Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Istri Menteri Luar Negeri Turki Abdullah Gül, Hayrünisa, harus bersabar. Ia belum bisa menjadi ibu negara Republik Turki yang mengenakan kerudung istana kepresidenan Çankaya di Ankara.
Pada Selasa pekan lalu, pengadilan konstitusi Turki menganulir proses pemilihan presiden dengan calon tunggal Abdullah Gül. ”Kami menangguhkan putaran pertama,” ujar Hasim Kilic, juru bicara pengadilan konstitusi. Menurut Kilic, tidak cukup jumlah anggota parlemen yang hadir dalam pemilihan presiden putaran pertama itu.
Inilah hasil gemilang partai oposisi utama Partai Rakyat Republik untuk menjegal laju Abdullah Gül. Di mata mereka, Gül mesti cepat dihentikan. Mereka percaya, keberhasilan Gül—dari Partai Keadilan dan Pembangunan—merupakan ”kiamat” bagi penganut sekularisme garis keras di Turki.
Di jalan-jalan Ankara dan Istanbul, kaum nasionalis, dengan bendera merah Turki berhias bulan bintang putih di tengahnya, unjuk gigi, menunjukkan kekuatannya. Di dalam gedung parlemen, dominasi partai muslim AK, Partai Keadilan dan Pembangunan, jadi tak punya arti. Meski Partai AK merupakan mayoritas (352 suara) di parlemen, jumlah itu kurang dari dua pertiga (367 suara) dari 550 suara di parlemen—batas yang dipersyaratkan untuk memilih seorang presiden. Boikot itu kemudian diikuti pengajuan gugatan ke pengadilan konstitusi untuk membatalkan pemilihan presiden itu. Perlu diketahui, lembaga pengadilan Turki adalah salah satu kekuatan sekuler, selain militer dan perguruan tinggi.
Satu jam setelah partai oposisi membawa berkas gugatan ke pengadilan konstitusi, suhu politik semakin menggelegak. Apalagi angkatan bersenjata Turki kemudian mulai mengancam: kelompok militer merupakan garda terdepan sekularisme Turki, dan mereka tidak merestui pencalonan Abdullah Gül. Melalui maklumatnya, para jenderal menggarisbawahi bahwa mereka tak segan-segan mengintervensi proses pemilihan presiden. ”Jika dibutuhkan, militer akan menunjukkan sikapnya yang sangat jelas. Seharusnya tak ada yang meragukan hal itu,” bunyi pernyataan itu.
Ancaman yang lantas menuai kecaman dari mana-mana. Perdana Menteri Recep Tayyip Erdogan meradang. Menurut Erdogan, ancaman militer itu melemahkan lembaga politik Turki dan bisa menyeret pertumpahan darah. ”Jika darah mulai tertumpah, harganya akan sangat mahal bagi bangsa sebagaimana yang terjadi di masa lalu,” kata Erdogan.
Uni Eropa, Inggris, juga Amerika Serikat, memperingatkan militer Turki agar menjauh dari arena politik. ”Pemilu adalah uji kasus bagi militer Turki untuk menghormati demokrasi,” kata Olli Rehn, Komisioner Uni Eropa. Ancaman militer untuk mengintervensi pemilihan presiden itu juga akan merusak upaya Turki bergabung dengan Uni Eropa. ”Kami berharap suatu hari nanti Turki dapat bergabung dengan Uni Eropa. Tapi untuk itu Turki harus menjadi negara Eropa sejati, dalam bidang ekonomi dan politik,” ujar Presiden Komisi Eropa, Jose Manuel Barroso. Uni Eropa meminta Turki mengikis pengaruh militer dalam politik.
Keterlibatan militer dalam politik memang bukan barang baru. Pendiri Turki modern, Mustafa Kemal Attaturk, adalah perwira militer yang mendirikan Republik Turki pada 1923 dari puing-puing Kerajaan Ottoman. Ia menggunakan militer untuk mengukuhkan rezim sekuler, mengikis pengaruh agama dalam politik. Ia melarang penggunaan kerudung sebagaimana yang dipakai istri calon presiden Abdullah Gül di kantor pemerintah dan sekolah. Ia juga mengganti aksara Arab menjadi aksara Latin. Pejabat pun dilarang menghadiri perayaan hari keagamaan.
Sepanjang 1960-1980, militer telah melakukan tiga kali kudeta terhadap pemerintah sipil. Kudeta terakhir berlangsung pada 18 Juli 1997, ketika para jenderal mengirim tank ke jalanan Ankara untuk memaksa perdana menteri dari Partai Kesejahteraan yang beraliran Islam, Necmettin Erbakan, mengundurkan diri. Pesannya jelas: tiada toleransi terhadap siapa saja yang berani menyentuh sekularisme Turki. Militer juga menggunakan media, LSM, dan akademisi sebagai alat propaganda untuk menjatuhkan Erbakan.
Sayangnya, pemerintah koalisi yang direstui militer untuk menggantikan Erbakan gagal memperbaiki masalah ekonomi yang serius, yang memuncak pada krisis ekonomi pada 2001. Sebaliknya, ketika Partai Keadilan dan Pembangunan menang dalam pemilu November 2002, partai yang punya akar Islam ini berhasil memperbaiki ekonomi Turki, sehingga negeri itu dianggap pantas menjadi bagian dari Uni Eropa.
Kini militer Turki kembali memperlihatkan taringnya, dan partai oposisi beserta pengadilan konstitusi telah memainkan perannya dengan baik. Bahkan libur akhir pekan pun tak menghalangi hakim pengadilan konstitusi memelototi berkas gugatan yang ditandatangani 130 anggota partai oposisi. Hasilnya sudah bisa diduga. Mahkamah Konstitusi mengabulkan gugatan partai oposisi dengan memotong proses pemilihan presiden berdasarkan konstitusi lewat parlemen.
Partai oposisi nekat menggagalkan proses pemilihan presiden di parlemen. Peraturan mengukuhkan: seandainya Gül tak berhasil mencapai kuorum dua pertiga dalam pemilihan putaran pertama dan kedua, peluang menjadi presiden masih terbuka. Pada putaran ketiga, pembatasan kuorum tak berlaku lagi; calon yang perolehan suaranya di atas calon lain akan menjadi Presiden Turki. Satu-satunya harapan oposisi adalah menunggu perkembangan sentimen pro-sekularisme yang berkembang belakangan ini.
Tak mengherankan bila akal bulus partai oposisi dianggap mencederai proses demokrasi. Menurut Mehmet Eraslan, anggota partai oposisi yang membelot, seharusnya masalah politik parlemen diselesaikan di parlemen. ”Membawa keputusan parlemen ke pengadilan konstitusi berarti membawa keinginan rakyat ke pengadilan,” kata Eraslan.
Kubu Erdogan pun bergerak cepat dengan menyodorkan percepatan pemilu yang terlebih dahulu mengamendemen konstitusi, kalau perlu lewat referendum, sehingga memungkinkan presiden dipilih rakyat secara langsung. Menurut Erdogan, akibat keputusan pengadilan konstitusi, sistem demokratis parlementer kini dihambat. ”Jika kami tak dapat memilih presiden lewat parlemen, kami akan menyodorkan masalah ini kepada rakyat,” katanya. Pemilu parlemen yang baru secepatnya diselenggarakan pada 24 Juni, lebih cepat dari jadwal pada November.
Sejumlah pengamat menyambut. Percepatan pemilu akan membantu pemerintah mengelakkan risiko krisis yang lebih dalam dengan militer, juga menyelamatkan muka di hadapan pendukungnya. Tapi oposisi Partai Rakyat Republik (CHP) menampik pemilu dini. ”Pemilu dini adalah satu persyaratan legal, bukan hadiah dari pemerintah,” ujar pemimpin partai, Deniz Baykal.
Baykal tak ingin pemilu diselenggarakan dalam waktu kurang dari 45 hari, karena diduga pada waktu itu pemilih masih bersimpati pada Partai AK yang dianggap sebagai korban permainan politik kotor oposisi dan militer. Jadi, kalau pemilu diselenggarakan dalam waktu itu, Partai AK pasti menangguk banyak suara. Untuk menggerogoti simpati itu, analis menduga CHP akan membuat kampanye hitam agar rakyat Turki percaya dalang krisis politik yang mengguncang ekonomi Turki ini adalah Partai AK.
Dengan skenario ini partai oposisi berharap: tak cuma Abdullah Gül gagal memboyong istrinya yang berkerudung ke istana kepresidenan, tapi juga mengubur selamanya Partai Keadilan dan Pembangunan atas nama sekularisme. Namun, jika ini yang kemudian terjadi, dunia Barat akan melihat sebagian rakyat Turki lebih mementingkan sekularisme ketimbang demokrasi.
Raihul Fadjri (Zaman, Turkish Daily News, BBC, Guardian, AFP)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo