Data tahun 2000 memperlihatkan, jumlah penganggur negeri itu cuma 2,8 persen dari total penduduknya. Adalah pemerintahannya pula yang memutuskan pembentukan lembaga independen Nederlands NIOD untuk menyelidiki pembunuhan yang terjadi pada Juli 1995 oleh pasukan Serbia itu. Enam ribu di antara korban dikabarkan dibantai dalam sebuah pembunuhan massal yang brutal. Lantas apa yang dilakukan pasukan Belanda sebagai bagian dari pasukan perdamaian PBB yang bertanggung jawab atas keamanan di wilayah tersebut saat itu? Jawaban dari pertanyaan inilah yang ingin diketahui pemerintah Belanda. Hasil penelisikan yang dilakukan NIOD selama enam tahun, yang pada 10 April lalu dibeberkan kepada Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Belanda, Loek Hermans, sungguh mengejutkan. Intinya, pemerintah Belanda dianggap telah mengirim tentara mereka ke sebuah mission impossible. Tim penyidik NIOD yang dipimpin Prof. J.C.H. Bloom mempertanyakan mengapa pemerintahan Kok mengirim pasukan ke sebuah wilayah bergejolak tanpa menyelidikinya secara seksama. Kawasan Srebrenika yang diklasifikasi Dewan Keamanan PBB sebagai kawasan aman, menurut Bloom, ''Sesungguhnya jauh dari aman." Pemerintah juga tak tahu laporan intelijen NATO yang menyebut kawasan Srebrenika belum dilakukan demiliterisasi. Ribuan pasukan Serbia mengepung kota itu dengan senjata dan peralatan tempur penuh, termasuk armada tank dan artileri darat-darat. Sedangkan pasukan perdamaian PBB hanya berbekal senjata ringan dan smoke gun, yang hanya boleh dipakai dalam kondisi terdesak. Padahal 200 anggota Air Mobile Batallion Belanda yang berangkat ke Bosnia tak dilatih menghadapi situasi tempur. Pasukan Belanda itu juga tak tahu bahwa Serbia tidak mau mengikuti bujukan PBB agar mundur. Bahkan saat itu Serbia terus merangsek kota dengan tembakan tank dan artileri. Tak aneh jika dalam situasi genting itu milisi muslim Bosnia, yang dalam posisi terdesak, menuntut dikembalikannya senjata yang tadinya mereka serahkan ke PBB. Akibatnya, terjadi insiden pembunuhan seorang tentara Belanda oleh milisi muslim Bosnia. Moral anggota pasukan tentara Oranye makin hancur ketika suatu kali mereka meminta bantuan serangan udara dari skuadron gabungan NATO di Italia dan Prancis ke posisi Serbia tapi ditolak. Alasannya, prosedur permintaan keliru. Tak aneh jika saat itu dikatakan semangat tentara Ratu Beatrix ini tinggal "bagaimana menyelamatkan diri". Tampaknya, menurut kesimpulan NIOD, politisi Belanda terlalu berambisi mengambil peran dalam masalah-masalah kemanusiaan. Dalam kegentingan itu, dan kemudian ditambah ribuan penduduk Bosnia yang panik di jalan-jalan Srebrenika, tentara Belanda akhirnya "menyerah". Mereka menerima tawaran komandan tempur Serbia, Ratko Mladic, untuk mengevakuasi penduduk Srebrenika. Tapi belakangan terbukti, ribuan penduduk yang dievakuasi dari Srebrenika itu tak pernah kembali. "Mereka dibantai dan dikubur massal, ratusan bahkan dikubur hidup-hidup," kata Sekjen PBB, Kofi Annan, mengakui andil kesalahan lembaganya tentang peristiwa yang disebut paling kejam sejak Perang Dunia II itu. Di titik itu pula, Wim Kok dan kabinetnya harus mempertanggungjawabkannya secara moral. Dan Kok melakukannya. ''Saya mengambil tanggung jawab itu,'' katanya. Prasidono L. (NIOD, AP, BBC)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus