"SAYA yakin, jika Muhammad memegang pucuk pimpinan dunia modern, ia akan membawa kedamaian dan kebahagiaan," tulis George Bernard Shaw, dramawan itu, menjelang ia meninggal di tahun 1950. Ada atau tidak ada ranking ala Monitor, pandangan seperti itu akan tetap terdengar dan berlaku. Di mata kaum muslimin Rasulullah adalah suri teladan yang sebaik-baiknya. Setiap kali mendengar nama Muhammad, seorang muslim selalu menyahut dengan doa, shallallahu 'alaihi wa sallam -- semoga Allah melimpahkan kesejahteraan dan keselamatan kepadanya. Doa salawat sebagai penghormatan (Allahumma shalli ala Muhammad, dan seterusnya) juga berkali-kali dibaca dalam salat. Mengapa semua itu? Bagi saya, karena kebesarannya justru bertaut dengan kesederhanaannya. Ia pemimpin umat, tapi ia tak punya harta. Ia bahkan tak punya bantal untuk tidurnya. Salah seorang sahabat terdekatnya, Umar ibn al-Khathab, menitikkan air mata ketika suatu hari menyaksikan bekas anyaman tikar tampak di pipi Rasulullah. Ketika wafat pun, Nabi tidak meninggalkan warisan. Peninggalannya hanyalah sebilah pedang dan seekor keledai, sementara kebunnya yang cuma sebidang tidak diwariskan kepada keluarganya, melainkan disedekahkan. Ia juga pemimpin yang tak selalu memikirkan kenikmatan dirinya. Bersama seorang sahabatnya, pernah Rasulullah yang lagi lapar bertamu ke rumah sahabatnya yang lain -- yang memiliki kebun kurma. Suatu hari beberapa sahabatnya merintih kelaparan, sambil memperlihatkan sebutir batu pengganjal perut. Dengan tersenyum Rasulullah pun membuka kemejanya: tampak dua butir batu mengganjal perutnya. Di saat seorang sahabat bertamu sementara Rasulullah tak punya apa-apa, ia tetap menghormati tamunya, meski hanya dengan secangkir air putih dan dua biji kurma. Salatnya pun bukan sekadar untuk memperoleh pahala. Ia kuat bersembahyang hingga kakinya bengkak. "Mengapa Anda membebani diri seperti itu, padahal Allah telah mengampuni segala dosa yang telah lampau dan yang akan datang?" Jawab Muhammad sangat terkenal, "Afala akunu 'abdan syakura?" Tidak patutkah aku menjadi hamba Allah yang bersyukur? Rasulullah juga terkenal dengan tabassam-nya, senyumnya, seperti diceritakan oleh salah seorang sahabatnya, Abdullah ibn al-Harts, sementara Allah memerintahkan Rasulullah tampil sebagai pemaaf. Banyak kisah kehidupannya yang menggambarkan sifat itu. Bahkan setelah ia menang dalam perang, beberapa tokoh yang pernah memusuhinya bukan hanya dimaafkan, melainkan juga dilindungi hak mereka sebagai warga negara. Suatu hari Shafwan ibn Umayyah bersekongkol dengan Umair ibn Wahb di Hijr, dekat lokasi Ka'bah di Mekah, untuk membunuh Nabi. Keduanya sangat mendendam, karena Shafwan kehilangan ayah dan saudaranya dalam Perang Badar, sementara seorang anak Umair menjadi tawanan perang. Maka, berangkatlah Umair ke Medinah membawa pedang Shafwan. Sampai di Masjid Nabawi di Medinah, betapa kaget Umair ketika ternyata Nabi mengetahui rencana makar itu. Tapi Nabi bukannya marah, melainkan memaafkannya. Bagaimana dengan Shafwan? Ia lari ke Jedah, hendak menyeberang ke Yaman. Tapi ketahuan. Umair, yang sudah tobat itu, mohon agar Nabi menjamin keselamatan Shafwan. Rasulullah bersedia, dan sebagai buktinya ia menyerahkan serban untuk disampaikan kepada Shafwan. "Rasulullah jauh lebih mulia dari dugaanmu. Beliau amat bijak dan pemaaf," ujar Umair meyakinkan sahabatnya yang masih khawatir itu. Mereka lalu menghadap Rasulullah. "Umair bilang engkau akan menjamin keselamatanku, benarkah?" tanya Shafwan kepada Rasulullah. "Benar," jawab Nabi. Shafwan lalu minta waktu dua bulan untuk berpikir sebelum ia mengikrarkan syahadatain. Tapi Nabi bahkan memberikan waktu empat bulan. Suatu saat, ketika Nabi tengah beribadah tawaf, diam-diam Fadhalah mendekat hendak membunuhnya. Rupanya, Rasulullah tahu, lalu menghampirinya. "Ini Fadhalah, kan? Apa yang sedang kaupikirkan?" tanya Nabi dengan ramah. "Tidak memikirkan apa-apa, saya tengah berzikir," jawab Fadhalah. Tapi Rasulullah rupanya tahu niat Fadhalah yang sebenarnya. "Mohon ampunlah kepada Allah," ujar Rasulullah sembari tersenyum manis dan meletakkan telapak tangan kanannya ke dada Fadhalah. "Aku kaget ketika Rasulullah menarik telapak tangannya dari dadaku. Sejak itu tak ada seorang pun yang lebih kucintai selain beliau," tuturnya. Menurut kesaksian sahabat dan menantunya, Ali ibn Abi Thalib, Rasulullah berbudi pekerti lembut, selalu berwajah manis, tidak pernah berkata-kata dengan suara keras, tidak berlaku dan berkata keji, tidak suka mencela, tidak kikir. Dan menurut Aisyah, sang istri, Rasulullah tidak pernah membiarkan kekejian, tidak membalas kejahatan dengan kejahatan. "Beliau suka mamaafkan dan berjabat tangan," katanya. Kita banyak lupa akan sifat-sifat itu. Seperti mungkin juga kita lupa kepada satu ayat dalam Surah al-Furqan: bahkan terhadap kaum jahilun (orang-orang yang tidak mengerti), kita mesti bersikap ramah. Seperti mungkin juga kita lupa kepada kata-kata ini, yang berasal dari Nabi sendiri: "Bukan orang yang kuat yang tangguh bergulat. Orang yang gagah perkasa ialah yang dapat menahan hawa nafsu di saat ia lagi marah."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini