DIA disebut "pangeran". Ia seorang buta. Ia tinggal di bagian
selatan kota Asyut, 370 km dari Kairo. Di kota yang jadi ajang
perlawanan kelompok Takfir wal Hijrab yang dituduh membunuh
Presiden Sadat inilah, sang "pangeran" yang nama sebenarnya
adalah Umar Abdul Rahman ini jadi khatib. Dan di kota itu pula
pekan lalu ia ditangkap.
Menurut harian setengah resmi Al Ahram, Umar Abdul Rahman yang
tak diketahui jelas umurnya itu memerintahkan para pengikutnya
untuk mengebom upacara pemakaman Presiden Sadat (10 Oktober).
Jika rencana ini berhasil, inilah daftar orang yang bisa jadi
korban: Presiden Mesir, 3 bekas Presiden AS, 1 Presiden dan 1
bekas Presiden Prancis, 1 Perdana Menteri Israel, 1 Kanselir
Jerman Barat, 1 Putra Mahkota Inggris.
Untunglah bagi mereka, rencana itu gagal. Setidaknya menurut Al
Ahram Berkat penjagaan beberapa ribu pasukan Mesir sepanjang
iringan jenasah yang berjalan 3 kilometer di hari itu, 80 wakil
negara, 800 orang penting dan 50 wartawan yang saat itu ikut,
alhamdulillah selamat.
Yang tak selamat ialah sebanyak 126 orang yang dikategorikan
sebagai teroris yang dalam beberapa hari terakhir ini
ditangkapi. Walhasil, sejak Sadat ditembak, ada 553 orang
kabarnya sudah ditahan. Di antaranya "Pangeran" Umar Abdul
Rahman itu, yang sudah mengakui bahwa dialah yang memerintahkan
pembunuhan besar-besaran di hari berkabung itu.
Masih berhubungankah Umar Abdul Rahman dengan gerakan Takrif
wal Hijrah? Nampaknya demikian. Sebab di hari Sadat terbunuh,
mereka juga sebenarnya sudah mau membasmi seluruh pucuk pimpinan
Mesir dengan melempar dua granat tangan, di samping menembakkan
bedil ke tubuh Sadat. Sadat tertembak mati, tapi dua granat itu
tak meletus.
Kini dengan diungkapkannya rencana Umar Abdul Rahman, kian
nampak bahwa untaian anggota Tafkir masih cukup panjang dan
cukup kuat. Ceritanya tentu bisa dimulai ke tahun 1971, mengenai
seorang anggota Ikhwanul Muslimin yang kecewa. Namanya Syukri
Mustafa.
Syukri Mustafa dipenjarakan oleh almarhum Presiden Nasser di
tahun 1966. Waktu itu ia ditahan bersama pemimpin puncak
Ikhwanul Muslimin, Hassan Hudeibi. Mereka diperlakukan kasar.
Tapi bila Hudeibi seorang pemaaf, hlustafa bukan.
Hudeibi dikeluarkan dari tahanan oleh Anwar Sadat di tahun 1971.
Pemimpin Ikhwan itu pun menyerukan: "Kita adalah penyeru, upi
bukan orang yang menghakimi." Ia menyatakan tak seorang Muslim
pun berhak mengatakan orang Muslim lain berhak dibunuh. Tapi
Mustafa yang lebih muda, dan lebih marah, tak mengakui ajaran
macam itu.
Seperti kaum Ikhwanul Muslimin di Suriah yang membunuh
orang-orang Alawi atas anggapan bahwa mereka ini bukan mukmin
sejati, Mustafa cenderung melenyapkan orang yang dianggapnya
musuh sebagai, misalnya, "pengkhianat sekuler". Ia pun
mendirikan alirannya sendiri, memisahkan diri dari Ikhwanul
Muslimin gaya Hudeibi, dan menyebut gerakannya Jamaat al
Muslimin.
Ini sarna sekali tak ada hubungannya dengan naat al Islami,
gerakan fundamentalis yang memikat banyak anak muda meskipun
sama-sama menentang pemerintahan "sekuler" Mesir. Beda yang
pokok ialah prinsip Mustafa menggunakan kekerasan.
Kepemimpinan Mustafa juga ketat. Seperti sikapnya yang mau
mutlak murni karena ia menganggap Mesir "tak Islam", pemimpin
yang punya gelar di bidang pertanian ini mendirikan
tempat-tempat "hijrah" di tepian gurun pasir. Untuk itulah
polisi Mesir di tahun 1977 menyebut gerakan Mustafa sebagai
Takfir wal Hijrah.
Di tahun 1977 itu memang gerakannya mulai umpil. Ketika terjadi
kerusuhan besar menentang tindakan Sadat menaikkan harga roti,
banyak anggota Takfir ditahan. Tak lama sesudah itu, menteri
Wakaf mereka bunuh. Sebaliknya, pemerintah Mesir menghukum mati
sejumlah pemimpin Takfir --termasuk Mustafa sendiri.
Dendam nampaknya berlanjut. Sadat 6 Oktober pun mati okh para
pengikut orang dari Asyut yang pernah dibebas kannya 10 tahun
yang lalu itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini