Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Mesir Kedua ?

Rencana perdamaian di timur tengah yang dikemukakan oleh putra mahkota fahd, dinilai sebagai pengakuan terselubung terhadap Israel. Hubungan mesir-arab saudi cenderung pulih.

7 November 1981 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MENTERI Luar Negeri Prancis Cheysson pernah mengatakan, "Setelah kematian Sadat, terbukalah jalan perdamaian di Timur Tengah." Perdana Menteri Israel Menachem Begin, yang sudah jadi teman mendiang Sadat, memberungut mendengar itu. "Saya mengerti bahasa Prancis, tapi saya tak paham apa yang dikatakannya," katanya mengomentari ucapan Claude Cheysson. Menlu Prancis itu mungkin salah lidah, tapi meninggalnya Sadat ternyata memang membuka jalan pendekatan antara Mesir dan negara Arab lain yang sangat penting untuk penyelesaian krisis Timur Tengah yang berkepanjangan itu. Yakni, dengan Arab Saudi dan negeri Teluk seperti Kuwait. Setelah nampak tanda bersahabat dari Kairo ke Ryadh (TEMPO, 31 Oktober), kini dari Ryadh tanda serupa lebih jelas lagi. Selasa pekan lalu surat kabar Al Madina, yang seperti halnya koran lain di Saudi dikuasai oleh pemerintah, berseru dalam editorial di halaman pertama, agar presiden Mesir yang baru Husni Mubarak, tak ditekan hingga ia terpaksa membatalkan perjanjian damainya dengan Israel. Di Jerman Barat bahkan terdengar suara yang senada. Orang yang memegang kendali pemerintahan di Arab Saudi, Putra Mahkota Fahd, di Bonn dikabarkan bertemu dengan Kanselir Helmut Schmidt. Bersama pemimpin Jerman ini Fahd menyatakan sepakat untuk menyerukan dukungan kepada "garis politik presiden Mesir." Mubarak Bersedia Baik Al Madina maupun Pangeran Fahd tentu saja tidak menyebut tegas dukungannya kepada perjanjian Camp David. Arab Saudi, juga Kuwait, termasuk negara Arab yang memutuskan hubungan diplomatik --juga ikatan politik dan ekonomi--dengan Mesir di tahun 1979, setelah Presiden Sadat almarhum meneken perjanjian damai dengan Israel. Tapi di Timur Tengah pun, bahasa politik bisa jelas sekali tanpa harus eksplisit. Maka, sekali lagi, kata berjawab dan gayung bersambut. Sabtu yang lalu Presiden Mesir Husni Mubarak mengatakan dalam suatu wawancara yang disiarkan mingguan Oktober di Kairo, bahwa pulihnya hubungan Mesir dengan negaraArab lain "hanya soal waktu saja." Ia bahkan mengatakan "bersedia pergi ke Arab Saudi atau negara lain untuk menjelaskan persoalan kami dan menemukan suatu penyelesaian terhadap perselisihan yang memisahkan kami." Tapi itu tak berarti Mesir akan membatalkan perdamaiannya dengan Israel. Mubarak mengulang ucapannya kepada Begin, "Damai selama-lamanya". Akankah Arab Saudi mengambil risiko dengan lebih dekat merapat ke Mesir? Negara seperti Irak, Suriah, dan Libya selama ini jelas menentang usaha macam itu. Salah Khalaf, alias Abu Iyad, orang No. 2 dalam Organisasi Pembebasan Palestina, (PLO) menilai langkah rujuk kembali dengan Mubarak-selama ia masih terlibat dalam proses perdamaian Camp David--sama artinya dengan membawa "politik khianat Sadat ke kalangan Arab." Dengan kata lain, oposisi bakal berat bagi Ryadh. Tapi di ibukou Saudi ini risiko nampaknya sedang diambil hingga mungkin ia bisa jadi Mesir kedua. Rencana perdamaian Putra Mahkou ahd, yang dikemukakannya Agustus yang lalu, oleh banyak pihak (kecuali oleh Menachem Begin) dinilai sebagai mengandung pengakuan terselubung terhadap Israel. Rencana itu didukung Mesir, tentu saja. Dan di Washington sambutan yang lebih baik sudah mulai terdengar. Pekan lalu, Menteri Luar Negeri Alexander Haig mengaukan bahwa dalam rencana Fahd "ada segi-segi . . . yang membesarkan hati kami." Yang terpenting, seperti kata Presiden Reagan, ialah Saudi "mengakui Israel sebagai suatu bangsa yang harus diajak berunding." Bagi AS, dengan rencana Fahd itu usaha menarik negara Arab yang moderat--mereka yang bukan Aljazair, Irak, Libya dan Suriah--ke dalam proses perdamaian yang telah dirintis Mesir nampaknya punya harapan baik. Tapi sampai tulisan ini diNrunkan, belum ada komentar dari Yordania. Negeri Raja Hussein inilah yang pasti berkepentingan langsung bila sebuah "negara Palestina" -- seperti yang disebut dalam rencana Fahd--akan dibentuk. Hussein termasuk yang menentang langkah perdamaian Sadat. Wilayahnya, baik di Tepi Barat Sungai Yordan maupun di Yerusalem Timur, telah jadi daerah kekuasaan Israel. Yordaniakah yang dimaksud Fahd sebagai "negara Palestina" Soalnya belum jelas. Bagaimana pula sikap orang Palestina dengan sendirinya belum diketahui. Ketua PLO Yasser Arafat mula-mula terdengar mendukung rencana Fahd. Tapi kini, setelah para saingan dan temannya dalam PLO menyatakan menolak, Arafat belum ada lagi suaranya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus