Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
HARI-HARI ini berita tentang korupsi program bantuan sosial (bansos) yang melibatkan mantan Menteri Sosial, Juliari Batubara, masih mewarnai berbagai media massa. Hal itu tak mengherankan karena kasus korupsi dana bantuan untuk wong cilik ini memang sangat melukai rasa kemanusiaan kita. Apalagi kejahatan ini dilakukan ketika kondisi sosial-ekonomi banyak orang sedang menghadapi tekanan berat akibat pandemi Covid-19.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kasus korupsi ini juga membuat publik menaruh perhatian lebih pada kelanjutan program bantuan sosial. Lagi-lagi ini hal yang wajar karena alokasi dana bansos memang sangat besar. Tahun ini, dari total anggaran pemulihan ekonomi sebesar Rp 695,2 triliun, berbagai program perlindungan sosial masih mendapat jatah paling besar, yaitu Rp 233,69 triliun. Tentu khalayak ramai mengharapkan dana ini tidak kembali diselewengkan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Efisien dan Efektif
Untuk itu, pemanfaatan teknologi yang andal menjadi sangat penting sebagai solusi agar dana bantuan sosial terhindarkan dari korupsi dan penyalahgunaan. Pencegahan harus diintensifkan baik di level pemerintah pusat dan daerah maupun dari sisi penyalur dan penerima. Ini bukan harapan kosong. Pada saat ini teknologi digital sudah sangat maju dan telah dimanfaatkan dalam berbagai aktivitas bisnis di Indonesia. Saatnya bagi pemerintah untuk mengadopsi teknologi maju ini agar pelayanan publik lebih berkualitas, efisien, dan efektif.
Selain besarnya dana bantuan sosial, jumlah warga penerima yang sangat besar menjadi alasan penting untuk menyegerakan pemanfaatan teknologi digital. Dalam program bansos yang dikelola Kementerian Sosial, misalnya, ada anggaran sebesar Rp 45,1 triliun untuk program bahan kebutuhan pokok yang disalurkan kepada 18,8 juta keluarga penerima manfaat yang tersebar dari Sabang sampai Merauke.
Dengan banyaknya daerah yang harus dilayani dan variasi kondisi geografis Indonesia, bisa dipahami bila selalu terjadi keterlambatan distribusi bantuan. Bahkan ada laporan soal bantuan yang tidak tepat sasaran. Tanpa teknologi digital, berbagai masalah sulit terhindarkan. Bayangkan, jika penyaluran bantuan bahan pokok dilakukan setiap bulan, akan ada ratusan ribu bahkan jutaan transaksi yang harus dikelola dan diolah.
Terlebih program bantuan sosial di Indonesia bukan hanya bantuan bahan kebutuhan pokok. Ada berbagai ragam bantuan sosial yang dikelola oleh banyak kementerian dan lembaga. Kementerian Sosial mengelola Program Keluarga Harapan, sementara Kementerian Kesehatan mengucurkan bantuan Kartu Indonesia Sehat dan mengelola jutaan penerima bantuan iuran dari Jaminan Kesehatan Nasional. Sementara itu, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan mengelola Program Indonesia Pintar sampai level mahasiswa di perguruan tinggi.
Jangan lupa, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat mengatur pembangunan rumah susun sederhana dan mengelola program Bantuan Rumah Swadaya. Kementerian Koperasi dan Usaha Mikro Kecil dan Menengah juga menyalurkan bantuan barang modal dan pengucuran kredit. Walhasil, satu keluarga sasaran di Indonesia kerap tidak hanya menjadi penerima manfaat dari satu program, tapi juga mungkin empat-lima program.
Karena itu, digitalisasi dan integrasi berbagai program bantuan sosial sudah saatnya dilakukan. Ini momentum tepat karena pemerintah memang telah mulai mengadopsi teknologi digital dalam berbagai programnya. Di Kementerian Sosial telah dilakukan digitalisasi data penerima dan proses penyaluran program. Perbankan, terutama bank badan usaha milik negara (anggota Himpunan Bank-Bank Negara/Himbara), telah diikutkan untuk menyalurkan bantuan nontunai buat pemegang Kartu Keluarga Sejahtera yang dapat digunakan untuk berbelanja barang tertentu di tempat yang telah ditunjuk.
Akselerasi atas semua program itu hanya bisa terjadi jika pemerintah menunjukkan komitmen yang tegas. Dukungan politik itu akan melipatgandakan energi birokrasi dalam program digitalisasi bansos. Sebagai langkah awal, pemerintah dapat meneruskan pengembangan arsitektur platform G2P 4.0 (government to person) yang saat ini sudah disiapkan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional. Dengan program ini, bisa ada integrasi semua penyaluran bantuan sosial dalam Bansos Core Platform dengan menerapkan prinsip omnichannel.
Keberadaan Bansos Core Platform akan mendorong distribusi dana bantuan dengan lebih cepat. Banyaknya channel yang tersedia membuat semua pekerjaan dapat dilakukan tanpa kartu fisik, tepat sasaran karena terintegrasi dengan data kependudukan dan pencatatan sipil, serta lebih efisien.
Jika pengembangan Bansos Core Platform di Bappenas masih membutuhkan waktu, pemerintah bisa juga mereplikasi platform Kartu Prakerja sebagai sebuah platform penyaluran bantuan sosial. Pemerintah bisa menggandeng pelaku industri teknologi finansial (fintech) yang dulu ikut membangun platform Kartu Prakerja. Harus diakui, meskipun masih banyak kritik, platform Kartu Prakerja berhasil menghilangkan peran makelar (middlemen issue), inefisiensi, dan banyak distorsi lain.
Bukan hanya itu. Dengan pertimbangan 94 persen penduduk telah memiliki nomor induk kependudukan, sekitar 70 persen orang dewasa sudah memiliki telepon seluler, dan perkembangan ekonomi digital yang makin cepat, perlu bagi pemerintah untuk membuka alternatif penyaluran bansos melalui fintech.
Sebagai langkah awal, pemerintah harus mengevaluasi Peraturan Presiden Nomor 63 Tahun 2017 tentang Penyaluran Bantuan Sosial Secara Non Tunai. Ini diperlukan untuk memungkinkan omnichannel dilakukan dalam bantuan sosial. Tidak hanya membuatnya lebih efisien, digitalisasi dan integrasi semua program bantuan di berbagai kementerian sangat penting untuk evaluasi efektivitas semua program bansos.
Secara teori dan konsep, program bantuan sosial bagi penerima seharusnya bersifat sementara. Pasalnya, jenis bantuan dan program akan berubah pada saat kondisi masyarakat penerima bansos berubah. Namun selama ini, karena kesulitan dalam memperbarui data, penerima bansos kerap terus menerima bantuan yang sama selama bertahun-tahun meskipun kondisi ekonomi-sosial mereka sudah membaik.
Dengan digitalisasi dan integrasi program bantuan sosial dalam satu platform, akan tersedia big data yang memungkinkan pemerintah melakukan monitoring dan analisis dengan lebih detail. Berdasarkan data itu, pemerintah juga bisa merencanakan program bantuan yang lebih tepat bahkan untuk tiap penerima bansos (by name).
Ekonomi Lokal
Digitalisasi bantuan sosial juga dapat menjadi alat untuk menggerakkan ekonomi lokal. Untuk itu, dibutuhkan pendekatan baru agar keluarga penerima bansos tidak hanya menjadi obyek, tapi juga sebagai subyek dalam memenuhi bahan kebutuhan pokok.
Dengan pendekatan baru, program bansos tidak hanya dapat mengurangi beban pengeluaran masyarakat kelompok bawah, tapi juga mampu mendorong produktivitas kelompok tersebut dan meningkatkan pendapatan rumah tangga. Bila semua dana bansos bahan kebutuhan pokok di Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara 2021 sebesar Rp 45 triliun disalurkan secara digital, misalnya, akan ada captive market bagi produk-produk bahan pokok yang dihasilkan oleh usaha kecil-menengah lokal dengan nilai yang cukup besar.
Pada saat ini Kementerian Sosial telah menetapkan bahwa dana bansos hanya dapat dibelikan empat kategori produk, yakni karbohidrat (beras, ketela, jagung, sagu); protein hewani (telur, daging ayam, daging sapi, ikan); protein nabati (kacang-kacangan, tempe, tahu); dan sumber vitamin (buah, sayur). Dengan Bansos Core Platform, pemerintah tak hanya menambahkan kanal penyaluran bantuan di luar bank, yaitu platform fintech, tapi juga menghubungkan penerima bansos dengan penyedia produk di berbagai platform e-commerce. Dengan cara ini, penerima bansos (bahan pokok dan non-bahan pokok) memiliki pilihan luas untuk berbelanja, tidak dibatasi toko retail tertentu seperti saat ini.
Ini juga akan mendorong munculnya produk pemenuhan kebutuhan pangan pokok yang tidak seragam tapi sarat kandungan lokal. Sumber protein bukan hanya telur dan ayam atau makanan olahan produk industri besar seperti saat ini. Mungkin muncul alternatif yang khas lokal, misalnya produk usaha kecil-menengah setempat.
Setelah dana disalurkan dan transaksi bahan kebutuhan pokok di platform digital terjadi, digitalisasi juga memungkinkan ada analisis big data untuk mengetahui jenis produk bahan pokok yang diminati, volume permintaannya, dan tingkat harga yang diharapkan. Data itu bisa disajikan dengan informasi yang sangat detail menurut wilayah, waktu, latar belakang budaya, dan variabel lain serta menjadi referensi penting bagi berbagai program pemerintah. Dengan memanfaatkan data ini, program bantuan modal untuk usaha kecil-menengah yang jumlahnya lebih dari Rp 120 triliun atau program Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak untuk mendukung pangan alternatif di berbagai daerah jadi bisa lebih terarah.
Walhasil, digitalisasi dan integrasi program bantuan sosial memang sebaiknya tidak ditunda. Selain bisa menutup pintu korupsi lebih rapat, program ini dapat meningkatkan efisiensi dan efektivitas penyaluran dana bansos. Ujungnya, program bansos justru bisa memberikan peluang untuk menumbuhkan industri kecil lokal yang akan mendorong pertumbuhan ekonomi lebih inklusif di negeri ini.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo