SADDAM Hussein memang kalah, tapi sisa guncangannya di Kuwait sampai kini masih terasa di seluruh kawasan Timur Tengah. Para politikus dan negarawan di kawasan itu kini dipaksa memikirkan upaya perdamaian dan keamanan bagaimana meluluskan munculnya semangat demokrasi dari arus bawah tanpa menimbulkan konflik sosial-politik memecahkan hubungan Arab-lsrael mencarikan jalan keluar Palestina perkembangan pergolakan di Irak dan hubungan antarnegara Arab sendiri. Semuanya itu tampaknya bertumpu pada satu persoalan raksasa, yakni bagaimana menciptakan wilayah yang aman dan damai -- hal yang makin dirasakan perlunya setelah terjadi Krisis Teluk. Negara-negara Arab boleh saja berdalih itu adalah urusan intern mereka sendiri. Celakanya, persatuan di kalangan negara Arab sebegitu jauh hanyalah angan-angan belaka walaupun nasionalisme Arab sudah berdengung lama. Akibatnya, sering justru berbagai kekuatan luarlah yang diminta mengatasi problem di situ. Perang Teluk terakhir II adalah contoh paling kongkret dilema itu. Maka, sebuah konperensi perdamaian Timur Tengah yang direncanakan, mau tak mau, mesti melibatkan pihak luar. Pengamat peristiwa internasional Juwono Sudarsono, dalam Seminar Timur Tengah Pasca-Perang Kamis malam pekan lalu di Jakarta, mengatakan, ada dua titik pandang yang harus bertemu dahulu kalau konperensi itu diadakan: pandangan dari luar ke dalam -- artinya dari negara-negara non-Arab -- dan dari dalam keluar pendapat negara-negara Arab sendiri. Pertemuan Liga Arab di Kairo pada akhir Maret lalu bisa dikatakan sebagai langkah pertama ke arah tercapainya kesatuan titik pandang antara kedua kutub tersebut. Pertama, Liga sudah sampai pada kesimpulan bahwa PLO bukan lagi satu-satunya organisasi yang mewakili kepentingan rakyat Palestina. Sikap pro Saddam Yasser Arafat membuat negara-negara Arab pemenang perang kecewa terhadap organisasi tersebut. Persoalannya, Arafat dengan gerilyawan Al Fatahnya adalah faksi terbesar yang menguasai PLO. Organisasi gerilyawan yang disponsori Suriah, Front Nasional Penyelamat Palestina, belum cukup kuat untuk menggantikan PLO. Hal lain dari pertemuan itu, kemungkinan adanya perubahan sikap beberapa negara Arab dalam memandang Israel. Dahulu, karena Anwar Saddat mengakui eksistensi Israel, Mesir menjadi negara paria di dunia Arab. Kantor pusat Liga Arab dipindahkan dari Kairo ke Tunis, dan Mesir dikucilkan oleh sebagian negara Arab radikal. Namun, pertemuan pada akhir bulan silam memutuskan, markas besar Liga Arab dikembalikan lagi ke Kairo. Itu secara tak langsung menggambarkan beberapa negara Arab tidak mempersoalkan lagi hubungan antara Kairo dan Yerusalem meskipun masih harus hati-hati untuk mengatakan bahwa secara implisit itu juga menjadi pertanda akan kesediaan beberapa negara Arab untuk mengikuti jejak Mesir: mengakui keberadaan negara Yahudi itu. Gagasan lain yang menarik adalah pembentukan sebuah federasi yang terdiri dari Tepi Barat dan Jalur Gaza yang mewakili Palestina, Yordania, dan Irak. Menurut Raja Hussein dari Yordania, pembentukan itu demi terciptanya kestabilan di Timur Tengah. Mengingat masalah pokok di kawasan ini adalah konflik Israel-Palestina, tampaknya jalan keluar dengan membentuk federasi memang bisa menyeimbangkan ketidakstabilan. Tapi persoalannya, maukah pihak Palestina menerima itu, dan bagaimana sikap PLO. Belum lagi soal Irak: Irak yang mana. Alasannya ialah belum ada tanda-tanda bahwa Saddam Hussein akan terlempar dari kursinya. Dan yang juga menentukan, maukah Israel melepaskan Tepi Barat. Penguasaan Israel atas Tepi Barat sesungguhnya bertumpu pada pertimbangan ideologi. Penganut konservatif agama Yahudi yakin bahwa Tepi Barat yang dahulu namanya Judea dan Samaria adalah wilayah yang dijanjikan Tuhan pada para penganut agama Yahudi. Dan karena pengalaman masa lalu yang selalu terancam oleh terorisme, konservatisme di Israel makin populer. Dengan demikian, pembentukan federasi gagasan Raja Hussein memerlukan perubahan sistem nilai di kalangan masyarakat Israel. Juga, perubahan UUD Israel, lantaran pencaplokan Tepi Barat telah disahkan dalam konstitusinya. Hal-hal positif yang digambarkan di atas hanyalah sebagian kecil dari prasyarat untuk terselenggaranya konperensi perdamaian dan sekuriti Timur Tengah. Masih banyak soal lain yang harus dijelaskan dahulu: peranan PBB, kesenjangan antara negara-negara Arab radikal dan yang konservatif, kesenjangan antara negara-negara Arab kaya dan yang miskin, peran Amerika sebagai satu-satunya superkuat tapi tak cukup kuat ekonominya. Dan tentu juga harus diperhitungkan, perubahan sosial di dalam negeri masing-masing, terutama di Saudi dan Kuwait. Di Saudi, suatu gerakan kaum muda mulai menanyakan sistem pemerintahan, dan sensor pers. Inilah rupanya wajah Timur Tengah pascaperang. A. Dahana
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini