Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Tiga Lelaki di Layar Lebar Indonesia

28 Desember 2003 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Leila S. Chudori Wartawan TEMPO

SEBUAH pagi di bulan Desember tiba-tiba menjadi pagi yang menjanjikan. Tiga buah poster film Indonesia diusung ke jejeran poster film jaringan bioskop 21: Eiffel, I'm in Love (Nasry Cheppy), Arisan (Nia Di Nata), dan Biarkan Bintang Menari (Indra Yudhistira). Untuk sesaat, kenyataan ini adalah sebuah celebration. Sebuah perayaan bagi perfilman Indonesia yang sudah lama tidak menduduki singgasana jaringan bioskop komersial 21. Dunia sinema (yang terdiri dari para sineas dan pemain serta kru) bahkan pernah berhadapan maju ke meja hijau karena persoalan film Langitku Rumahku, yang diturunkan dari bioskop 21 dalam waktu cepat.

Karena itu, jika di penghujung tahun kita menyaksikan tiga poster film Indonesia seolah "menggusur" dominasi film-film studio besar Hollywood, rasanya tak aneh jika kita memiliki rasa bangga yang begitu segera dan begitu lekas. (Ingat begitu melayangnya kita ketika film Sherina bisa menggusur film Mission Impossible 2 karena kesuksesannya meraup anak-anak dan para ibu untuk waktu yang lama di tahun 2001?)

Tahun 2003 menyajikan beberapa mozaik dalam peta perfilman Indonesia. Ada film-film horor: Peti Mati (Mardali Syarief), Tusuk Jelangkung (Dimas Jayadiningrat), The Soul (Nayato Fio Nuala), Kiamat Sudah dekat (Dedy Mizwar). Tahun ini juga memberikan film komedi romantik seperti Cinta 24 Karat, Arisan, Rumah Ke-7, dan film drama Novel tanpa R (Arya Kusumadewa). Tetapi, yang tampaknya menonjol dan masih menjadi "tren" adalah film-film remaja seperti Eiffel, I'm in Love dan Biarkan Bintang Menari. Dengan bertahannya Eiffel, I'm in Love berpekan-pekan hingga hari ini—sementara film remaja musik Biarkan Bintang Menari dianggap sudah "usai" masanya di bioskop komersial—persoalan tema film remaja layak menjadi sorotan penting dalam pem-bicaraan tahun ini.

Film remaja yang "pertama kali" meluncur lagi—setelah film Indonesia pingsan begitu lama—adalah film Ada Apa dengan Cinta (2001) karya Rudy Soedjarwo, produksi Miles Production. Apa yang ditampilkan oleh sutradara Rudy Soedjarwo dan tim Mira Lesmana dan Riri Riza adalah sebuah kemasan yang luar biasa: skenario yang pas (Jujur Prananto); aktor dan aktris yang luar biasa yang kemudian menjadi idola remaja (Dian Sastro dan Nicholas Saputra); dan musik yang segar dan funky (Melly Goeslaw dan Anto Hoed). Apa yang terjadi kemudian adalah sebuah ledakan yang dahsyat. Remaja Jakarta blingsatan. Para pria remaja berlagak seperti tokoh Rangga (cuek, dingin, cool, dan gemar puisi); para remaja putri mendadak hanya gemar pria seperti sosok Rangga (cuek, dingin, cool, dan gemar puisi), dan karena itulah ke- mudian para produser film dan televisi hanya bisa memiliki satu imajinasi tentang film remaja Indonesia, yakni menampilkan sosok pria seperti Rangga (cuek, dingin, cool dan gemar puisi).

Sementara kita harus mengacungkan two thumbs-up pada tim Rudy-Mira dan Riri untuk film yang begitu meteorik dan inspiratif di tahun 2001 yang meledak, kita kemudian harus garuk kepala dan nelangsa di tahun 2003 jika kemudian kita menemukan epigon-epigon Rangga, seolah-olah pria remaja Indonesia tak bisa dan tak mampu memiliki karakter yang berbeda dari "cuek, dingin, cool, dan gemar puisi". Pria muda di layar film remaja Indonesia tiba-tiba hanya mirip seragam SMU: satu macam. Mereka semua cool, pendiam, cepat tersinggung, magnetis, dan tentu saja ganteng. Karakter lelaki remaja lain (periang, lembut, romantis, jujur, terbuka, dan seterusnya) itu dipinggirkan saja dari lingkaran imajinasi para produser, karena sementara ini karakter itu tak laku. Karakter wanita remaja di layar film Indonesia harus agak senada dengan Cinta: baik hati, manja, be- rambut panjang, dan jangan lupa, dia harus anak kaya-raya.

Film Eiffel, I'm in Love memang berasal dari sebuah novel sehingga tak bisa dikatakan sebagai epigon dari film Ada Apa dengan Cinta. Tetapi penggarapan film ini tak bisa dikatakan lepas dari pengaruh sukses besar film Ada Apa dengan Cinta. Dibuka dengan adegan jam sekolah (seperti Ada Apa dengan Cinta), ilustrasi musik Melly Goeslaw (seperti Ada Apa dengan Cinta) dan sosok Adit yang cuek, dingin, cool, dan agak terlalu sering marah-marah (tapi soal puisi tidak muncul, dong, keterlaluan kalau terlalu mirip), dan jangan lupa, adegan ciuman antara Tita dan Adit di bandara (seperti adegan ciuman Rangga dan Cinta di bandara). Coba. Apa yang terjadi dengan orisinalitas dan kreativitas? Dibuang ke laut atas nama sukses komersial? Itulah sebabnya saya me- ngatakan, jangan lekas berbangga dengan tiga poster yang mendominasi bioskop kita saat itu.

Baiklah. Mari kita tengok Biarkan Bintang Menari karya Indra Yudhistira. Ini sebuah film musikal dengan tema cinta remaja. Film ini sama sekali tidak menjadi epigon film Ada Apa dengan Cinta. Tapi tolong sorot karakter Grey (Ariyo Wahab). Dia adalah seorang mahasiswa yang galak, cool, magnetis, cuek, dan temperamental (jangan lupa pitak di dahinya akibat berkelahi). Tidak jauh dari karakter Rangga dan Adit.

Ingat pula, ketiga lelaki ini tidak menjadi lelaki yang "cuek, dingin, dan cool" tanpa argumen. Rangga, menurut para pemilik ide cerita Ada Apa dengan Cinta, punya alasan untuk memiliki karakter itu, karena ibunya telah meninggalkan ayahnya, mungkin "karena ibu tak tahan hidup dengan orang yang kontroversial seperti ayah" (tak pernah di- jelaskan bagaimana hubungan Rangga dengan ibunya—Red). Adit, menurut empunya cerita, menjadi begitu galak dan cepat tersinggung karena, "Ibunya meninggal karena kecelakaan," demikian tutur ayah Adit kepada Tita (tak dijelaskan mengapa seorang anak yang kehilangan ibu harus jadi galak pada semua orang—Red). Grey, menurut pemilik dongeng, menjadi begitu pe- marah, cool, dan tidak ramah karena ayahnya seorang narapidana yang sebelumnya tak peduli pada istri dan anaknya. Alasan Grey menjadi begitu "marah" pada sang ayah (dimainkan dengan baik oleh El Manik) terasa paling wajar dan tidak mengada-ada dibanding argumen yang disajikan kedua cerita sebelumnya. Eksplorasi hubungan orang tua dan anak dalam film Biarkan Bintang Menari memang digali lebih dalam, dibanding persoalan Rangga dan orang tuanya atau Adit dengan orang tuanya.

Apa pun alasan yang dikemukakan oleh para pemilik ide cerita, yang penting adalah motivasi para sineas dan penulis skenario atau pemilik ide cerita ini harus menjadi persoalan: kenapa (sih) harus selalu menampilkan satu ragam karakter lelaki di Indonesia yang begini luas, multikultural, dan berbeda suku bangsa dan adat ini? Dengan kata lain, sukarkah untuk lebih rajin membuat riset pengamatan karakterisasi dalam penjalinan cerita film Indonesia? Atau apakah ada semacam "kemalasan" menjelajahi kemungkinan-kemungkinan atau alternatif lain dari karakterisasi dan cerita-cerita remaja Indonesia?

Remaja memang identik dengan sekolah, kegiatan sekolah, romansa, aktivitas di mal, klub-klub olahraga atau kesenian, serta problem hubungan antar-sesama dan orang tua serta guru. Selain remaja yang menyetir mobil-mobil mewah (Cinta dan teman-temannya), ada remaja yang sederhana (Rangga), lalu ada remaja yang jauh lebih sederhana atau kekurangan (yang ini belum tersentuh tangan produser; mungkin kurang funky secara visual). Apa yang dilakukan tim Mira Lesmana-Rudy dan Riri sebetulnya merupakan langkah yang patut dipuji: mereka melakukan riset pasar sembari juga melakukan diskusi maraton yang panjang selama pembuatan skenario. Sebuah skenario pada akhirnya memang menjadi hasil pembicaraan sebuah tim, karena itu adalah roh sebuah film. Karena itu, karakterisasi dan pengadeganan kemudian seluruhnya memiliki sebab-akibat yang jelas.

Di tahun 2004, mudah-mudahan film-film (remaja) Indonesia berikutnya melakukan proses pra-produksi yang jauh lebih serius, terutama dalam pembentukan karakter dan skenario. Jika tidak, alangkah menderitanya layar lebar kita yang hanya dipenuhi oleh satu macam sosok lelaki Indonesia: cuek, dingin, cool, dan ganteng.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus