Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Debat Setelah Tampak Siring

Perjanjian ekstradisi dinilai oke, tapi kerja sama pertahanan menuai kritik. Bisa diombang-ambingkan parlemen.

7 Mei 2007 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DILIHAT dari wujudnya, tak ada yang istimewa dari dokumen 26 halaman berisi 19 pasal itu. Agak rumit dipahami awam: ditulis dalam bahasa Inggris yang rada pelik, sarat dengan istilah hukum. Inilah dokumen perjanjian ekstradisi dengan Singapura yang ditunggu-tunggu Indonesia sejak dasawarsa 1970-an.

Setelah ditandatangani di Istana Tampak Siring, Gianyar, Bali, Jumat dua pekan lalu, dokumen inidan dokumen kerja sama pertahanan yang diteken bersamaantak kunjung muncul ke ruang-ruang publik. Baru pekan ini pemerintah berniat membukanya. ”Pekan depan akan kami berikan ke Dewan Perwakilan Rakyat,” kata Menteri Luar Negeri Nur Hassan Wirajuda, Kamis lalu.

Bila disimak dengan saksama, sebagian isinya mirip dengan UU Nomor 1/1979 tentang Ekstradisi, sebuah UU yang mesti menjadi rujukan setiap perjanjian ekstradisi yang dibuat Indonesia dengan negara mana pun. Kemiripan itu antara lain terlihat dalam definisi tentang ekstradisi, daftar kejahatan, meski terdapat sejumlah butir baru dan hal-hal yang bisa membuat ekstradisi ditolak. Misalnya, bila kejahatan yang dimaksud adalah kejahatan politik (makar), atau kejahatan militer. Atau, bila seseorang yang dimintakan ekstradisi sedang dalam pemeriksaan hukum di Indonesia, sudah atau sedang dihukum untuk kejahatan yang sama, berada di bawah pengadilan khusus, atau bila sudah keluar perintah penghentian penyidikan dari kejaksaan. Di Indonesia, ini dikenal sebagai Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3).

Dalam dua pekan terakhir, anggota Komisi Pertahanan dan Luar Negeri DPR sudah keburu meradang. Ada yang mengeluh tak dapat akses untuk menilik dokumen perjanjian. Ada pula yang merasa pemerintah melanggar konstitusi karena tidak melibatkan mereka dalam proses diskusi. Yang jelas, sebagian marah karena kedua dokumen, yakni ekstradisi dan kerja sama pertahanan, saling berkait satu sama lain. Respons ini bisa merepotkan pemerintah mengingat kedua dokumen tak bisa dieksekusi tanpa ratifikasi DPR.

Joko Susilo, anggota Fraksi Partai Amanat Nasional, tak melihat ada yang bermasalah secara substansial dengan perjanjian ekstradisi. Ia mengakui Indonesia sangat membutuhkan perjanjian itu, apalagi setelah komisinya sudah lama menekan Menteri Luar Negeri untuk menyelesaikannya. Desember lalu, lantaran kesal akan lambannya masalah ekstradisi, komisinya memberikan rekomendasi agar pemerintah menunda penunjukan duta besar Indonesia untuk Singapura.

Menurut Joko, perjanjian ekstradisi dengan Singapura adalah prestasi. Tapi, ketika dikaitkan dengan kerja sama pertahanan, Joko mengaku kecolongan. Seingat dia, komisinya sudah sering mengingatkan pemerintah agar masalah ekstradisi dan kepentingan Singapura untuk mendapatkan area latihan militer tidak dipertukarkan. ”Ini sama saja dengan memaksa kita untuk meneken keduanya,” katanya. Ia yakin pembahasan di parlemen bisa alot sehingga ratifikasi tak mungkin turun tahun ini.

Seperti diungkapkan Tempo pekan lalu, kerja sama pertahanan itu meliputi pemberian area latihan militer bagi Si­ngapura di sekitar Tanjung Pinang, Ke­pulauan Riau, dan wilayah Natuna di Laut Cina Selatan seluas 60 x 60 mil laut, hak Indonesia menggunakan peralatan dan teknologi militer Singapura, ­pe­nitipan pesawat tempur dan hak untuk membangun berbagai infrastruktur di wilayah Indonesia demi menunjang latihan. Kerja sama ini berlaku untuk 25 tahun dengan evaluasi di tengah periode.

Suara senada terdengar dari Yuddy Chrisnandy, sesama anggota komisi. Ia mengacungkan jempol terhadap isi perjanjian ekstradisi yang dinilainya sudah sesuai dengan harapan publik. Misalnya, tentang tarik mundur 15 tahun yang dianggap cukup untuk menjaring para koruptor dana bantuan likuiditas Bank Indonesia. Juga, tentang butir-butir kejahatan ekonomi yang masuk dalam daftar kriminal. ”Tapi dari sisi prosedural tetap keliru, karena yang dipertukarkan terlalu besar,” kata anggota Fraksi Golkar itu.

Ia juga menunjuk kerja sama pertahanan yang dinilai memberi ruang gerak terlampau besar bagi Singapura. Meski sidang komisi belum lagi dimulai, Yuddy yakin mayoritas anggota komisi akan sependapat dengan dia. Lebih keras lagi adalah suara Permadi. Tokoh PDI Perjuangan ini bahkan sudah memutuskan pilihan.

Ia siap meratifikasi perjanjian ekstradisi, namun tidak dengan kerja sama pertahanan. Apakah memang bisa se­potong-sepotong? ”Mengapa tidak? Sejak awal kami sudah meminta agar keduanya tidak berkaitan,” katanya. Namun, tokoh senior di kandang Banteng ini mengingatkan, kepentingan pemerintah sangat besar dalam menggi­ring kedua dokumen ini agar lolos dari silang sengkarut di DPR. Ia tak akan heran bila negosiasi politik bisa mengubah suara yang paling vokal sekalipun di parlemen. ”Tunggu saja tekanan dari fraksi-fraksi,” Permadi, tergelak.

Kurie Suditomo

Tindak kriminal baru yang diakui dalam perjanjian ekstradisi Indonesia-Singapura:

  • Penyuapan
  • Pelanggaran terhadap hukum perusahaan
  • Pembiayaan kegiatan teror
  • Pelanggaran terhadap hukum yang berhubungan dengan keuntungan dari korupsi, peredaran obat bius, dan kejahatan serius lainnya
  • Pencurian, penggelapan, penipuan konversi, penipuan laporan keuangan, perolehan properti atau kredit dengan jaminan palsu, penerimaan properti hasil curian, atau pelanggaran lain yang berhubungan dengan penipuan properti, termasuk penipuan bank

Jalur Cepat Ekstradisi

BAIK di Singapura maupun di Indonesia, proses permintaan ekstradisi tetap memerlukan persidangan di negara yang diminta. Dengan kata lain, setelah seseorang yang diminta dapat dilokalisasimaksudnya ditahannegara tempat orang itu berada mesti memproses permintaan itu di pengadilan. Namanya peradilan ekstradisi.

Bedanya, sementara dalam kasus Hendra Rahardja (2003) pengadilan Australia membawanya hingga tingkat Mahkamah Agung, dalam kesepakatan dengan Singapura pengadilannya hanya di tingkat bawahdi Singapura di tingkat Magistrates’ Court, setara dengan tingkat pengadilan negeri di Indonesia. Yang terjadi pun bukan pembuktian terhadap kejahatan yang dituduhkan, melainkan memutuskan apakah ekstradisi bisa dilakukan atau tidak, sesuai dengan ketentuan dalam undang-undang tahun 1979. Berikut ini prosedur teknisnya.

  1. Kementerian kehakiman di masing-masing negaradi Indonesia adalah Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusiaberperan sebagai pihak peminta ekstradisi.
  2. Permintaan ekstradisi harus meliputi sejumlah dokumen:
    • Permintaan deskriptif yang menyebut identitas orang yang bersangkutan, termasuk foto diri
    • Keterangan pelanggaran yang ia lakukan secara deskriptif, termasuk waktu dan lokasi
    • Keterangan tentang ketentuan hukum yang dilanggar
    • Konfirmasi dari Kejaksaan Agung tentang kasus ini dan kelengkapan semua dokumen di atas.
  3. Bila statusnya tersangka, harus dilampirkan surat permintaan penahanan. Demikian pula bila statusnya terdakwa atau terpidana, harus dilampirkan surat keputusan hakim atau penetapan pengadilan.
  4. Berkas perkara kemudian dibawa oleh menteri kehakiman ke presiden, lalu diteruskan ke kejaksaan dan kepolisian negeri yang diminta.
  5. Polisi bisa menangkap dan melakukan pemeriksaan serta menuliskannya dalam berita acara. Kejaksaan lalu meminta pengadilan negeri tempat orang yang bersangkutan ditangkap untuk mengadakan sidang selambat-lambatnya tujuh hari setelah berita acara dibuat.
  6. Proses penangkapan dilakukan melalui kerja sama dengan Interpol, dan dapat dilakukan penahanan maksimal 45 hari di negara yang diminta. Barang bukti yang didapat saat penangkapan berhak dibawa bersama-sama orang yang diekstradisi kembali ke negara yang meminta.
  7. Sidang digelar, kejaksaan setempat bertindak mewakili kepentingan negara yang meminta ekstradisi. Sidang ini akan memeriksa sejumlah hal, antara lain apakah identitas orang yang diminta cocok, apakah kejahatannya masuk daftar kejahatan yang dapat diekstradisi (bukan termasuk kejahatan politik atau militer), dan apakah hak meminta ekstradisi tersebut sudah kedaluwarsa atau tidak.
  8. Keputusan pengadilan, apakah bisa diekstradisi atau tidak. Keputusan ini dibuatkan penetapannya dan diserahkan ke kementerian kehakiman.
  9. Kementerian kehakiman kemudian akan mengantarkan penetapan pengadilan itu ke presiden, bersama pertimbangan dari menteri kehakiman, menteri luar negeri, jaksa agung, dan kepala kepolisian negara, untuk mendapat keputusan akhir dari presiden.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus