"SAYA orang baik-baik. Biar saya pengangguran, Saya tidak panjang tangan ...." Suara cadel itu mengalun dari celah-celah ketiak di atas bis PPD nomor 70. Di luar, aspal Jakarta mendidih diterpa terik matahari. Banyak penumpang tidur dan pura-pura tertidur. Mungkin ngeri melihat tungkai tangan dan kaki Buyung yang sejak lahir tak berjari. Toh, pada akhir lagu, gemerincing cepekan mengisi kantung permen yang sudah ribuan kali dilipat-lipat itu. "Lumayan, Om, udah dapet seceng," ujarnya, di halte bis. Tapi hari masih panjang, dan ratusan kilometer masih harus ditempuh Buyung. Nasib memang tak selalu ramah pada bocah 16 tahun ini. Lima tahun lalu, ke Jakarta ia kabur. Orangtuanya pun menyusul dari Aceh. "Saya ingin jadi penyanyi," tuturnya. "Kalau sudah nyanyi, segala yang susah jadi hilang." "Saya Tidak Mau Pekerjaan Lain" BUYUNG, kata ibunya, lahir setelah 11 bulan di kandungan. "Ketika keluar, yang nongol duluan pantatnya," ujar ayahnya. Tapi di rumah kontrakannya, Buyung yang berkuasa. Ayahnya tidak mempunyai pekerjaan tetap. Berkat Buyung asap dapur terus mengepul dan sebuah televisi hitam putih "kreditan" bertengger di pojok. "Penghasilan saya sehari Rp 15 ribu," ia menjelaskan. "Sebagian saya serahkan ke Emak untuk sekolah adik-adik." Buyung sendiri belum pernah mengecap pendidikan. Uangnya habis untuk nonton film India setiap malam Minggu, dan sesekali beli kaset dangdut. "Saya hafal seratusan lagu dangdut dan sembilan lagu India," ujarnya bangga. "Saya tidak mau kerja lain." Foto dan Teks: Yudhi Soerjoamodjo
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini