Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
EMPAT pekerja tampak berhati-hati menumpuk kotak karton bertulisan "barang pecah belah" di sudut barat gudang PT Ratania Khatulistiwa pada Kamis pekan lalu. Di sudut lain, kardus sejenis sudah menggunung. Tumpukan kardus di gudang seluas dua hektare di Jalan Greges Barat 17A, Asemrowo, Surabaya, itu bisa dilihat dari luar pagar setinggi sekitar dua meter.
Seperti stok barangnya yang menggunung, nama Ratania pun sedang naik daun. Gara-garanya, pada Mei 2015, Mahkamah Agung memenangkan perusahaan lokal ini ketika melawan perusahaan multinasional asal Swedia, Inter Ikea System B.V. "Itu gugatan merek dagang," kata Treasure and Corporate Secretary Kedaung Indah, Hidayat Karnadi, Kamis pekan lalu.
Kedaung Indah dan Ratania sama-sama anak perusahaan perabotan Kedaung Industrial Ltd. Kedua perusahaan ini berbagi alamat kantor pusat di Jalan Raya Rungkut 15-17, Surabaya.
Mahkamah Agung menyatakan Ratania berhak atas merek dagang IKEA, kependekan dari Intan Khatulistiwa Esa Abadi, untuk beberapa produk mereka. Hakim kasasi pun meminta Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia menghapus paten IKEA untuk sejumlah produk Inter Ikea yang beredar di Indonesia.
Fathlurachman, Direktur Merek di Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual, mengatakan tak bisa langsung menghapus merek IKEA dari daftar barang yang digugat. "Kami belum terima petikan putusan," ujarnya. Mahkamah Agung rupanya baru mengirim salinan putusan tersebut ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada akhir Januari 2016.
GESEKAN antara Inter Ikea dan Kedaung Group bermula pada Mei 2010. Kala itu Inter Ikea mempermasalahkan IKEMA yang terdaftar di Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual.
Merek IKEMA tercatat sebagai milik Kedaung Industrial Ltd dan anak usahanya, PT Industri Keramik Angsa Daya. Kedaung Industrial memakai label IKEMA untuk jenis barang kelas 20 dan 21. Sedangkan Angsa Daya menempelkan label tersebut untuk barang kelas 19.
Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual menggolongkan jenis barang berdasarkan ciri kemiripannya. Total ada 45 kelas.
Termasuk dalam kelas 19 adalah barang berbahan dasar keramik dan tegel. Kelas 20 meliputi perabot, bingkai gambar, dan benda lain yang berbahan kayu atau rotan. Adapun kelas 21 mencakup perkakas rumah tangga berbahan nonlogam mulia, gelas, porselen, dan tembikar.
Pada Januari 2011, Inter Ikea menggugat Kedaung Industrial dan Angsa Daya secara terpisah di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Putusan pertama, keluar pada Juli 2011, memenangkan Inter Ikea atas Angsa Daya. Pertimbangan hakim antara lain label IKEMA mirip dengan IKEA dari cara penulisan, penempatan huruf, dan pengucapannya. Hakim meminta Direktorat Hak Kekayaan Intelektual mencoret nama IKEMA dari daftar umum merek.
Putusan kedua, diketuk pada September 2011, bertolak belakang dengan putusan sebelumnya. Kali ini Pengadilan Negeri Jakarta Pusat justru menolak gugatan Inter Ikea atas Kedaung Industrial. Majelis hakim berpendapat merek IKEMA dan IKEA tidaklah sama. Masyarakat, menurut hakim, bisa mengetahui perbedaan keduanya.
Perkara IKEA versus IKEMA berlanjut ke Mahkamah Agung. Di tingkat kasasi, Inter Ikea memenangi kedua perkara. Kedaung Industrial dan Angsa Daya pun sama-sama mengajukan permohonan peninjauan kembali.
Hasilnya, pada Januari 2013, Mahkamah Agung mengabulkan permohonan peninjauan kembali Angsa Daya. Majelis hakim berpendapat Inter Ikea tidak menjual jenis barang kelas 19, sehingga tidak bersinggungan dengan Angsa Daya. Namun "sukses" Angsa Daya tak diikuti Kedaung Industrial. Pada April 2014, Mahkamah Agung menolak permohonan peninjauan kembali oleh Kedaung.
Perseteruan Inter Ikea dengan Kedaung Group belum berakhir. Pada Desember 2013, anak perusahaan Kedaung, PT Ratania Khatulistiwa, menggugat Inter Ikea ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
PT Ratania menuntut label IKEA untuk kelas barang 20 dan 21 dihapus dari daftar paten di Direktorat Jenderal Hak Atas Kekayaan Intelektual, dengan dalih merek tersebut sudah kedaluwarsa. PT Ratania juga mempersoalkan IKEA yang—ketika gugatan itu diajukan—tak punya gerai di Indonesia.
Dalam gugatannya, Ratania mengutip Pasal 61 ayat 2 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek. Aturan ini menyatakan suatu merek bisa dihapus dari daftar paten bila tidak digunakan selama tiga tahun berturut-turut. Istilahnya "merek tidur".
Menurut catatan Direktorat Jenderal Hak Atas Kekayaan Intelektual, Inter Ikea mendaftarkan merek IKEA untuk barang kelas 21 pada 9 Oktober 2006. Untuk kelas 20, Inter Ikea mendaftarkan merek IKEA pada 27 Oktober 2010. Sedangkan Ratania baru memasukkan merek IKEA untuk barang di kelas yang sama pada 20 Desember 2013.
Menyokong gugatan mereka, Ratania menggandeng lembaga survei pasar untuk mengecek kepopuleran merek IKEA. Ratania pun mengklaim telah menyebarkan angket ke 140 toko di lima kota, yakni Medan, Jakarta, Bandung, Surabaya, dan Denpasar. Hasilnya, menurut survei pada November 2013 itu, mayoritas responden mengaku tidak pernah mendengar nama IKEA.
Pada medio September 2014, Pengadilan Negeri Jakarta Pusat mengeluarkan putusan yang memenangkan Ratania Khatulistiwa. Majelis hakim mengiyakan semua argumen perusahaan tersebut.
Inter Ikea kemudian mengajukan permohonan kasasi pada Oktober 2014. Dalam memori kasasi, Inter Ikea berargumen bahwa hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat telah mengesampingkan pembelaan mereka selama persidangan.
Pembelaan Inter Ikea, antara lain, sejak mendaftarkan merek IKEA pada Oktober 2006, mereka sudah berdagang di Indonesia. Inter Ikea menunjuk dua perusahaan lokal, PT Karya Sutarindo dan PT Findora Internusa, sebagai manufaktur sekaligus distributor.
Inter Ikea juga menyertakan bukti berupa faktur penjualan pada periode 2006-2013 di Indonesia. Waktu itu IKEA masih dipasarkan lewat katalog online. Inter Ikea baru memiliki gerai resmi pada Oktober 2014 di Alam Sutera, Tangerang.
Inter Ikea juga mempersoalkan balik hasil survei Ratania. Menurut mereka, survei tersebut mengabaikan fakta bahwa, pada 2013, Inter Ikea sudah meneken kesepakatan untuk membangun gerai pertama di Indonesia dengan PT Hero Supermarket Tbk. "Jelas lembaga survei tidak kredibel karena mengabaikan fakta tersebut," tulis Inter Ikea dalam memori kasasinya.
Mahkamah Agung akhirnya menolak permohonan kasasi Inter Ikea. Namun putusan kasasi itu tidak bulat. Anggota hakim kasasi, I Gusti Agung Sumanatha, menyatakan beda pendapat. "IKEA telah terdaftar secara sah dan merupakan merek terkenal yang harus dilindungi," kata Sumanatha dalam putusannya. "Tidak terdapat alasan untuk menghapus IKEA."
Meski sudah ada putusan kasasi, Inter Ikea masih menjual barang kelas 20 dan 21 dengan label IKEA. Ketika Tempo menyambangi gerai IKEA di Alam Sutera, Tangerang, Kamis pekan lalu, pelbagai furnitur dari kayu dan rotan masih dipajang di lantai dua. Sedangkan barang pecah belah, seperti piring, gelas, dan stoples, tersusun rapi di lantai satu toko itu.
Tony Mampuk, Government Relations Manager IKEA Indonesia, mengatakan segala hal menyangkut gugatan PT Ratania merupakan urusan Inter Ikea yang berkantor di Belanda. "Kami hanya mengurusi waralaba," ujar Mampuk, Kamis pekan lalu.
Syailendra Persada, Joniansyah (Tangerang), Edwin Fajerial (Surabaya)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo