Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Meranggas Asa di Ladang Gersang

Berawal dari sejuta orang, kini populasi mereka menurun hingga 650 ribu. Adakah hak hidup mereka terjamin?

28 Desember 2003 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SALINA, 35 tahun, memungut ranting cemara yang jatuh dari pohon Natalnya. Ia rapikan dan ia benahi posisi pohon setinggi 1,5 meter itu. Tak ada hiasan lain di rumah sederhananya, yang terletak di kawasan Zayoune (Bagdad), selain pohon dan patung kecil Isa di dinding. Perempuan lajang ini tinggal bersama adik perempuan dan keponakan lelakinya berusia tiga tahun. "Adik ipar saya tewas tertembak di pom bensin, saat mobilnya dirampok empat pria bersenjata lima bulan lalu," katanya sedih. Baginya, tiada guna merayakan Natal pada saat duka menyelimuti keluarganya.

Kesedihan bukan hanya membekap perempuan cantik ini, melainkan juga Bagdad dan seluruh kawasan di Irak. Terutama bagi penganut Kristen dan Katolik, minoritas sebanyak 3 persen dari penduduk Irak yang mencapai 24 juta orang. Pemerintahan Irak sepeninggal Saddam Hussein masih jauh dari normal, kehidupan sosial pun belum berjalan sebagaimana mestinya. Bom dan peluru yang ditebar secara membabi buta acap kali terjadi. Suasana tidak aman ini menerpa warga: anak-anak hingga pria lanjut usia.

Namun tiada pilihan lain bagi Salina kecuali tetap tinggal di Bagdad. Ia terlahir di kota tua itu, dan pekerjaannya sebagai pengelola bisnis elektronik di Jalan Karada Luar menuntut konsentrasi yang lebih. Keturunan Assyria ini pun menjadi saksi betapa hidup di tengah-tengah kelompok minoritas teramat menyakitkan. "Bahkan untuk merayakan Hari Raya Assyria pun, kami dilarang," katanya. Menurut kalender Gregorian, hari itu jatuh pada 1 April.

Memang, kelompok minoritas Kristen di Irak punya kisah tersendiri. Sebelum Perang Teluk 1991, populasi mereka mencapai sejuta orang. Menurut Matti Shaba Matoka, Pastor Katedral Syria di Bagdad, jumlahnya menyusut hingga 650 orang. Mereka meninggalkan Irak dan bergabung dengan saudara mereka di negara Barat, akibat tak tahan terhadap sanksi ekonomi yang diberlakukan.

Keturunan Assyria dan Chaldea (tak sedikit dari mereka yang menjadi paus—Red.) merupakan komunitas Kristen terbesar. Nenek moyang mereka keturunan bangsa Mesopotamia, yang kekuasaannya dulu mencakup seluruh wilayah Irak sekarang. Pasca-runtuhnya bangsa Assyria dan Babilonia pada abad ke-6 dan ke-7 Sebelum Masehi, mereka tersebar ke seluruh Jazirah Timur Tengah. Mereka memeluk agama Kristen sejak abad ke-1 Masehi. Selain Assyria, yang termasuk ke dalamnya adalah kelompok Ortodoks Syria, Katolik Syria, Katolik Yunani, dan juga Armenia. Mayoritas mereka menghuni Bagdad, dan selebihnya tersebar di Kirkuk, Irbil, dan Mosul.

Seperti halnya orang-orang Armenia yang menjadi korban kekejaman Ottoman Turki sehingga harus lari ke gunung pada 1915, mereka hidup secara berpindah-pindah. Setahun setelah kemerdekaan Irak pada 1932, kelompok militer mengenakan program relokasi untuk menguasai daerah yang kaya minyak. Pihak militer Irak tak segan-segan menghancurkan ratusan desa Assyria di kawasan utara, gereja, dan juga membatasi agama Kristen. Termasuk di dalamnya larangan mengaktualkan budaya dan bahasa mereka.

Namun, perlahan tapi pasti, kelompok Kristen mulai merapat ke istana. Zaman emas sempat mereka raih pada masa Saddam, yakni dengan diangkatnya Wakil Perdana Menteri Tariq Aziz. Dalam Perang Teluk I, Tariq menjabat Menteri Penerangan. Ia dianggap cukup sukses mencairkan ketegangan antara Irak dan dunia Barat, khususnya Amerika. Bahkan, menurut sumber TEMPO, kebanyakan pembisik Saddam saat itu berasal dari kalangan Kristen.

Buahnya, selama lebih dari satu dekade belakangan, praktis tidak ada masalah dalam kehidupan beragama mereka. Seperti di Mosul, mereka bisa hidup harmonis. Pelan-pelan kelompok Kristen mulai merapat ke istana Saddam.

Bukan itu saja, di wilayah utara mereka berhasil menjalin hubungan baik dengan Kurdi. Padahal di kota ini terdapat muslim Kurdi, Turki, dan Arab. Sebagaimana diketahui, ada dua kelompok Kurdi terbesar yang menguasai Irak bagian utara, yakni Partai Demokratik Kurdi pimpinan Masoud Barzani dan Uni Patriotik Kurdistan yang di dirikan Jalal Talabani. Tak mengherankan jika dalam pemilihan parlemen yang dilaksanakan Juli lalu, Partai Assyria, yang merupakan representasi kelompok Kristen, mendapat satu persen suara (lima kursi). Partai inilah yang diharapkan memperjuangkan aspirasi kaum Kristen di Irak.

Nah, karena hubungan mereka yang amat baik dengan Saddam, tak aneh jika banyak yang mengkhawatirkan nasib mereka setelah pemerintahan Sadam remuk. Pasalnya, orang-orang Arab muslim yang ortodoks dan tidak begitu menyukai keberadaan kelompok Kristen, dulunya, ditekan habis-habisan oleh Saddam. "Kami takut dijadikan bulan-bulanan setelah Sadam tidak berkuasa lagi," kata sumber TEMPO.

Apalagi kehadiran Amerika, komandan tentara koalisi, yang dikhawatirkan bisa memunculkan slogan Perang Salib baru. Sebab, isu ini cukup efektif digunakan sebagai propaganda untuk menarik simpati para mujahidin terhadap Saddam, pada saat Perang Teluk I. Padahal saat itu tak sedikit yang membenci Saddam. Toh, kekhawatiran ini tak terbukti.

Meskipun demikian, Pastor Matti Shaba masih mencemaskan keadaan Irak saat ini. "Kami takut banyak yang tidak suka pada kami, karena memperbolehkan menjual bir atau alkohol," ujarnya. Menurut dia, ada kebaikan dari pemerintahan Saddam. "Keamanan terjamin," katanya. Sebaliknya ia juga mengakui banyak restriksi yang dilakukan pemerintah Sadam terhadap kelompok beragama, tanpa kecuali Kristen Assyria.

Soal jaminan keamanan, Isaac, 45 tahun, punya pendapat lain. Menurut pria Kristen keturunan Assyria ini, tidak ada bedanya antara ketika Saddam masih berkuasa dan tidak. "Keadaan sama-sama tidak aman bagi kami," ujarnya. Baginya, ia bisa ditembak kapan saja, oleh pria bersenjata yang tidak jelas apa maunya. "Entah mereka muslim atau bukan, yang jelas bukan orang beragama," katanya.

Isaac juga tidak begitu peduli dengan apa yang bakal dilakukan oleh wakil Partai Assyria di dewan pemerintahan pimpinan Chalabi. "Saya merasa tak terwakili oleh partai politik," katanya. Dia yakin, politiklah yang justru membuat negerinya makin terpuruk.

Meski Isaac tak peduli politik, sejauh ini hanya jaminan konstitusilah yang diperlukan kelompok minoritas ini. Dan hingga saat ini, konstitusi yang baru sedang dirancang oleh ke-25 anggota dewan pemerintahan tersebut. Uni Patriotik Kurdistan pun berjanji akan mati-matian memperjuangkan hak hidup minoritas. "Konstitusi yang baru harus secara jelas menyebut hak hidup minoritas," kata Adel Murad, pejabat Biro Politik Uni Patriotik. Bahkan, jika sampai negara federal yang diimpikan kelompok Kurdistan terbentuk, "Kami akan menjamin hak-hak mereka di bawah pemerintahan Kurdi."

Ucapan Murad ini bagaikan oase di padang gersang. Menghalusinasi, tapi diperlukan. "Kami ingin merayakan agama dengan bebas," kata Salina. Dan itu sangat diperlukan Salina, serta setengah juta lebih kelompok Kristen di Irak. "Bertahun-tahun saya tidak bisa merayakan Natal dengan meriah. Apalagi tahun ini, adik saya jadi janda akibat ulah teroris tak bertanggung jawab," ujarnya sedih.

Rommy Fibri (Bagdad)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus