Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Berebut Duit Taman Jurassic

Yayasan New7Wonders berharap mendulang banyak uang. Indonesia dijanjikan menang jika menjadi tuan rumah acara puncak.

14 November 2011 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PERDEBATAN itu terjadi di ruang VIP restoran lantai dasar Hotel Sahid, Jakarta Pusat, awal Januari lalu. Direktur New7Wonders Jean-Paul—penyelenggara kompetisi Tujuh Keajaiban Dunia berdasarkan dukungan suara—berdebat dengan Direktur Jenderal Pemasaran Pariwisata Sapta Nirwandar.

Jean-Paul datang untuk menanyakan keseriusan Indonesia menjadi tuan rumah puncak pengumuman Tujuh Keajaiban Dunia, yang dijadwalkan pada 11-11-11, Jumat pekan lalu. Hadir di ruangan itu antara lain dua anggota staf Sapta—kini Wakil Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif—juga Lolita Zusye, pemilik Yayasan Lolita Lita Anugrah, rekanan New7Wonders.

Jean-Paul mempertanyakan janji Sapta soal keputusan presiden tentang penetapan Indonesia sebagai tuan rumah. Tapi Sapta menyalahkan New7Wonders, yang telah memilih Lolita Zusye sebagai rekanan lokal. "Sapta marah karena penunjukan rekanan lokal itu tak didiskusikan dengan Kementerian Pariwisata," kata sumber Tempo yang mengikuti pertemuan itu.

Direktur New7Wonders berang. Warga negara Prancis ini menuduh Sapta, yang mendapatkan gelar doktor di Prancis, mempermainkan perusahaannya. Sumber lain menyebutkan keduanya berdebat dalam bahasa Inggris dan Prancis. "Debatnya aneh," kata sumber ini.

Tiba-tiba saja Sapta berdiri dan menggebrak meja. Jean-Paul tetap duduk. Mukanya memerah. Pertemuan dengan suguhan buah-buahan, kue manis, serta teh dan kopi itu bubar. "Tak ada lagi yang perlu dibicarakan!" kata sumber Tempo menirukan ucapan Sapta. Tak ada jabat tangan. Sapta keluar dari ruangan tanpa pamit.

Jean-Paul saat dihubungi Tempo mengaku tak ingat keributan itu. "Saya sudah berhenti memikirkan Sapta," katanya. Sapta membenarkan pertemuan yang diwarnai perselisihan itu. Dia marah karena merasa diperas oleh New7Wonders. Menurut dia, pemerintah diharuskan mengeluarkan uang hingga US$ 45 juta untuk menjadi tuan rumah. "Mereka seenaknya meminta uang."

Ihwal biaya US$ 45 juta itu ternyata sudah diinformasikan kepada Sapta akhir Maret 2010. Dalam surat elektronik Direktur New7Wonders Joanna Trobe kepada Sapta, yang salinannya diperoleh Tempo, terlihat jelas perincian pengeluaran sebagai tuan rumah. Indonesia harus membayar lisensi dengan harga penawaran mulai US$ 7 juta. Setelah itu, Kementerian harus mengeluarkan biaya arena dan produksi. Jika Indonesia terpilih, total biaya yang harus dibayarkan US$ 25-45 juta, bergantung pada pelaksanaan di dalam atau luar ruang.

Anehnya, pada 25 Agustus, Sapta membalas surat ke Jean-Paul, yang intinya menyatakan tertarik mengikuti lelang. Bahkan, pada hari pertama September, Sapta mengirim surat lagi. Isinya, Kementerian akan meminta diterbitkannya keputusan presiden. Sapta menyebutkan draf itu sedang diselesaikan Sekretaris Negara. Menganggap pemerintah serius, Jean-Paul dalam suratnya pada 27 September menyatakan Jakarta bakal menjadi tuan rumah acara puncak pemilihan Tujuh Keajaiban Dunia.

Di sinilah masalah mulai timbul. Sapta, yang mengakui adanya surat-menyurat itu, mengaku kaget dengan lisensi sebesar US$ 10 juta dan penunjukan langsung partner lokal. "Kok, enak saja main naikin harga," katanya. Inilah yang, menurut Sapta, membuat kementeriannya tak menanggapi permintaan itu.

Sejumlah sumber Tempo yang mengetahui seluk-beluk persoalan itu mengatakan justru Sapta-lah sumber masalah. Sumber ini bercerita Sapta meminta jatah 30 persen dari total anggaran perayaan puncak kepada penyelenggara. Permintaan ini diajukannya kepada Ermiel Thabrani, pemilik Brainworks, perusahaan yang awalnya ditunjuk sebagai rekanan lokal New7Wonders sebelum Lolita.

Menurut sejumlah sumber, Ermiel pernah bertemu dengan Sapta di ruang kerjanya di lantai 17 Kementerian Pariwisata. "Ermiel tak senang dimintai uang," kata seorang sumber. Pada awal Desember, New7Wonders membatalkan kontrak dengan Brainworks karena tak kunjung memberikan uang muka US$ 3 juta.

Perusahaan itu kemudian memilih Yayasan Lolita Lita Anugrah. Lolita bahkan diangkat menjadi Direktur New7Wonders Indonesia. Setelah konflik di Hotel Sahid, New7Wonders membatalkan Indonesia sebagai tuan rumah. Keputusan presiden pun tak kunjung keluar. "Padahal keputusan itu menjadi tanda jadi. Karena keputusan presiden tak keluar, pemerintah dianggap tak serius," kata Ermiel.

Ermiel membantah ada pembicaraan dengan Sapta soal komisi 30 persen. Ia menuding Indonesia gagal menjadi tuan rumah karena Sapta tak serius menyiapkan anggaran dan keputusan presiden. Anggota Komisi Pariwisata Dewan Perwakilan Rakyat, Eko Hendro Purnomo, membenarkan Kementerian tak mengajukan anggaran menjadi tuan rumah acara itu pada penyusunan anggaran pendapatan dan belanja negara. "Padahal kami sudah mendorong pemerintah," kata politikus Partai Amanat Nasional ini.

Sapta membantah jika dikatakan meminta komisi 30 persen. "Tidak benar itu." Menurut dia, tindakannya menolak menjadi tuan rumah semata-mata untuk menjaga uang negara dari perusahaan abal-abal. "Anda lihat sendiri kantor New7Wonders palsu."

l l l

MUSEUM itu berdiri di kawasan elite tepi Danau Zurich. Bangunannya unik, modern, dan multiwarna. Pada pintu kaca tertempel tulisan berbahasa Inggris dan Jerman: "tutup sampai musim panas 2012". Ini berarti museum yang didedikasikan untuk Charles-Edouard Jeanneret—lebih dikenal dengan nama Corbusier, arsitek Swiss bergaya internasional—itu baru dibuka kembali sekitar Juli tahun depan.

Sulit dipercaya museum itu merupakan kantor pusat Yayasan New7Wonders. Ketika Tempo berkunjung ke sana Kamis pekan lalu, tak terlihat satu pun atribut yayasan di sana. Plang nama perusahaan pun nihil. Bangunan dua lantai berukuran 15 x 12 meter di Hoeschgasse 8, 8008, Zurich, Swiss, itu merupakan museum pribadi milik Heidi Weber. Anaknya, Bernard Weber, adalah pendiri New7Wonders.

Sejumlah warga Hoeschgasse 8 mengaku tak tahu museum yang hanya dibuka selama tiga bulan itu jadi markas New7Wonders. Bahkan, "Saya tak kenal nama itu," kata seorang petugas kebersihan setempat. Alamat New7Wonders tercantum di Hoeschgasse 8, 8034, Zurich. Tapi Tempo tak menemukan jejak perusahaan itu di alamat yang tercetak pada kop surat.

Ketidakjelasan alamat New7Wonders ini dipermasalahkan sekitar dua pekan lalu. Duta Besar Indonesia untuk Swiss, Djoko Susilo, mengatakan telah meneliti keberadaan kantor New7Wonders. Kesimpulannya, "Itu perusahaan bodong," katanya.

Wakil Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Sapta Nirwandar mengatakan alamat palsu ini menjadi salah satu alasan kementeriannya mencabut Taman Nasional Komodo dari daftar 28 situs alam finalis kompetisi itu pada Agustus lalu. Kampanye Taman Komodo dilanjutkan oleh Pendukung Pemenangan Komodo, yang dimotori aktivis Emmy Hafild.

Yayasan New7Wonders menyangkal tudingan itu. Head of Communication New7Wonders Eamonn Fitzgerald mengatakan perusahaannya memang memiliki dua alamat dengan kode pos berbeda. "Tak satu pun dari keduanya palsu," katanya. Dia mengklaim New7Wonders adalah perusahaan internasional yang didukung jutaan orang di dunia melalui voting. "Kami memang berbasis di Swiss, tapi tak berarti harus populer."

Taman Nasional Komodo menjadi magnet untuk New7Wonders. Menurut Ermiel Thabrani, Jean-Paul menganggap taman itu berbeda dengan 27 situs alam lain. "Semacam Jurassic Park-lah," katanya. Dia tak mengelak Taman Komodo bakal mendatangkan keuntungan berlipat untuk perusahaannya. Ia memperkirakan bakal memperoleh Rp 800 miliar jika Indonesia menjadi tuan rumah. "Kalau saya saja segitu, duit untuk New7Wonders jauh lebih besar lagi," ujarnya.

Dia menjelaskan perusahaannya dan New7Wonders bakal meraup untung dari biaya pengiriman pesan pendek. Perinciannya, dengan tarif Rp 1.000, operator mendapat Rp 300, penyedia konten Rp 350, dan sisanya untuk New7Wonders serta mitra lokal. Tapi Komisaris Mobilink Eko Indra Utama, yang mengurus pengolahan pesan pendek, membantah anggapan mengambil keuntungan. Apalagi tarif pesan pendek dipangkas habis hingga tinggal Rp 1. "Tak mungkin kami ambil untung."

Tak hanya dari pesan pendek. Menurut Ermiel, keuntungan terbesar berasal dari hak cipta. Semua pihak yang menggunakan logo New7Wonders harus membayar fee. Hak cipta ini mulai pembuatan pernak-pernik, sebangsa kaus, topi, dan buku, hingga iklan. "Kalau mengatasnamakan Komodo sebagai Tujuh Keajaiban Dunia, ya, harus bayar."

Jean-Paul tak membantah jika dikatakan mendulang duit dari ajang ini. Menurut dia, keuntungan yang diperoleh dari pesan pendek tak hanya datang dari Indonesia, tapi juga dari seluruh dunia. Tapi pendapatan itu digunakan untuk biaya produksi, seperti gaji dan promosi. "Kami tidak mencari apa pun. Ini kesempatan untuk komodo dikenal dunia," katanya.

Sumber Tempo yang pernah dekat dengan Jean-Paul mengatakan sebenarnya Indonesia tak butuh kiriman pesan pendek untuk menjadi pemenang. Dengan Jakarta menjadi tuan rumah, Taman Komodo dijanjikan bakal menang. "Jean-Paul sendiri yang bilang begitu," kata sumber ini. Jean-Paul membantah. Menurut dia, tak ada jaminan tuan rumah bakal menang.

Seperti komodo, kompetisi ini bermotif purba: duit.

Pramono (Jakarta) dan Valerie Sticher (Zurich)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus