KLIMAKS Bosnia, siapa tahu, akan meledak pekan-pekan ini. Tanda-tandanya semakin nyata. Akhir dua pekan lalu dikabarkan terlihat gerakan tentara reguler dari Republik Kroasia masuk ke wilayah Bosnia-Herzegovina. Jelas, mereka ingin membantu sesama puak, milisi Kroasia di Bosnia, yang sedang bertempur melawan pasukan muslim Bosnia dan milisi etnis Serbia. Presiden Bosnia, Alija Izetbegovic, menyatakan paling tidak 20.000 tentara Kroasia sedang mengatur posisi di garis depan. Semula, laporan tentang gerakan pasukan Kroasia ini, dari duta besar Bosnia di PBB, dibantah oleh ketua Dewan Keamanan PBB. Pekan lalu laporan itu dibenarkan oleh Sekretaris Jenderal PBB, Boutros Boutros Ghali. Walaupun jumlahnya dinyatakan lebih kecil, 3.000 hingga 5.000 serdadu. Dalam suratnya, duta besar Bosnia meminta agar gerakan itu dihentikan, karena hal itu sudah merupakan intervensi satu negara terhadap negara lain. Jawaban PBB untuk permintaan ini sampai akhir pekan lalu belum terdengar. Para pengamat di garis depan menduga, inilah langkah Kroasia untuk menjawab bangkitnya kekuatan di pihak muslim Bosnia. Seperti diberitakan pekan lalu, belakangan ini pasukan muslim Bosnia berhasil merebut kembali sejumlah jalan yang dikuasai oleh etnis Kroasia di Bosnia tengah. Ini, antara lain, berkat dukungan persenjataan, setelah muslim Bosnia berhasil menjalankan kembali pabrik senjata di Bosnia tengah yang dibom Serbia sekian bulan lalu. Yang ditakutkan Kroasia -- baik etnis Kroasia maupun Republik Kroasia -- bila muslim Bosnia berhasil merebut kembali Kota Vitez. Di kota ini berdiri dan masih berjalan dengan baik sebuah pabrik senjata besar. Dalam dua minggu terakhir ini, menurut Reuters, praktis kota yang diuasai oleh etnis Kroasia ini sudah terkepung oleh pasukan muslim Bosnia. Dan tampaknya tak salah lagi, sasaran pasukan muslim Bosnia memang pabrik senjata itu. "Pabrik di Vitez adalah kunci kemenangan kami," kata seorang jenderal Bosnia. Menurut perhitungan, dengan menguasai pabrik di Vitez itu pasukan muslim akan mendapat pasokan amunisi untuk berperang sampai lima tahun. Bisa saja pihak Kroasia yang sedang terkepung meledakkan pabrik itu. Tapi ini sangat berbahaya, karena pabrik itu begitu besar. Membumihanguskan Vitez, bagi etnis Krosia, sama saja dengan bunuh diri 15.000 jiwa yang berdiam di kota itu akan tewas. Dengan perhitungan seperti itu, sangatlah masuk akal bila Kroasia mengirimkan 20.000 pasukannya guna mempertahankan Vitez. Satu pertempuran besar tampak segera meledak di wilayah ini. Selain menguasai Vitez, pemerintah Bosnia bermaksud membuka jalan ke Laut Adriatik. Maklum, selama ini wilayah yang dikuasai pemerintah tak punya akses ke laut, terjepit oleh milisi Kroasia dan Serbia. Selama ini, bantuan bisa sampai ke penduduk muslim berkat pengawalan yang dilakukan pasukan PBB. Itu pun dengan beberapa kali pencegatan dan penggeledahan, yang membuat penyampaian bantuan menjadi tertunda-tunda, bahkan tak sampai sama sekali. Koridor bagi penduduk muslim ini akan menjadi semakin penting jika pasukan PBB yang kini berada di Bosnia selesai masa tugasnya akhir April nanti. Naga-naganya, tak akan ada lagi pasukan pengganti, meski Sekjen Boutros Ghali sudah mencanangkan akan ada penggantian. Kalau ternyata PBB mendapatkan kesulitan mengirimkan pasukan perdamaian, tanpa koridor yang menjamin akses ke laut untuk pengiriman bantuan kemanusiaan, pihak muslim Bosnia bisa terjepit mati kelaparan. Tak ada lagi jalan buat mereka yang terkepung rapat. Mengirim lewat udara pun berisiko sangat tinggi, karena meriam milisi Serbia praktis bisa menjangkau semua bandara yang dikuasai pemerintah. Tentara reguler Republik Kroasia, selain berniat mempertahankan Vitez, agaknya juga untuk mencegah pasukan muslim membuka jalan langsung ke laut. Jika perjanjian damai antara Serbia dan Kroasia yang diteken tiga pekan lalu benar- benar berlaku, misi ini tak sulit dilaksanakan. Milisi Kroasia, dengan bantuan pasukan reguler Kroasia, bisa bekerja sama dengan milisi Serbia untuk menjepit pasukan muslim yang menguasai separuh Kota Mostar. Sementara itu, di wilayah yang dikuasai Serbia, mobilisasi besar-besaran juga sedang berlangsung. Pihak Serbia bahkan memaksa para pengungsi yang kabur dari wilayah muslim untuk bekerja membantu tentara. Bukan hanya etnis Serbia yag dipaksa membantu, juga etnis muslim Bosnia. Protes dari Komisi Tinggi PBB untuk Pengungsi lenyap ditimpa gelegar meriam-meriam Serbia. Dan sejauh ini pihak NATO belum juga memastikan apa yang akan dilakukan. Usul Prancis agar serangan udara segera dilakukan malah menimbulkan salah pengertian dengan Amerika Serikat, yang makin enggan turut campur. Menteri Luar negeri Rusia, Andrei Kozyrev, apalagi, bersuara keras menentang serangan udara. Di balik pernyataan di permukaan, konon memang ada yang mengganjal di bawah. Kabarnya, keengganan Eropa (Barat) membantu Bosnia karena ditakutkan akan muncul kantung muslim militan yang bisa mengganggu stabilitas Eropa. Sedangkan di AS, diduga, lobi Serbia memang kuat. Mungkin karena itu ancaman Barat akan menjatuhkan sanksi ekonomi di Balkan malah balik diancam. "Jika ada sanksi, kami malah akan mengobarkan perang," kata duta besar Kroasia di PBB, Mario Nobilo. Ini memang cuma perang gertak. Jika sanksi ekonomi dijatuhkan pun, target agar perang berhenti juga tak bakal tercapai. Hitungan mundur untuk sebuah pertempuran besar agaknya sudah dimulai. Suara kepasrahan karena bantuan luar tak mungkin lagi diharapkan sudah terdengar di Sarajevo (lihat Suara Pasrah dari Sarajevo). Mereka siap "mati bersama dalam cinta". Akankah Yang Mahakuasa membiarkan ini semua terjadi? Yopie Hidayat
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini