PARA wanita berpakaian hitam menangis keras. Dua ratus ribu
penduduk Teheran Kamis yang lalu berkabung, dalam iringan yang
berjalan satu setengah kilometer. Jenazah Ayatullah Morteza
Motahari yang terbunuh Selasa lalu diberangkatkan ke Qom, kota
suci dan markas besar pemimpin revolusi Iran Ayatullah Khomeini.
Dan suasana politik menjadi kian tidak nyaman. Terutama bagi
golongan kiri, yang diwakili para pemuda Fedayin dan sisa-sisa
partai komunis Tudeh.
Ayatullah Morteza Motahari, orang dekat Khomeini dan dikabarkan
tokoh Dewan Revolusi Islam yang anggotanya tetap dirahasiakan
itu, dibunuh oleh gerombolan "Furgan". Atau begitulah menurut
telepon yang diterima pers.
Tapi apa dan siapa "Furqan" itu tak jelas. Kata-kata yang
dipakai kadang berbau "kiri", tapi di Teheran ada orang yang
menyebutnya "ekstrim kanan". April yang lalu "Furqan" membunuh
korbannya yang pertama, Mayjen Gharani, kepala staf pertama
angkatan bersenjata Iran setelah revolusi.
Apapun corak "Furqan", tapi di antara barisan pengantar jenazah
di Teheran ada yang berteriak: "Tudeh dan Fedayin benalu
masyarakat!" Dan sementara toko-toko tutup sebagai tanda
dukacita untuk Motahari, para pemimpin sayap kiri mulai
bersembunyi. Di Teheran Jum'at lalu tiba missi Uni Soviet unuk
membicarakan bantuan ekonomi, tapi sementara itu ada desas-desus
para penguasa Iran akan menindak orang-orang sosialis dan
komunis.
Pembalasan dendam bagi Motahari? Dendam memang nampaknya jadi
sumber hukum penting di Iran kini, selama Dewan Revolusi Islam
menghukum tembak sejumlah pemimpin atau petugas pemerintahan
Shah yang baru mereka jatuhkan. Kekerasan belum juga nampak
mereda.
Dalam hubungan inilah Ayatullah Taleghani pekan lalu berbicara.
Ia seorang ulama yang punya putera di pimpinan pemuda sayap kiri
dan baru-baru ini hampir "bentrok" dengan Khomeini. Katanya
setelah kematian Motahari: "Pembunuhan tak dapat dijawab dengan
pembunuhan."
Mungkin itu satu kritik tak langsung kepada cara-cara pengikut
Khomeini main hukum tembak, yang juga dikecam baik Perdana
Menteri Bazargan maupun kaum cendekiawan. Taleghani yang
berpengaruh kuat di kota Teheran, memang dengan samar pernah
mengecam sikap otoriter Khomeini, yang akan membawa Iran ke
dalam "despotisme dan kediktaturan."
Dua Partai
Namun yang lebih jelas agaknya perbedaan yang makin nampak
antara Khomeini dengan pemimpin revolusi Iran yang lain,
Ayatullah Shariatmadari. Sewaktu Khomeini 16 tahun di luar
negeri, di dalam negeri Shariatmadari-lah yang memimpin
perjuangan anti-Shah. Namun kini nyatanya Khomeini, 76 tahun,
yang lebih muda, memegang tampuk kekuasaan.
Watak kedua orang itu memang berbeda. Shariatmadari murab
senyum, Khomeini angker. Begitu pula pandangannya tentang masa
depan politik Iran. Seperti dilaporkan wartawan Los Angeles
Times Doyle McManus awal Mei, Khomeini membentuk dan merestui
berdirinya Partai Republik Islam. Dengan dukungannya, partai ini
sudah pasti akan memenangkan suara mayoritas di parlemen yang
akan dipilih kelak. Shariatmadari dengan segera membentuk Partai
Republik Rakyat Muslim.
Kenapa? "Ada bahaya terjadinya kediktaturan satu-partai," kata
ayatullah itu. "Untuk memiliki cuma satu partai yang menguasai
parlemen akan sangat buruk akibatnya," sambung Shariatmadari --
yang oleh seorang mullah pengikut Khomeini disebut "tukang bikin
rusuh."
Shariatmadari lebih bersuara seorang demokrat. Dalam wawancara
dengan wartawan TEMPO Jusfiq Hadjar di kota Qom beberapa bulan
yang lalu ia misalnya mengatakan bahwa soal pelaksanaan hukuman
menurut Islam "wakil rakyatlah yang menentukan". Bahkan tentang
tafsiran hukum Islam sendiri Ayatullah itu berkata: "Tentunya
tidak berarti hukum itu tak bisa disempurnakan." Itulah makanya,
kata Shariatmadari, "rakyat harus memilih wakil mereka untuk
membicarakan penyesuaian hukum yang ada dengan waktu."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini