Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Menunggu Demokrasi di Burma

Pencalonan Burma sebagai pemimpin ASEAN masih dipersoalkan. Penguasa militer memandang posisi ini sebagai legitimasi politik internasional.

14 November 2011 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DI MANDALAY, Burma, sejumlah pemimpin kelompok oposisi berkumpul untuk menyatukan kekuatan pada 30 Oktober lalu. Democratic Party (Myanmar), People's Democracy Party, dan Democratic Alliance Party telah membentuk komite aksi gabungan serta sepakat bertemu pada minggu keempat setiap bulan. Pertemuan itu membahas isu politik, sosial, pelanggaran hak asasi manusia serta merancang strategi politik untuk menghadapinya.

"Dengan bersatu, kami bakal lebih kuat dan bisa mewujudkan demokrasi," kata Dr Soe Linn, pemimpin Democratic Alliance Party. Kelompok oposisi belajar dari pengalaman kekalahan mereka pada pemilihan umum November tahun lalu bahwa, untuk bisa menang, kelompok pendukung demokrasi mesti bersatu.

Mandalay bukanlah sembarang tempat. Pada dekade 1990, di kota inilah National League for Democracy—partai yang didirikan Aung San Suu Kyi—dan kelompok prodemokrasi bersatu melawan junta militer. "Mandalay adalah tempat bersejarah. Kami berusaha mengulang hal yang sama," kata U Tin Hla, pelindung Democratic Party cabang Mandalay. Sayangnya, pencalonan Burma menjadi pemimpin Association of Southeast Asian Nations (ASEAN) luput dari agenda pembicaraan. Padahal nasib Burma bakal diputuskan pertengahan November ini.

"Masyarakat, parlemen, dan partai politik minim informasi mengenai ASEAN, perhitungan untung-ruginya, termasuk pencalonan jadi ketua," kata Khin Ohmar, Koordinator Burma Partnership, kepada Tempo, Kamis pekan lalu. Burma Partnership adalah lembaga swadaya masyarakat nonpemerintah yang bergerak di bidang hak asasi manusia.

Januari lalu, Presiden Burma Thein Sein menyampaikan keinginan memimpin ASEAN pada 2014. Sein adalah presiden yang terpilih dalam pemilihan umum pertama di Burma dalam 20 tahun terakhir. Tapi negara-negara Barat menuding kemenangan Union Solidarity and Development Party, partai yang didukung militer, dalam pemilu November 2010 itu penuh kecurangan. Pasalnya, hanya partai politik propemerintah yang boleh ikut pemilu. Sedangkan National League for Democracy dinyatakan ilegal oleh junta militer.

Sebanyak 86 persen anggota parlemen pemerintah Sein berasal dari militer. Presiden Sein berupaya membuat perubahan dengan membebaskan Aung San Suu Kyi dari tahanan rumah, memberi izin pulang kepada aktivis yang menjadi ekspatriat, dan membuka akses situs yang selama ini diblokir, seperti YouTube, Democratic Voice of Burma, dan Voice of America.

Menurut Ohmar, pemerintah tidak transparan memberikan informasi kepada masyarakat dan kelompok oposisi. Tak mengherankan kalau isu pencalonan Burma sebagai pemimpin ASEAN luput dari pembicaraan. "Penguasa militer sangat ingin posisi ketua agar mendapat legitimasi politik internasional," ujarnya.

Burma pernah mendapat giliran menjadi pemimpin ASEAN pada 2006. Tapi negara ini kehilangan kesempatan itu karena pelanggaran hak asasi manusia oleh pemerintah junta militer yang berkuasa saat itu. Negara-negara Barat pun menolak jika Burma memimpin ASEAN. Pada pertemuan tahun itu, para pemimpin negara ASEAN sepakat negara yang menjadi anggota ASEAN pada Juni 1997 ini baru mendapat gilirannya pada 2016.

Menurut Ohmar, penguasa militer menjadikan jabatan ketua sebagai batu loncatan sebelum masa pemilu berikutnya, 2015. "Kalau tidak, buat apa mereka buru-buru meminta percepatan ke 2014 dari yang seharusnya 2016?" tutur Ohmar.

Mei lalu, akhirnya para menteri luar negeri ASEAN meminta Indonesia menjadi pemimpin ASEAN untuk mengevaluasi kesiapan Burma. Akhir bulan lalu, Menteri Luar Negeri Marty Natalegawa bertolak ke negeri itu menemui Presiden Sein, Aung San Suu Kyi, dan beberapa pemangku kepentingan. "Saya memeriksanya dari sudut pandang pikiran pemerintah dan masyarakat," kata Marty kepada Tempo.

Seusai pertemuan itu, Suu Kyi menyatakan hanya akan mendukung pencalonan pemerintah jika melihat bukti reformasi dan demokratisasi. Dari kunjungan itu, Marty memang melihat ada beberapa perubahan. Tapi, "Mengakui adanya perubahan bukan berarti dukungan," kata Marty. Pengakuan tersebut, ujar Marty, merupakan bentuk pendekatan yang berbeda dari negara ASEAN untuk mendorong Burma melanjutkan upaya demokratisasinya. Pencalonan ini bisa jadi momentum untuk mempercepat perubahan di Burma.

Marty belum memberikan jawaban "ya" atau "tidak" atas proposal Burma. Negara-negara ASEAN sepakat memutuskan bersama hal ini pada pertemuan 17-19 November mendatang di Bali.

Nieke Indrietta, Yogita (Myanmar Times, Asian Correspondent, Human Rights Watch.com)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus