Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Berebut Ongen di Bandara

Saksi kunci pembunuhan Munir itu kini disembunyikan polisi. Begitu mendarat dari Belanda, ia sempat jadi rebutan polisi dan intel negara.

7 Mei 2007 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

RUMAH dua lantai di sebuah komplek di Jurangmangu, Tangerang, Banten, itu sudah hampir setengah bulan tak berpenghuni. Dua pintu pagarnya diikat dengan rantai bergembok. Para tetangganya tak tahu di mana keluarga musisi Ongen Latuihamallo, penghuni rumah itu, kini tinggal.

Pada suatu siang dua pekan lalu, empat polisi menjemput istri Ongen, Ny. Etha Pattinasarany, dua putri mereka, dan seorang pembantu yang bekerja di rumah itu. ”Anjing dan mobilnya juga dibawa,” kata seorang tetangga, pria paruh baya yang tak bersedia disebutkan namanya.

Menurut sumber Tempo di kepolisian, keluarga itu diungsikan karena beberapa kali mendapat telepon bernada ancaman. Hal itu diduga berkaitan dengan status Ongen yang kini menjadi saksi kunci kasus pembunuhan aktivis hak asasi manusia, Munir, dua setengah tahun silam.

Inspektur Jenderal Sisno Adiwinoto, juru bicara Markas Besar Kepolisian Negara Republik Indonesia, menolak menjelaskan secara rinci pengamanan terhadap keluarga Ongen. Ia hanya menyatakan, polisi melindungi semua saksi dalam kasus Munir. ”Perlindungan juga diberikan kepada keluarga saksi,” tuturnya.

Ongen dianggap mengetahui eksekusi Munir pada dini hari 7 September 2004. Sejumlah saksi melihat dia duduk di Coffee Bean, area transit Bandar Udara Changi, Singapura, bersama Munir dan seorang pria yang diyakini sebagai Pollycarpus Budihari Priyanto, pilot yang sempat jadi terdakwa kasus ini. Beberapa jam setelah itu, Munir meninggal di pesawat Garuda 974 dalam perjalanan menuju Amsterdam, Belanda.

Saksi yang melihat tiga lelaki itu duduk di Coffee Bean antara lain adalah SA, 25 tahun. Penumpang kelas bisnis itu mengaku melihat seorang pria berambut panjang dan postur tinggi. Sesaat sebelum naik kembali ke pesawat, ia dikenalkan oleh penumpang yang duduk di kursi sampingnya dengan pria itu yang adalah Ongen (lihat ”Satu Soal, Lima Keterangan”, Tempo edisi 30 April 2007).

Komisaris Jenderal Bambang Hendarso Danuri, Kepala Badan Reserse Kriminal Polri, menyatakan penyidik sedang memeriksa semua aktivitas di Changi saat itu. Menurut dia, hal ini bagian dari proses penyelidikan karena hasil uji laboratorium forensik di Seattle, Amerika Serikat, menyimpulkan racun arsenik yang membunuh Munir masuk saat ia transit di Changi. Hasil ini mengubah kesimpulan penyidik sebelumnya yang menyatakan Munir diracun dalam penerbangan Jakarta–Singapura.

Menurut sumber Tempo di kepolisian, Ongen dijemput tim penyidik kasus Munir yang dipimpin Komisaris Polisi Daniel Tifaona di Bandar Udara Soekarno-Hatta, Cengkareng, dua pekan lalu. Pencipta lagu-lagu rohani itu baru saja tiba dari Belanda, tempat ia sering tampil di panggung-panggung Pasar Malam.

Penjemputan Ongen dilakukan puluhan polisi, gabungan dari Markas Besar Polri dan Kepolisian Resor Tangerang. Setelah dijemput di pintu pesawat, ia dibawa melalui jalan yang berbeda dengan penumpang lain. Ia segera dibawa ke mobil yang berhenti di area parkir pesawat.

Saat Ongen hendak diantar ke mobil itulah, menurut sumber, tiba-tiba ada mobil lain mendekat. Dua penumpang mobil itu segera turun, bergegas menuju Ongen, dan berusaha merebut paman penyanyi pop, Glenn Fredly, itu dari tangan polisi. ”Sempat terjadi rebutan sebelum tim Munir melarikan Ongen dengan mobil,” kata sumber itu.

Sumber yang sama menyebutkan, dua orang itu belakangan mengaku sebagai agen intelijen. ”Rupanya kedatangan Ongen dari Belanda juga diketahui agen-agen intelijen,” ia menambahkan.

Tak ada pejabat kepolisian yang bersedia memberi konfirmasi atas insiden saat penjemputan Ongen itu. Ajun Komisaris Besar Golkar Pangarso, Wakil Kepala Polres Tangerang, yang kabarnya datang saat itu, menolak memberi penjelasan. ”Kami hanya mendukung tim dari Markas Besar Polri saja,” katanya kepada Tempo.

Ajun Komisaris Besar Toni Harmanto, Kepala Polres Tangerang, juga mengaku tidak tahu. Menurut dia, polisi di daerahnya hanya bertanggung jawab menjaga rumah Ongen. ”Kami pantau rumah itu, baik ada permintaan maupun tidak, karena letaknya di wilayah tanggung jawab kami,” tuturnya.

Jika benar agen intelijen ikut ”beraksi” dalam penjemputan Ongen, tudingan keterlibatan Badan Intelijen Negara dalam pembunuhan Munir semakin kuat. Apalagi, menurut pengacara Heru Santoso, penyidik pun menanyakan hubungan kliennya, mantan Direktur Utama Indra Setiawan yang kini jadi tersangka, dengan lembaga intelijen itu.

Menurut Heru, dalam pemeriksaan terhadap Indra, penyidik menanyakan apakah Indra mengenal para pejabat BIN. Sebagai direktur utama perusahaan milik negara, ia menjelaskan, Indra sering bertemu dengan pejabat lembaga intelijen itu. ”Tapi bukan berarti mereka melakukan komunikasi,” kata Heru.

BIN sejak awal dicurigai, karena ada bukti hubungan telepon antara Pollycarpus Budihari Priyanto ke nomor telepon seluler yang biasa dipakai Muchdi Purwoprandjono, saat itu Deputi Kepala BIN Bidang Penggalangan. Hubungan juga terjadi antara nomor Pollycarpus dan telepon di kantor Muchdi pada hari kematian Munir. Pollycarpus sempat menghubungi nomor telepon Munir pada 2 September dan 6 September 2004.

Dalam berbagai kesempatan, Muchdi dan Pollycarpus menyatakan tidak saling mengenal. Menurut Muchdi ponselnya sering dipakai teman-teman dekatnya. ”Saya merasa tidak pernah berhubungan dengan Pollycarpus dan keluarganya,” kata Muchdi saat diperiksa penyidik pada 18 Mei 2005.

Untuk mengungkap misteri kematian Munir itu kini polisi antara lain berharap pada Ongen. Sumber Tempo menyatakan ia kini disembunyikan di sebuah tempat bersama keluarganya.

Menurut tetangga, polisi setiap hari mengontrol rumah Ongen. Mereka acap kali berpatroli dengan berpakaian seragam di depan rumah Ongen. Kadang-kadang ada yang mengendarai sepeda motor dengan bercelana pendek. ”Ada juga yang malam-malam tidur di gardu jaga sampai pagi,” kata seorang tetangganya sambil menunjuk gardu di ujung gang.

Menurut tukang ojek yang biasa mangkal di perumahan itu, Ongen adalah pria baik dan berperilaku halus. ”Sering ketika naik Opel Blazernya, Pak Ongen tetap menyapa kami,” kata seorang tukang ojek.

Tampak dari luar, rumah keluarga Ongen terkesan religius. Di dinding ada dua relief berbentuk salib dan gambar Yesus. Pada pintunya tergantung hiasan bertulisan: ”Berkatilah rumah ini Tuhan.”

Budi Setyarso, Arif A.K., Irmawati

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus