WAJAH Cory du Busse dalam novel Salah Asoehan yang beredar adalah wajah yang sudah didandani. Periasnya adalah Profesor Drewes, Kepala Volkslectuur (kini penerbit Balai Pustaka) saat itu. Guru Besar Bahasa dan Kesusastraan Melayu dan Indonesia Universitas Leiden Prof. A. Teeuw pernah menanyakan sensor ini langsung kepada Prof. Drewes. "Drewes mengakui memang ada pemotongan beberapa adegan, saat Cory berada di rumah pelacuran," kata A. Teeuw lewat telepon. Ketika itu, A. Teeuw menanyakan mengapa naskah itu harus disensor, dan jawaban Prof. Drewes: karena ia tak ingin gadis Eropa kelihatan terlalu negatif. "Sayang sekali naskah asli tulisan Abdoel Moeis sudah hilang. Jika tidak, kita akan mengetahui bagian-bagian yang terpotong itu," kata penulis buku Modern Indonesian Literature itu. Bagian yang terpotong itu, hingga kini, tak jelas di mana belantaranya. Yang jelas, menurut Mohamad Akhir Moeis, putra bungsu Abdoel Moeis, ayahnya saat itu sedang dalam kesulitan hidup sehingga terpaksa mengalah. "Meski ia anak seorang lare (semacam raja kecil yang kaya raya di Sumatera Barat), menurut ibu saya, Ayah tak mau hidup dibantu bapaknya sendiri walau kakak tertua saya dalam keadaan sakit," ujarnya. Kompromi pun harus ditempuh. Tapi benarkah ini semua? Alkisah, sebelum novel itu diserahkan kepada penerbit, istri Abdoel Moeis menyalin terlebih dahulu naskah suaminya yang masih oret-oretan belum begitu rapi itu. Cerita ini dikisahkan oleh majalah Famili edisi Februari 1983, yang mewawancarai Nyonya Abdul Moeis. Dan mungkin karena itu, Nyonya Moeis masih ingat isi naskah suaminya yang ia salin. Nah, menurut Nyonya Moeis, seperti diceritakan oleh anak bungsunya, Mohamad Akhir Moeis itu, yang diterbitkan Volkslectuur memang tak seperti yang disalinnya. Menurut Prof. Teeuw, Drewes bahkan menceritakan bahwa semula naskah itu akan diterbitkan oleh sebuah penerbitan milik orang Tionghoa. "Tapi akhirnya Volkslectuur yang menerbitkannya," kata Prof. Teeuw. Itu terjadi setelah naskah itu mendekam selama setahun di redaksi Volkslectuur. Siapa tahu, penerbit Cina itu tak jadi menerbitkan Salah Asoehan karena tak berani -- karena dianggap bisa menyinggung sang penjajah. Jadi, bagaimanakah sesungguhnya gambaran Abdoel Moeis tentang Cory? "Ayah saya ingin menggambarkan wanita Indo zaman itu, yang tidak diterima di mana-mana, baik di pihak Belanda maupun di pihak pribumi," ungkap Akhir Moeis. Seorang pengamat sastra bernama Sjafi R. Batuah menulis sebuah ulasan berjudul "Di Balik Tirai Salah Asuhan" dalam jurnal Pustaka dan Budaya edisi September 1960. Entah dari mana sumbernya, menurut Sjafi, "Cory yang sebenarnya adalah gadis pesolek yang sangat me- nyukai pergaulan bebas." Dikatakan, masih menurut tulisan Sjafi, Cory sering bergaul dengan seorang pemain keroncong bernama Jantje. Cory, yang akhirnya berpisah dengan Hanafi, hidup sebagai seorang wanita malam yang kemudian mati tertembak oleh salah seorang pemujanya. Versi yang tak jelas sumbernya ini (karena tak disebutkan referensinya) sukar dikonfirmasikan kebenarannya. Namun, Akhir Moeis mengakui, versi itu tak terlalu jauh dari cerita yang dikisahkan ibunya kepadanya. "Menurut ibu saya, memang Cory yang digambarkan ayah saya tak selunak seperti versi yang sudah diterbitkan kini. Setelah berpisah dengan Hanafi, akhirnya dia menjadi sripanggung dan mati ditembak salah satu pemujanya yang cemburu," ungkap Akhir. Versi Cory yang ditembak mati itulah yang kemudian dituangkan Ami Priyono ke dalam sinetron yang kini bisa disaksikan penonton TV Indonesia. "Kami memilih sesuai dengan yang dikisahkan Pak Akhir Moeis kepada kami," kata Ami.LSC dan Dwi S. Irawanto
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini