MENTERI Luar Negeri Prancis Cheysson pernah mengatakan, "Setelah
kematian Sadat, terbukalah jalan perdamaian di Timur Tengah."
Perdana Menteri Israel Menachem Begin, yang sudah jadi teman
mendiang Sadat, memberungut mendengar itu. "Saya mengerti bahasa
Prancis, tapi saya tak paham apa yang dikatakannya," katanya
mengomentari ucapan Claude Cheysson.
Menlu Prancis itu mungkin salah lidah, tapi meninggalnya Sadat
ternyata memang membuka jalan pendekatan antara Mesir dan negara
Arab lain yang sangat penting untuk penyelesaian krisis Timur
Tengah yang berkepanjangan itu. Yakni, dengan Arab Saudi dan
negeri Teluk seperti Kuwait.
Setelah nampak tanda bersahabat dari Kairo ke Ryadh (TEMPO, 31
Oktober), kini dari Ryadh tanda serupa lebih jelas lagi. Selasa
pekan lalu surat kabar Al Madina, yang seperti halnya koran lain
di Saudi dikuasai oleh pemerintah, berseru dalam editorial di
halaman pertama, agar presiden Mesir yang baru Husni Mubarak,
tak ditekan hingga ia terpaksa membatalkan perjanjian damainya
dengan Israel.
Di Jerman Barat bahkan terdengar suara yang senada. Orang yang
memegang kendali pemerintahan di Arab Saudi, Putra Mahkota Fahd,
di Bonn dikabarkan bertemu dengan Kanselir Helmut Schmidt.
Bersama pemimpin Jerman ini Fahd menyatakan sepakat untuk
menyerukan dukungan kepada "garis politik presiden Mesir."
Mubarak Bersedia
Baik Al Madina maupun Pangeran Fahd tentu saja tidak menyebut
tegas dukungannya kepada perjanjian Camp David. Arab Saudi, juga
Kuwait, termasuk negara Arab yang memutuskan hubungan diplomatik
--juga ikatan politik dan ekonomi--dengan Mesir di tahun 1979,
setelah Presiden Sadat almarhum meneken perjanjian damai dengan
Israel. Tapi di Timur Tengah pun, bahasa politik bisa jelas
sekali tanpa harus eksplisit.
Maka, sekali lagi, kata berjawab dan gayung bersambut. Sabtu
yang lalu Presiden Mesir Husni Mubarak mengatakan dalam suatu
wawancara yang disiarkan mingguan Oktober di Kairo, bahwa
pulihnya hubungan Mesir dengan negaraArab lain "hanya soal waktu
saja."
Ia bahkan mengatakan "bersedia pergi ke Arab Saudi atau negara
lain untuk menjelaskan persoalan kami dan menemukan suatu
penyelesaian terhadap perselisihan yang memisahkan kami." Tapi
itu tak berarti Mesir akan membatalkan perdamaiannya dengan
Israel. Mubarak mengulang ucapannya kepada Begin, "Damai
selama-lamanya".
Akankah Arab Saudi mengambil risiko dengan lebih dekat merapat
ke Mesir? Negara seperti Irak, Suriah, dan Libya selama ini
jelas menentang usaha macam itu. Salah Khalaf, alias Abu Iyad,
orang No. 2 dalam Organisasi Pembebasan Palestina, (PLO) menilai
langkah rujuk kembali dengan Mubarak-selama ia masih terlibat
dalam proses perdamaian Camp David--sama artinya dengan membawa
"politik khianat Sadat ke kalangan Arab."
Dengan kata lain, oposisi bakal berat bagi Ryadh. Tapi di ibukou
Saudi ini risiko nampaknya sedang diambil hingga mungkin ia bisa
jadi Mesir kedua. Rencana perdamaian Putra Mahkou ahd, yang
dikemukakannya Agustus yang lalu, oleh banyak pihak (kecuali
oleh Menachem Begin) dinilai sebagai mengandung pengakuan
terselubung terhadap Israel.
Rencana itu didukung Mesir, tentu saja. Dan di Washington
sambutan yang lebih baik sudah mulai terdengar. Pekan lalu,
Menteri Luar Negeri Alexander Haig mengaukan bahwa dalam rencana
Fahd "ada segi-segi . . . yang membesarkan hati kami." Yang
terpenting, seperti kata Presiden Reagan, ialah Saudi "mengakui
Israel sebagai suatu bangsa yang harus diajak berunding."
Bagi AS, dengan rencana Fahd itu usaha menarik negara Arab yang
moderat--mereka yang bukan Aljazair, Irak, Libya dan Suriah--ke
dalam proses perdamaian yang telah dirintis Mesir nampaknya
punya harapan baik.
Tapi sampai tulisan ini diNrunkan, belum ada komentar dari
Yordania. Negeri Raja Hussein inilah yang pasti berkepentingan
langsung bila sebuah "negara Palestina" -- seperti yang disebut
dalam rencana Fahd--akan dibentuk.
Hussein termasuk yang menentang langkah perdamaian Sadat.
Wilayahnya, baik di Tepi Barat Sungai Yordan maupun di Yerusalem
Timur, telah jadi daerah kekuasaan Israel. Yordaniakah yang
dimaksud Fahd sebagai "negara Palestina"
Soalnya belum jelas. Bagaimana pula sikap orang Palestina dengan
sendirinya belum diketahui. Ketua PLO Yasser Arafat mula-mula
terdengar mendukung rencana Fahd. Tapi kini, setelah para
saingan dan temannya dalam PLO menyatakan menolak, Arafat belum
ada lagi suaranya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini